Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Medan hari ini merayakan hari jadinya yang ke-431 tahun. Selain kulinernya, Medan juga dikenal dengan banyaknya istilah khas dalam percakapan sehari-hari warganya, seperti doorsmeer untuk tempat cuci motor hingga mandi untuk menyatakan teh manis dingin alias es teh manis.
Dalam rangka merayakan HUT Medan ke-431, yuk pahami makna sejumlah istilah khas Medan biar gak apa kali.
1. Kereta untuk Motor
Masyarakat di Medan atau Sumatera Utara (Sumut) pada umumnya menggunakan 'kereta' untuk menyebut sepeda motor dan motor untuk menyebut mobil. Mengapa?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kereta sebenarnya memiliki tiga arti. Pertama, kendaraan yang beroda dua atau empat (biasanya ditarik oleh kuda). Kedua, kata kereta diartikan sebagai kereta api, dan ketiga adalah sepeda motor.
Namun, penyebutan kereta di luar Medan atau Sumut pada umumnya bisa menimbulkan multitafsir. Jika ke wilayah Jawa, kereta lebih sering diartikan sebagai kereta api, bukan sepeda motor.
Ahli bahasa yang juga akademisi dari Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof Amrin Saragih, menjelaskan alasan mengapa 'kereta' digunakan warga Medan untuk menyebut sepeda motor.
"Dulu segala kendaraan yang bergerak tidak dipandu oleh manusia disebut kereta," kata Amrin, Sabtu (6/2/2021).
Amrin mengatakan jenis kereta yang pertama adalah kereta yang ditarik lembu. Seiring dengan berkembangnya zaman, muncullah kereta dengan menggunakan mesin.
"Contohnya kereta lembu, kemudian ada kereta berjentera, jentera itu mesin," ucapnya.
amrin menyebut kereta bermesin kemudian tak lagi disebut sebagai kereta berjentera, melainkan hanya 'kereta'. Amrin mengatakan tidak mengetahui pasti alasan kata berjentera itu dihilangkan dari percakapan warga.
"Tapi bedanya kereta ini bertahan pada sepeda motor itu tanpa dibarengi kata-kata yang lain. Sama sebenarnya dengan di Semenanjung, Malaysia. Di Semenanjung itu, kata kereta untuk mobil," tutur Amrin.
2. Pajak untuk Pasar
Kata 'pajak' digunakan oleh mayoritas masyarakat Medan untuk menyebut pasar tradisional. Pajak sendiri memiliki tiga arti dalam KBBI.
Pertama, pajak berarti pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya.
Kedua, pajak berarti hak untuk mengusahakan sesuatu dengan membayar sewa kepada negara. Ketiga, pajak berarti kedai; lepau; los tempat berjualan (di Madura).
Pemko Medan sendiri tetap menggunakan kata pasar untuk menyebut tempat berbelanja tradisional di kota ini. Meski demikian, pasar malah diartikan sebagai jalan dan pasar untuk tempat berbelanja adalah pajak dalam percakapan sehari-hari. Kok gitu?
Akademisi Fakultas Ilmu Budaya USU, Budi Agustono, memberi penjelasan soal awal mula 'pajak' digunakan untuk menunjukkan pasar. Dia mengatakan hal itu bermula sejak 1950-an.
"Sebutan pajak untuk pengganti pasar sudah lama dikenal masyarakat Sumatera Utara. Tahun 1950-an masyarakat telah menyebut pajak untuk pasar. Disebut pajak karena berhubungan dengan transaksi jual-beli. Sedangkan sebutan pasar dipertukarkan dengan jalan. Dua diksi ini merupakan khas masyarakat Sumatera Utara," kata Budi.
Budi mengatakan masyarakat di Medan ataupun Sumut pada umumnya masih sering memakai kata pajak ketimbang pasar dalam percakapan sehari-hari. Dia mengatakan pajak untuk menyebut pasar juga masih digunakan generasi milenial.
"Disebut pajak karena penjual dan pembeli mengeluarkan alat transaksinya uang, seperti misalnya masyarakat membayar pajak ke pemerintah," ucapnya.
3. Kedai Sampah untuk Warung Penjual Sayur
Istilah 'kedai sampah' disematkan kepada warung kecil yang menjual sayur, cabai, bawang, santan, ikan dan beberapa kebutuhan dapur lainnya. 'Kedai sampah' ini biasanya berada di dekat permukiman warga.
Barang-barang di kedai sampah ini biasanya bisa dibeli dengan harga murah dan dalam jumlah kecil. Warga di Medan dan sekitarnya biasanya berbelanja di kedai sampah jika malas ke pajak.
Ahli bahasa Universitas Negeri Medan (Unimed) Prof Amrin Saragih mengatakan istilah kedai sampah hanya digunakan oleh warga di Medan dan sekitarnya. Menurutnya, tidak ada referensi yang jelas mengapa warung penjual sayur-mayur ini disebut dengan istilah kedai sampah.
"Kalau secara teori tidak ada yang menyebutkan kenapa yang jual sayuran itu disebut kedai sampah," kata Amrin saat dihubungi.
Guru Besar bidang Discourse Analysis ini menilai istilah 'kedai sampah' disematkan ke warung penjual sayur-mayur itu karena barang-barang yang dijual memiliki harga yang murah. Dia menduga hal itu menjadi awal mula warung penjual sayur-mayur dengan harga murah itu disebut 'kedai sampah'.
4. Doorsmeer untuk Tempat Cuci Kendaraan
Tempat mencuci kendaraan di Medan atau Sumut pada umumnya disebut sebagai 'doorsmeer'. Akademisi FIB USU Dr Budi Agustono menyebut doorsmeer yang dipakai warga Medan untuk menamai tempat pencucian kendaraan itu berasal dari bahasa Belanda.
"Doorsmeer berasal dari bahasa Belanda, yang artinya membersihkan," sebut Budi.
?Ilustrasi doorsmeer di Medan (Datuk-detikcom)
Budi menyebut doorsmeer untuk tempat mencuci kendaraan hanya ditemukan di Medan dan sekitarnya. Dia mengatakan tak ada daerah lain yang menyebut tempat cuci kendaraan sebagai doorsmeer.
"Sebutan ini khas Medan yang tidak ada digunakan di tempat lain," ucapnya.
Budi mengaku tak mengetahui pasti sejak kapan doorsmeer dipakai warga untuk menyebut tempat mencuci kendaraan. Dia hanya menyebut Medan telah jadi ibu kota Keresidenan Sumatera Timur sejak 1860-an.
Dia menjelaskan sebutan doorsmeer banyak digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat mencuci motor atau mobil kecil. Kadang, katanya, ada juga orang yang menuliskan 'dorsmer' atau juga 'dorsmeer'.
5. Suka Cakap 'Apa Biar Gak Itu Kali'
Orang-orang di Medan sering menggunakan kata 'apa', 'itu', 'ini' hingga 'itu kali' dalam percakapan sehari-hari yang kadang bikin heran orang-orang di luar Medan. Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Medan Area (UMA) Ara Auza memberi penjelasan penggunaan bahasa dalam komunikasi. Dia menyebut ada dua bahasa, yakni verbal dan nonverbal yang digunakan dalam percakapan orang-orang.
"Pesan dalam komunikasi ada dua, yakni bahasa verbal dan bahasa nonverbal. 'Bahasa Medan' secara umum termasuk dalam makna konotatif. Makna 'apa', 'apa kali', 'cak apakan itu', 'biar gak apa kali', makna yang bisa dimengerti 'orang Medan'," ucap Ara.
Ara menilai tak ada masalah saat orang Medan bicara menggunakan gaya bahasa tersebut kepada sesama orang Medan. Dia meyakini sesama orang Medan pasti memahami maksud dari percakapan itu.
Namun, gaya bahasa tersebut bakal jadi masalah jika orang yang diajak bicara bukan orang Medan. Dia menilai hal tersebut bakal membuat orang dari luar Medan bingung karena tidak paham dengan pesan dari ucapan yang disampaikan.
"Secara komunikasi tidak ada masalah ketika digunakan oleh orang Medan kepada orang Medan lainnya. Inti komunikasi adalah menyampaikan pesan kepada orang lain dan orang yang menerima pesan mengerti mengenai pesan. Yang menjadi masalah ketika viral. Media sosial memungkinkan penyebaran informasi secara masif. Siapa pun bisa menjadi sumber pesan dan penerima pesan. Ketika bahasa Medan sampai kepada orang di luar Medan. Maka, ada pesan yang tidak tersampaikan karena frame of reference dan frame of experience-nya berbeda," tuturnya.
6. Mandi untuk Teh Manis Dingin
Kalau anda ke Medan dan duduk-duduk di kafe atau rumah makan, pasti anda akan sering mendengar orang memesan 'mandi'. Jangan kaget, hal itu bukan berarti orang tersebut mau mandi, yakni membersihkan badan di tempat tersebut.
'Mandi' sendiri merupakan singkatan yang umumnya digunakan warga di Medan untuk menyebut manis dingin alias teh manis dingin atau es teh manis. Selain di Medan, penggunaan 'mandi' untuk menyebut teh manis dingin juga umumnya dipakai orang-orang di sekitar Medan. Selain itu, jika anda hendak meminta sedotan di Medan, gunakanlah kata 'pipet'.(dtc)