Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DEWASA ini, makna literasi mengalami perluasan. Dulu, literasi dipahami sebatas pada kemampuan melek huruf—membaca dan menulis. Sekarang, literasi tidak hanya mencakup dua kemampuan dasar tadi. Dimensi literasi menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), misalnya, memuat beberapa unsur lain, seperti literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan. Transformasi makna literasi ala Kemdikbud ini bukan tanpa alasan. Kecakapan-kecakapan inilah yang diyakini menjadi modal penting dalam menghadapi tantangan global.
Sayangnya, kita tidak dapat serta-merta melompati-untuk tidak menyebut mengabaikan—fakta bahwa masih banyak penduduk Indonesia yang mengalami tuna aksara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap bahwa pada tahun 2020 sekitar 1,93 persen penduduk Indonesia masih mengalami buta huruf. Jumlah itu meningkat dibandingkan data pada tahun 2019. Saat itu, penduduk yang buta aksara sebanyak 1,78 persen.
Secara hitungan matematika, angka 1,93 persen memang terbilang kecil. Sangat kecil malah! Karena pada saat yang sama, sebanyak 98,07 persen orang Indonesia lainnya telah mampu membaca dan menulis. Tapi, mari kita telusuri lebih jauh lagi. Jumlah penduduk kita pada tahun 2020 mencapai angka 271.349.889 jiwa. Artinya, ada lebih dari 5,2 juta jiwa manusia Indonesia yang masih terpapar buta aksara. Jumlah itu hampir sama banyaknya dengan seluruh penduduk Singapura (5,7 juta).
Bahaya Buta Aksara
Buta aksara berbanding lurus dengan kemiskinan. Ini tidak main-main. Edi Dores dan Jolianis dalam penelitian berjudul Pengaruh Angka Melek Huruf dan Angka Harapan Hidup terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Sumatera Barat (2014) menemukan adanya pengaruh signifikan antara angka melek huruf terhadap jumlah penduduk miskin di Sumatera Barat.
Senada dengan hasil riset itu, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Jumeri menemukan bahwa dari sisi pembagian belanja rumah tangga masyarakat, semakin tinggi pendapatan, tingkat melek huruf semakin tinggi (sumber: Bisnis.com, 04 September 2020). Atau, dengan kata lain, semakin rendah pendapatan, tingkat melek huruf juga ikut rendah.
Persoalan ini kian pelik mengingat kasus buta aksara biasanya lebih didominasi penduduk berusia lanjut (45 tahun ke atas). Pada umumnya, orang-orang dengan kategori demikian memiliki kecenderungan untuk enggan belajar membaca dan menulis. Padahal dengan melek huruf, seseorang akan mampu mengakses informasi krusial yang berkaitan dengan perekonomian, kesehatan dan hal-hal penting lainnya untuk membantu keluar dari zona kemiskinan.
Dan bukan hanya dari sisi kemiskinan, buta aksara pun rupanya memiliki dampak negatif bagi kesehatan. Studi para ilmuwan dari Columbia University menemukan bahwa orang yang tidak pernah belajar membaca dan menulis, hampir tiga kali lebih mungkin mengalami demensia daripada mereka yang pernah belajar dan memiliki kemampuan baca tulis.
Sekadar informasi, demensia merupakan penyakit yang mengakibatkan penurunan daya ingat dan cara berpikir. Dalam penelitian tadi, orang-orang yang buta huruf mengikuti serangkaian uji memori, bahasa, serta kemampuan visual dan spasial. Peserta yang buta huruf menunjukkan hasil-hasil yang lebih buruk karena tingkat fungsi kognitif yang lebih rendah dibandingkan peserta yang melek huruf.
Pembelajaran Berbasis Kewirausahaan
Menurut data BPS, di semua provinsi di Indonesia terdapat penduduk buta huruf. Hanya, persentasenya berbeda-beda. Setidaknya ada enam provinsi yang patut mendapatkan perhatian khusus: Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat.
Di enam wilayah ini, penduduk buta aksara pada kelompok usia 45 tahun ke atas cukup tinggi (15-32%). Untuk kelompok usia di bawahnya, terutama penduduk usia sekolah, pemerintah hanya perlu memastikan tidak terjadinya kasus putus sekolah. Dengan bersekolah, mereka diyakini akan mampu untuk menguasai kemampuan baca-tulis, yang kemudian harus diteruskan pada aspek-aspek literasi lanjutan lainnya.
BACA JUGA: Gotong-royong di Tengah Pandemi
Pertanyaannya adalah mengapa harus memberi prioritas pada penduduk buta aksara kelompok usia 45 tahun ke atas? Jawabannya sederhana. Seperti yang disinggung sebelumnya, di satu sisi, mereka sudah tidak memiliki motivasi untuk mengecap pendidikan (membaca dan menulis). Tapi, di sisi lainnya, mereka masih tergolong ke dalam usia produktif. Sehingga, mau tidak mau, mereka harus tetap bekerja demi roda perekonomian pribadi maupun keluarga.
Masalahnya, mengajari orang dewasa sangat berbeda dengan mengajari anak-anak. Menurut Malcolm Knowles, pada anak-anak, teori yang dipakai adalah pedagogi. Sementara untuk orang dewasa yang digunakan adalah teori andragogi. Pendeknya, dalam teori andragogi, belajar bagi orang dewasa akan dirasa bermanfaat ketika terdapat relevansi langsung dengan pekerjaan. Dengan demikian mengajarkan membaca dan menulis kepada mereka harus berpedoman pada poin ini.
Jika pengajaran baca tulis diselenggarakan ala pendidikan formal, yakinlah, hasilnya tidak akan memuaskan. Selain memakan waktu yang cenderung lama, metode yang dipakai pun cenderung konservatif. Oleh karena itu, pembelajaran non-formal menjadi pilihan paling rasional karena jangkauan yang lebih luas dan flekisibilitas soal waktu dan pola belajar.
Pada kelompok buta huruf usia 45 tahun ke atas, belajar baca tulis harus berbasis kegiatan kewirausahaan (entrepreneurship). Sebab jika usaha memberantas buta huruf hanya terbatas pada aspek pendidikan keaksaraan dasar, itu tidak akan berhasil karena tidak memiliki manfaat langsung. Masyarakat juga harus mendapatkan keterampilan-keterampilan lain yang bisa memberikan penghasilan tambahan, di samping belajar membaca dan menulis.
Sebagai contoh, masyarakat buta huruf, terutama kaum ibu-ibu, dapat diajari baca tulis lewat kegiatan tata boga. Pengenalan huruf akan lebih mudah diserap dan diimplementasikan lewat, misalnya, penulisan resep makanan. Logikanya, masak-memasak merupakan bagian yang sangat dekat dengan mereka. Maka, perbendaharaan kata-kata yang terkait dengan resep, seperti aduk tepung, kupas bawang, potong daging dan lain-lain, akan lebih cepat dipahami ketimbang kata-kata ini Budi, ini bola—untuk sebatas memberi contoh. Hal yang sama juga berlaku untuk keterampilan di bidang lain seperti perbengkelan, jahit-menjahit, pertukangan, dan lain-lain.
Yang tidak kalah penting adalah memastikan konsistensi dan keberlanjutan program, sehingga angka tuna aksara dapat terus ditekan ke titik nol. Mari berantas buta huruf nasional!
====
Penulis esais, pengarang buku dan guru di SMP/SMA Sutomo 2 Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]