Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KEBIJAKAN Pemerintah Indonesia untuk melakukan impor beras sebanyak 1 juta ton melalui Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) menunjukkan kepada publik jika pemerintah masih belum memahami akar masalah dari sistem dan tata kelola pertanian nasional. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Jaringan Studi Indonesia, mayoritas petani Indonesia tak setuju dengan adanya kebijakan Impor yang akan dilakukan oleh pemerintah. Para petani di Indonesia sangat ingin jika penyerapan produksi lokal dapat diberdayakan secara optimal. (Jaringan Studi Indonesia, 2021)
Inisiasi pemerintah yang berencana mengimpor sejumlah komoditas pangan dengan alasan memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengamankan stok cadangan (iron stock) dalam negeri dinilai sebagai langkah mubazir. Para produsen pangan dalam negeri berkeberatan dengan rencana impor karena diyakini bakal berdampak serius pada anjloknya harga di tingkat petani. Selain itu, produksi dalam negeri juga dinilai masih dapat diandalkan untuk menyokong kebutuhan pangan masyarakat dalam negeri
Pertentangan Kebijakan
Untuk menjaga kedaulatan pangan banyak kalangan organisasi petani yang meminta pemerintah menghentikan rencana impor. Ketergantungan pada impor dan produsen luar negeri menggerus derajat ketahanan dan kedaulatan pangan Indonesia. Pilihan impor beras tak mencerminkan situasi produksi dalam negeri saat ini. Pada sisi lain, petani membutuhkan kepastian harga lantaran harga gabah berada di rentang R p3.800 - Rp 4.000 per kilogram kering panen (GKP) atau di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan Rp 4.200 per kg GKP.
Sayangnya, posisi petani makin terimpit pada sisi regulasi. Sebab, Pasal 64 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menyebutkan, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan. Padahal, Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan, impor ditempuh jika produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi kebutuhan.
Bagi publik, rencana impor menunjukkan belum selesainya masalah sinkronisasi dan koordinasi yang berkaitan dengan kelembagaan pengelolaan pangan di Indonesia. Dalam kondisi saat ini, harusnya pemerintah lebih fokus dalam menata sentra produksi pangan yang menjadi andalan bagi penyerapan beras. Misalnya. Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Tengah yang pada awal masa pandemi Covid-19 ini sempat dijadikan sebagai daerah pengembangan lumbung pangan (food estate) baru di luar Pulau Jawa. Munculnya impor beras di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang, jelas memunculkan tekanan baru bagi hulu dan hilirisasi ketahanan dan keberlanjutan pangan nasional karena petani dalam negeri dapat langsung tersaingi dengan kedatangan impor beras tersebut.
Menata kualitas beras dalam negeri harusnya menjadi tantangan karena banjir dan hujan sehingga kadar airnya tinggi. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah Gabah atau Beras, penetapan kandungan air gabah kering panen dalam negeri yang dibeli paling tinggi 25 persen dan kadar hampa /kotoran maksimal 10 persen. Menyikapi tantangan dari peraturan dalam negeri tersebut, pemerintah harusnya mendorong terciptanya produktivitas mesin pengering dan juga penggilingan jaringan. mitra perusahaan serta mesin unit-unit pengolahan gabah dan beras yang dikelola perseroan.
Hal yang tak kalah urgen adalah soal lahan panen yang justru menjadi titik kemajuan pertanian Indonesia selama masa pandemi Covid-19. Titik kemajuan ini harusnya menjadi fokus perhatian tersendiri bagi pemerintah untuk dapat lebih memaksimalkan potensi lahan panen yang ada di Indonesia. Menurut BPS, terjadinya peningkatan ekspor pertanian selama 2020 secara umum dipicu oleh peningkatan luas panen dan produksi padi, jagung, ubi kayu dengan kondisi cuaca yang kondusif. Karenanya tak mengherankan jika selama pandemi Covid-19 terjadi pertumbuhan yang kontributif pada tanaman pangan sebesar 10,47%. Pertumbuhan ini dipicu peningkatan permintaan buah-buahan dan sayuran selama pandemi covid-19 sehingga subsektor hortikultura menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar 7,85%. (BPS RI: 2020).
Implementasi Rasional
Kebijakan impor beras lambat laun akan menghancurkan kondisi harga di tingkat petani yang kini sedang berjuang meningkatkan hasil produksi. Apalagi pada awal tahun ini Indonesia akan menghadapi musim panen tahunan yang berlangsung pada pertengahan Maret mendatang. Masa panen raya diperkirakan akan mencapai 8,7 juta ton GKG (Gabah Kering Giling). Begitu juga dengan bulan April yang diperkirakan akan mencapai 8,59 juta ton GKG. Kalau impor beras dilakukan maka tentu saja hal itu akan menghancurkan harga petani.
BACA JUGA: Rasional Pertumbuhan Ekonomi 2021
Sebagai negara yang sangat mengandalkan padi sebagai pangan pokok, ketahanan para petani untuk beradaptasi atas dampak perubahan iklim masih menjadi momok serius yang seringkali dihadapi oleh petani. Tak dapat dibantah jika para petani sampai hari ini masih mengalami kesulitan yang berarti dalam menentukan awal musim tanam padi karena ketidakpastian terjadinya musim penghujan.
Karena itu, keinginan pemerintah untuk mengimpor satu juta ton beras pada tahun ini merupakan langkah yang dapat dikatakan sebagai langkah blunder. Bukan semata karena alasan panen raya yang mampu menyuplai gudang Bulog secara nasional,melainkan karena langkah ini menjauhkan petani dari perlindungan kesejahteraan seutuhnya. Mengemukanya usulan impor ini seolah tak menempatkan petani sebagai subyek pertanian yang benar- benar memahami seluk beluk lingkungan pertanian di Indonesia.
Data BPS nasional menunjukkan jika produksi beras pada Januari-April 2021 berada pada posisi lebih kurang 14 juta ton. Angka ini bahkan mengalami kenaikan lebih dari 25 persen dari produksi beras pada 2020. Selain itu, posisi panen raya yang akan berlangsung pada Januari-April juga membuat kita berpotensi surplus 4,8 juta ton beras. Di sisi lain, sisa stok gudang Bulog tahun 2020 berada pada kondisi cukup memadai karena pada tahun 2020 pergerakan produksi beras mencapai 54,65 juta ton. Sementara total kebutuhan beras tahunan umumnya berada pada kisaran 29,6 juta ton (BPS, 2021). Dengan kondisi seperti itu, hampir dipastikan neraca perberasan masih dapat surplus.
Di balik rencana impor pemerintah, seharusnya pemerintah berpikir kembali tentang tentang serapan hasil panen petani secara nasional yang belum optimal didistribusikan ke seluruh pelosok Indonesia. Terlebih kondisi tani saat ini menjadi figur kunci dalam menopang kebutuhan pangan dari sektor lain yang terdampak pandemi Covid-19 maka penataan kelola pertanian dalam negeri harusnya menjadi skala prioritas pemerintah.
Dalam kondisi saat ini, pemerintah Indonesia harusnya melakukan langkah usaha nyata untuk membangun perbaikan pertanian dalam negeri. Terlebih wacana impor beras ini hadir ditengah kampanye besar Presiden Jokowi yang aktif mensosialisasikan gerakan benci produk asing sebagai wujud sikap dalam mendukung sistem perekonomian dalam negeri. Dalih pemerintah menjadikan impor beras sebagai persediaan cadangan (ironstock) selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) jelas bukan merupakan langkah yang mencerminkan bentuk dukungan terhadap perekonomian dalam negeri.
Secara rasional, pemerintah harusnya membangun pola integrasi pertanian mulai dari produksi hingga proses setelah panen dengan cara membangun model bisnis korporasi petani. Selain itu pemerintah harusnya mengoptimalkan peran kerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta supaya tak hanya berperan sebagai pembeli hasil panen, melainkan aktif mendampingi setiap kelompok tani supaya mampu membangun ekosistem ketahanan pangan secara terpadu.
Di tengah wabah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, pemerintah harusnya dapat memberikan perlindungan kepada para petani supaya mampu menjamin produksi pangan nasional. Seperti perlindungan kepemilikan lahan, memberikan fasilitas wadah penyimpan yang memadai dan optimalisasi pemberian subsidi harga pupuk, benih dan alat produksi demi ketahanan pertanian selama masa pandemi Covid-19.
====
Penulis Analis Nasional dan Direktur Jaringan Studi Indonesia
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]