Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PEMBANGUNAN pariwisata Danau Toba sebagai destinasi wisata super prioritas bertaraf internasional masih terus berlangsung. Pembangunan ini diharapkan dapat dinikmati oleh para turis asing maupun dalam negeri setelah pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir. Tidak tanggung-tanggung, harapan pemerintah terhadap pembangunan pariwisata ini sangat besar, yaitu mampu mendorong meningkatkan pendapatan perekonomian negara. Kabupaten Samosir merupakan daerah yang berada di kawasan Danau Toba, serta berperan besar dalam menjalankan pembangunan pariwisata. Lantas, bagaimana keberadaan tanah adat dalam pembangunan pariwisata di Kabupaten Samosir?
Sebagaimana diketahui, masyarakat yang bermukim di Kabupaten Samosir mayoritas adalah suku Batak Toba. Masyarakat Batak Toba memiliki hubungan yang sangat dekat dengan keberadaan tanah adat, karena tanah adat merupakan sebidang tanah yang diwariskan secara turun-temurun oleh satu marga dari leluhurnya. Bagi masyarakat Batak Toba, tanah adat tidak hanya sebagai alat produksi dan sumber penghidupan, lebih jauh tanah adat memiliki nilai-nilai spiritualitas dan religius, yaitu sebagai simbol identitas dan asal-usul atau sering disebut sebagai bona pasogit.
Dalam buku yang ditulis oleh Victor Silaen (2006) berjudul “Gerakan Sosial Baru: Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir” dijelaskan bahwa pemaknaan tanah adat bagi masyarakat Batak Toba sangat erat kaitannya dengan aktivitas serta keberadaan suatu komunitas masyarakat. Dijelaskan juga bahwa kepemilikan tanah adat harus dipahami dalam konteks hukum adat tanah, yang pada prinsipnya pemilik tanah adalah marga raja atau marga pendiri huta.
Lebih lanjut, Victor Silaen menguraikan bahwa konsep tanah adat menurut hukum adat merupakan basis kekuasaan (harajaon) bagi kelompok marga pemilik huta. Tanah bagi masyarakat Batak Toba bukan sekadar segumpal debu yang keras atau lunak melainkan simbol kekuasaan (hal. 223). Dari penjelasan singkat tersebut, dapat dikatakan bahwa makna penyebutan anak ni raja dan boru ni raja dalam masyarakat Batak Toba merujuk kepada penguasaan atas sebidang tanah, sehingga jika tanah tidak ada, maka sebutan tersebut akan kehilangan makna sesungguhnya.
Tanah Adat sebagai Sasaran Pembangunan
Dengan semakin berkembangnya pembangunan pariwisata di Kabupaten Samosir, maka peluang investasi semakin terbuka bagi para pemilik modal. Sasaran utama pemilik modal dalam skema pembangunan pariwisata adalah penguasaan tanah. Tanah menjadi penting sekaligus sebagai kebutuhan utama para investor untuk mendirikan bangunan-bangunan perhotelan ataupun pusat-pusat perbelanjaan dalam mendukung berjalannya tempat-tempat wisata.
BACA JUGA: Yang Luput dalam Debat Kandidat Pilkada Samosir
Tentu, tanah-tanah yang menjadi sasaran pemilik modal di Kabupaten Samosir tidak lain adalah tanah-tanah adat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kepemilikan tanah di Pulau Samosir (Kabupaten Samosir), sebagai pusat peradaban masyarakat Batak Toba, masih berdasarkan hak adat. Namun, sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah telah berhasil mengalihkan tanah adat menjadi tanah milik pribadi, sehingga proses transaksi jual-beli tanah adat semakin mudah dan sudah marak terjadi di Kabupaten Samosir.
Praktik jual-beli tanah adat dalam rangka pembangunan pariwisata ini sudah menjadi konsumsi publik di Kabupaten Samosir. Hal yang paling meresahkan adalah ketika para perantau yang sudah lama meninggalkan bona pasogit kembali pulang untuk meminta tanah adat warisan leluhurnya kepada keluarga yang masih tinggal di huta. Kemudian, tanah adat tersebut disertifikatkan dan akhirnya dijual kepada pemilik modal.
Tanah adat sebagai sasaran pembangunan pariwisata di Kabupaten Samosir akan terus berlangsung, mengingat keberpihakan politik penguasa tidak pernah ada untuk melindungi tanah-tanah adat. Kebijakan politik Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Samosir, yang terpilih pada Pilkada 2020, juga tidak menggambarkan keberpihakannya untuk menjaga dan melindungi tanah adat. Setidaknya, hal ini tampak dalam 100 hari program kerja yang dipaparkan di hadapan media dan masyarakat. Peraturan adat budaya yang dijanjikan bupati terpilih akan dibuat tidak tegas dalam hal apa, karena cakupan adat budaya sangat luas.
Hatobanisasi
Apa yang terjadi jika tanah adat di Kabupaten Samosir beralihkuasa kepada para pemilik modal? Pertanyaan ini menjadi refleksi bagi penulis. Jawaban singkat yang muncul atas pertanyaan tersebut adalah menjadi hatoban (budak/hamba)
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa menjadi hatoban? Dalam sejarahnya, masyarakat Batak Toba mengenal hatoban. Lance Castles (2006) dalam bukunya berjudul “Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera : Tapanuli 1915-1940” menjelaskan bahwa masyarakat Batak Toba mengenal sistem perbudakan yang disebut dengan hatoban. Hatoban merupakan tawanan perang yang tidak ditebus dan para peminjam yang bangkrut berikut keluarganya. Dalam buku tersebut digambarkan kekuasaan Raja Situmorang di Pulau Samosir dan para tawanan mereka dijadikan sebagai hatoban atau disebut juga sebagai manusia kucing (hal. 12).
Penulis berpandangan bahwa keberadaan hatoban sangat erat kaitannya dengan pemilikan atau penguasaan tanah. Jika dihubungkan dengan makna tanah adat sebagai basis kekuasaan marga, seperti yang dijelaskan di atas, maka keberadaan tanah adat akan melekat dengan status penguasa.
Jadi, dalam konteks pembangunan pariwisata, ketika orang menjual tanah adat, maka status anak ni raja dan boru ni raja juga otomatis akan hilang, karena tanah adat sebagai basis kekuasaannya telah dijual dan hilang selamanya. Oleh karenanya, mari kita jaga dan pertahankan tanah adat di Kabupaten Samosir. Semoga!!!
====
Penulis adalah Ketua Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS) Periode 2012-2013.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]