Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 sudah semakin dekat, tepatnya 9 Desember 2020. Beberapa rangkaian agenda atau kegiatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menuju pemilu sudah dilaksanakan dengan baik dan lancar. Salah satu agenda yang dijalankan oleh KPU adalah pelaksanaan debat kandidat Bupati dan wakil Bupati Kabupaten Samosir. Agenda debat kandidat ini dilakukan selama dua kali dalam waktu yang berbeda secara terbuka dan disaksikan oleh masyarakat Samosir.
Acara debat kandidat ini diikuti oleh ketiga pasangan calon Bupati dan wakil Bupati Samosir, yaitu; nomor urut 1 pasangan Marhuale Simbolon-Guntur Sinaga (Marguna), nomor urut 2 pasangan Vandiko Timotius Gultom-Martua Sitanggang (Vantas), dan nomor urut 3 pasangan Rapidin Simbolon-Juang Sinaga (RapBerjuang).
Debat kandidat ini menjadi salah satu alat bagi masyarakat Samosir untuk mendalam visi-misi serta program yang akan dijalankan para pasangan calon. Debat kandidat ini merupakan salah satu pendidikan politik bagi masyarakat luas dalam menentukan pilihannya. Meskipun masih banyak yang perlu diperbaiki oleh panitia pelaksana pemilu agar debat kandidat ini mampu menarik simpati masyarakat dan kelak menjadi alat agar masyarakat tidak tergiur dengan money politic.
Debat kandidat ini masih minim gagasan untuk membangun masyarakat Kabupaten Samosir. Jika kita melihat atau mengingat ulang isu-isu kampanye pilkada sebelumnya, maka tidak ada wacana atau gagasan baru yang dimunculkan oleh para kandidat. Belum ada gagasan-gagasan konkret yang berpihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat dan yang akan muncul di kemudian hari.
BACA JUGA: Pilkada Samosir: Mencari Pemimpin yang Sadar Akan Warisan Leluhur
Dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti wacana yang terlewatkan dalam debat kandidat pilkada Samosir, yaitu tentang keberadaan tanah adat. Seharusnya, isu ini harus dijadikan sebagai salah satu topik pembahasan dalam debat oleh panitia atau panelis debat. Perdebatan mengenai keberadaan tanah adat di Samosir dalam pembangunan pariwisata Danau Toba sama sekali tidak ada disentuh pada saat debat tersebut. Mengingat bahwa penyelesaian persoalan keberadaan tanah adat membutuhkan political will dari kepala daerah, sebagaimana konflik tanah adat yang telah terjadi di daerah-daerah lain.
Tanah Adat sebagai Identitas Budaya
Sejak era reformasi, permasalahan keberadaan tanah adat di Indonesia muncul ke permukaan sebagai salah satu persoalan sosial yang tengah dihadapi oleh masyarakat. Tumpang tindih kepemilikan tanah adat dengan kawasan hutan negara maupun areal konsesi perusahaan menjadi polemik utama masyarakat ketika pembangunan digulirkan. Dalam hal ini, Kabupaten Samosir sebagai salah satu wilayah yang turut berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata kawasan Danau Toba sudah selayaknya memikirkan dan membahas keberadaan tanah adat yang telah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat Samosir.
Pembahasan mengenai kebudayaan yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat di Samosir muncul dalam debat kandidat pilkada Samosir pertama (Senin, 16/11/2020). Namun, para kandidat calon Bupati dan wakil Bupati belum memiliki perspektif tentang keberadaan tanah adat sebagai salah satu identitas budaya. Perdebatan kandidat tentang kebudayaan terjebak dalam melestarikan filosofi Dalihan Na Tolu, seni, perilaku, dan musik. Di mana, pembahasan ini sangat sering kita temukan pada saat masyarakat berkumpul di lapo tuak.
Secara umum, bagi masyarakat Batak Toba, tanah adat ini adalah bagian inti dan penting dari kebudayaan karena tanah adat dipandang mengandung unsur nilai-nilai spiritualitas dan identitas. Setidaknya, jika para kandidat calon Bupati dan wakil Bupati pernah membaca buku karya Sitor Situmorang dan karya Prof Bungaran Antonius Simanjuntak, maka perdebatan mengenai kebudayaan tidak hanya membahas apa yang saya sebut diatas, melainkan akan berhubungan dengan keberadaan tanah adat.
Tanah adat melekat dalam diri masyarakat Batak Toba sebagai sebuah identitas kebudayaan karena tanah adat merupakan warisan yang diberikan secara turun temurun oleh leluhur masyarakat di Samosir. Di Samosir, keberadaan tanah adat berkaitan erat dengan keberadaan suatu marga atau disebut juga sebagai genealogische territoriale (teritori keturunan) atau genealogische eenheden (kesatuan keturunan). Hilangnya hak masyarakat atas tanah adat akan berpengaruh terhadap hilangnya marga-marga yang ada di Samosir.
Dari perdebatan tersebut, saya menilai bahwa pemahaman kandidat mengenai keberadaan tanah adat sebagai identitas budaya belum ada. Minimnya pemahaman para calon kandidat mengenai tanah adat ini sangat merugikan masyarakat kabupaten Samosir ke depan. Hal ini akan berdampak pada kebijakan kepala daerah, yang memandang tanah adat hanya semata untuk pengembangan ekonomi dan menjadikannya sebagai komoditas yang diperjualbelikan.
Melindungi dan Mengakui Tanah Adat
Pengetahuan akan pentingnya tanah adat sebagai identitas budaya, secara khusus di kabupaten Samosir, sudah selayaknya dimiliki oleh calon kepala daerah. Beralihnya kepemilikan tanah-tanah adat di Samosir akan menghancurkan budaya dan masyarakat Samosir. Kita tidak bisa menutup mata bahwa kehadiran proyek strategis pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba menjadi salah satu ancaman atas keberadaan tanah adat.
Kabupaten Samosir dihuni oleh masyarakat yang menduduki tanah-tanah adat. Tanah-tanah adat ini adalah identitas budaya yang kepemilikannya ada secara komunal maupun individual. Barangkali, sebagian tanah-tanah adat ini belum memiliki surat kepemilikan karena dimiliki secara komunal oleh masyarakat. Oleh karenanya, calon kepala daerah di Kabupaten Samosir harus memiliki visi untuk melindungi dan mengakui hak adat atas tanah-tanah adat milik masyarakat. Semoga?
====
Penulis Mahasiswa dan Anggota PARSAMOSIR Yogyakarta
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]