Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MAKNA sederhana dari demokrasi, diterjemahkan oleh Presiden Amerika ke-16, Abraham Lincoln, dengan satu kalimat sederhana; “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” Pemaknaan tersebut, tentu sejalan dengan makna asli dari demokrasi itu sendiri. Dalam bahasa Yunani, demos berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan. Sehingga, sampai di sini semakin jelas bahwa peran sentral masyarakat dan fokus serta lokus pemerintahan, apapun kondisinya, tetap harus berorientasi pada “akar rumput”. Termasuk di dalam agenda setting kebijakan menjadi kebijakan publik, hingga tahap implementasi, yang sedikit banyaknya akan dijalankan oleh pemerintah dan birokrasi. Semua dijalankan secara partisipatif.
Jika merujuk pendekatan William Dunn, terdapat policy process (circle) dengan memahami substansi dari kebijakan, yang dimulai dengan pemahaman atas perspektif dan issu terkini (policy substance) sesuai konteks lingkungan terkait. Kemudian, issu public tersebut dihubungkan dengan proses kebijakan (policy process) yang dijalakan oleh pembuat kebijakan--aktor dalam serangkaian prosedur. Pada tahap ini, tentu partisipasi masyarakat bisa diketahui dengan jelas di dalam menata isu publik, sampai kepada kebijakan publik. Sehingga, makna demokrasi tidaklah kehilangan esensinya, sekalipun pada tahap perealisasian (implementasi) kebijakan, yang dijalankan oleh birokrasi dan pemerintah.
Jika melihat situasi terkini, di tengah Pandemi COVID-19 yang masih mewabah di berbagai pelosok dunia. Termasuk di Indonesia. Sebagai mandat konstitusi, alinea ke-2 UUD 1945, “Mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia,” tentu perlu dikejawantahkan, dengan penanganan dampak buruk Pandemi COVID-19. Kasus positif per 17/6/2021 terus bertambah, sebanyak 12.624 menjadi 1.950.276 total kasus. Total pasien sembuh 1.771.220 orang. Namun, pasien meninggal kian meningkat 53.753 orang (Merdeka.com 17/6). Dari sisi ekonomi realitas pilu masih terlihat jelas, menurut BPS Agustus 2020 jumlah pengangguran meningkat 2,67 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Ekonomi mengalami perlambatan, Triwulan I 2021 tumbuh sebesar -0,74 persen, jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu hanya 2,97 persen.
Dalam menghadapi tantangan global tersebut, Peran pemerintah dan birokrasi menjadi vital di masa Pandemi COVID-19, lantaran kedua bagian ini merupakan satu-kesatuan untuk menjalankan pelayanan publik sebagai output dari proses bernegara. Negara perlu hadir kepada masyarakat lewat pemerintah pusat/daerah (eksekutif) dan birokrasinya. Pasalnya, secara konstitusonal, paling tidak ada 2 alasan yang menegaskan hal itu; 1.) Masyarakat telah mendelegasikan wewenang di dalam politik elektoral kepada pemerintah dan sekaligus birokrasi untuk menjadi pelayan publik dan, 2.) sebagai hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan fasilitas dan pelayanan dari negara.
BACA JUGA: Memaknai Lukisan Kehidupan
Masalah yang dihadapi pemerintah daerah dan birokrasi saat ini, khususnya di tingkat lokal saat ini, kedua aktor tersebut belumlah berjalan secara otonom sebagaimana yang diharapkan. Sebagai contoh misalnya, koordinasi dengan pusat masih belum terlaksana dengan baik. Termasuk saat realokasi anggaran, refocusing program, realisasi kebijakan hingga satuan data terpadu sering menuai masalah. Akibatnya, distribusi bansos daerah/desa, Program Keluarga Harapan (PKH), Bantua Pangan Non Tunai (BPNT) mendapatkan kendala serius di lapangan.
Secara teknis, kendala di dalam pengalokasian bantuan publik ini menunjukkan adanya persoalan di tingkat birokrasi. Pemerintah Daerah pun sebenarnya secara tidak langsung terlibat di dalamnya. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum, jika seorang kepala daerah memenangkan kontestasi elektoral, maka jabatan struktural dan fungsional ASN pun bisa berubah-ubah tanpa memiliki pemetaan yang jelas sesuai potensi dan kompetensinya. Tak jarang; kadis, kabid, kabag, kepsek, camat dan lurah ikut mengalami pergantian struktural tergantung pihak eksekutif di tingkat daerah yang berkuasa. Keadaan ini bagaikan pedang bermata dua, bisa berbuah positif, bisa pula membusuk secara negatif, tergantung cara kepala daerah, dalam menentukan jabatan struktural di tingkat birokrasi tersebut.
Itu sebabnya, Mifta Thoha (2003) menganjurkan bahwa, efektivitas pelayanan birokrasi menjadi efektif dengan ditentukan 2 hal; pertama, pemimpin yang memahami persoalan dengan jelas dan kedua, moralitas di dalam setiap tindakan pemimpin tersebut. Jika sikap demikian bisa dijalankan, maka setiap pemimpin struktural dalam birokrasi dan pemerintah daerah yang menjalankan tugasnya secara otonom tentu bisa mengatasi berbagai kendala teknis penanganan Pandemi COVID-19 yang sering dijumpai di lapangan.
Beberapa kendala di dalam penyaluran bansos misalnya, masalah yang sering di temui, seperti; maladministrasi, tidak adanya tempat (kontak) pengaduan, akurasi data yang tidak benar, belum lengkapnya elektronivikasi data. Bahkan, tak jarang daftar pemilik bantuan telah ditemukan meninggal dunia, pindah kriteria penerima dan ditemukan pula manipulasi data kriteria penerima bantuan. Meskipun demikian, di situasi Pandemi COVID-19, perbaikan data base penerima manfaat lewat digitalisasi tentu menjadi pilihan terbaik. Verifikasi dan validasi sebelum, pada saat dan setelah pengalokasian bantuan serta pemberian sanksi dan reward bagi para koordinator/pendamping PKH dan BPNT bisa menjadi solusi.
Solusi yang tak kalah penting dalam rangka perbaikan kinerja birokrasi saat ini adalah digitalisasi. Dalam upaya penerapan digitalisasi ini, tema kolaborasi, inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, memang sedang diupayakan guna mencapai Birokrasi 4.0. Paling tidak, percepatannya sangat dibutuhkan selama Pandemi COVID-19, seperti penerapan birokrasi digital yang terjadi di Korea Selatan dan Taiwan, yang diketahui mudah secara administratif, lewat digitalisasi birokrasi, sehingga bisa turut serta menekan laju penyebaran Pandemi COVID-19.
Secara global, menurut survei e-Government Development Index (EGDI) oleh United Nation, Indonesia memang berada di peringkat 88 dari 193 negara di dunia. Pencapaian tahun 2020 tersebut, sudah mengalami peningkatan dibanding tahun 2018 (107) dan 2016 (116) (Mediaindonesia.com 19/6/21). Namun demikian, di lapangan masih ditemukan sejumlah kendala dalam pengurusan keperluan administratif penduduk lokal yang belum go digital. Hal itu didukung pendapat Eko Prasojo (2013), ketika menjabat sebagai wakil menteri pendayagunaan aparatur negara dan birokrasi beberapa waktu silam, menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 7 realitas yang memperburuk birokrasi di Indonesia; 1. Pola pikir birokrat yang terlalu kaku, 2. Budaya kerja yang lemah, 3. Birokrasi terlalu gemuk, 4. Peraturan perundang-undangan tidak harmonis, 5. Birokrat ditempatkan tidak berdasarkan potensinya, 6. Kewenangan yang tumpang tindih dan 7. Pelayanan publik yag buruk.
Selain karena Pandemi COVID-19, upaya digitalisasi birokrasi harus dilakukan mengingat Bank Indonesia menargetkan tahun 2025 digitalisasi keuangan menjadi keharusan dalam meghadapi keadaan global, Kemenkominfo pun bertindak cepat dengan menargetkan 83.000 lebih desa di Indonesia akan memiliki jaringan 4G di tahun 2022. Tantangan yang dihadapi di tingkat birokrasi yang telah diutarakan sebelumnya, tentu mengharuskan peran pemimpin di tingkat birokrasi yang lebih dominan untuk mengkoordinir bawahannya, dalam melaksanakan upaya digitalisasi. Pun demikian dengan pemerintah daerah (provinsi/kota/kabupaten) perlu memberikan reward dan punishment dalam struktur birokrasi yang berhasil menjalankan tugasnya lewat pemetaan yang terencana. Jika hal demikian bisa terlaksana, maka makna demokrasi sesungguhnya telah membumi di Indonesia.
====
Penulis Mahasiswa Magister Ilmu Politik FISIP USU
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]