Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Belakangan para kepala daerah yang baru menjabat pasca memenangi Pilkada sibuk "membabat" para pejabat. Pertimbangannya berbagai macam, ada yang sarat politis, ada yang berbuat tidak etis. Selain itu, pertimbangan citra diri. Ini yang marak disoroti dan mendulang puja-puji, karena terlihat tanpa kompromi. Bernafsu sikat pejabat demi masyarakat. Diawali marah, rekam dari segala arah, lalu jadi berita ke berbagai penjuru nusantara melalui ragam media.
Tentu saja gelagat seperti ini gawat, bikin ketar ketir, khususnya buat para pejabat pimpinan tinggi. Bisa saja ia yang kini di atas, terjun bebas jadi staf kandas. Kepala daerah yang "mengegas", sungguh bikin cemas.
Di wilayah Provinsi Sumatera Utara, sikat pejabat kerap terjadi. Selama ini, pencopotan jabatan dominan "diaminkan". Tanpa kaji dan uji. Bukan sekali dua kali dan bahkan mencapai tingkat pimpinan tinggi.
Salah satu sekda kota, ia dicopot kepala daerah. Sebut saja namanya Budi. Terlepas dari apa perbuatannya, ia tak terima. Menurutnya, ada kesalahan prosedur dalam pencopotan jabatan. Mulai dari pengetikan surat panggilan dan pemeriksaan dipermasalahkan Budi. Tak pelak, ia bikin gelagapan telak, karena melakukan di luar kebiasaan. Pengelolaan kepegawaian yang berada di zona nyaman mendapat kejutan.
BACA JUGA: Medan Maju, Guru Sejahtera
Ia lapor ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menang pula! Ini bikin kepala daerah kehilangan muka, ternyata pencopotan jabatan tidak sesuai ketentuan.
Begitu pula nasib seorang eselon tiga, konon bermarga Sinaga. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba kok dicopot tanpa tahu kesalahan. Bukan soal kinerja, apalagi disiplin dan pidana. Kepala daerah ditanya, bungkam seribu bahasa. Upaya perlawanan dilakukan tahunan dan akhirnya ia kembali ke eselon yang sama pas pencopotan.
Ketentuan
Kepala daerah berkuasa, tak serta merta bisa suka-suka. Sekalipun niat baik memberantas pelanggaran, tetap pelaksanaan harus mengacu kepada ketentuan. Apabila ditemukan dugaan perbuatan pejabat yang tidak mengenakkan, ada dua aturan yang memuat ketentuan pencopotan jabatan dalam seketika.
Pertama, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). PP ini menyatakan bahwa perbuatan yang melanggar kewajiban atau larangan PNS tingkat berat, dapat dijatuhi hukuman disiplin berat diantaranya berupa pembebasan/pencopotan jabatan. Hanya penjatuhan hukuman tidak seenak udel begitu saja, ada tata cara dan mengedepankan praduga tidak bersalah.
Menurut Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 21 Tahun 2010 yang merupakan petunjuk pelaksanaan (juklak) PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, proses pelanggaran kewajiban atau larangan PNS dilakukan oleh atasan langsung atau tim ad hoc (bentukan Pejabat Pembina Kepegawaian/Kepala Daerah yang terdiri dari tiga unsur: kepegawaian, pengawasan dan atasan langsung atau pejabat lain yang ditunjuk) melalui pemeriksaan. Ini perlu ditegaskan, karena sering kali terjadi kekeliruan.
Proses pelanggaran kewajiban atau larangan PNS sering kali masih mengandalkan inspeksi mendadak (sidak) atau mengandalkan hasil audit/pemeriksaan Inspektorat. Padahal tidak, sidak atau hasil audit/pemeriksaan Inspektorat hanya sumber informasi pelanggaran, untuk dipelajari dan ditindaklanjuti atasan langsung atau tim ad hoc melalui pemeriksaan.
Kedua, Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. UU ini menyatakan bahwa pelanggaran administrasi berat seperti penyalahgunaan wewenang, dapat dijatuhi sanksi administratif berat diantaranya berupa pemberhentian/pencopotan jabatan. Hanya sama dengan penjatuhan hukuman disiplin, mekanisme tidak seenaknya. Tahapan proses pelanggaran administrasi dilakukan oleh atasan langsung atau tim Inspektorat (Aparat Pengawas Intern Pemerintah) melalui pemeriksaan.
Betapa penting pemeriksaan, memastikan informasi berimbang dan dugaan terang benderang. Artinya, sesuai kedua ketentuan, segemas-gemasnya kepala daerah sama seorang pejabat karena perbuatan tertentu dengan bukti segudang, tak bisa langsung "menendang". Sering kepala daerah mengatakan kepada ajudan, "panggil kepegawaian, copot pejabat ini sekarang". Itu perilaku kepala daerah sewenang-wenang dan usang.
Harapan
Setelah menilik sesuai kedua ketentuan dan mengingat pengalaman, pencopotan pejabat oleh kepala daerah berpotensi gugatan dan rawan kekalahan. Pencopotan pejabat yang tidak mengacu ketentuan sebagaimana dijabarkan perlu ditertibkan.
Jajaran pemerintah daerah khususnya penunjang kepegawaian dapat melakukan internalisasi dan penajaman pengetahuan, serta menyampaikan kepada pimpinan dengan penuh keberanian, bukan membiarkan. Sudah bukan zamannya lagi, menuntaskan pelanggaran dengan turut melakukan pelanggaran. Copotlah jabatan PNS sesuai ketentuan.
====
Penulis adalah Warga Kota Medan
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]