Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pendidikan keaksaraan akan benar-benar menjadi medium pengembangan literasi dan pemberdayaan masyarakat ketika prosesnya dilakukan berkelanjutan. Alasannya jelas, bahwa sumbatan arus informasi tidak cukup dibuka dengan pendidikan keaksaraan tingkat dasar, mesti ada tindak lanjut pasca itu.
Memang harus diakui bahwa meramu konsep pemberantasan kemiskinan itu harus dimulai dengan memberantas buta aksara di tingkat dasar. Mengenalkan huruf dan menuliskannya, belajar membaca, berhitung, sampai berbahasa Indonesia. Dilakukan dengan telaten, sabar, dan serba menyesuaikan dengan kondisi sasaran pendidikan keaksaraan itu.
Tetapi arus informasi sebagai suplai pengetahuan dan keterampilan akan sulit masuk pada individu yang hanya mengenal huruf, kata, dan hitung-hitungan dasar. Dengan kata lain, pendidikan keaksaraan itu harus bersifat estafet.
Setelah selesai di tingkat dasar, harus beranjak ke tingkat lanjutan dalam skema pendidikan Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) maupun Multikeaksaraan. Di tahap inilah sasaran mulai bisa melahap intisari sebuah bacaan secara utuh, bahkan menerapkannya untuk peningkatan taraf hidup.
Pekerjaan besar menyukseskan pendidikan keaksaraan dasar dan lanjutan itu tentu tidak mudah. Tidak hanya butuh lebih banyak suplai anggaran, tetapi juga tenaga relawan di tingkat tapak.
Maka disinilah perguruan tinggi sebenarnya bisa terlibat dalam peran penting itu. Apalagi implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai problem solving akan kian terasa kehadirannya dengan adanya program Kampus Merdeka. Dimana mahasiswa akan menjadi aktor perubahan yang kental perannya di tengah masyarakat.
Kampus Mengajar
Program Kampus Merdeka yang salah satu bagiannya adalah Kampus Mengajar, punya prospek sebagai instrumen penting dalam pendidikan keaksaraan. Sebab grand design program ini memang mendorong mahasiswa mengabdi dan mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat, yang salah satu fokusnya adalah daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
BACA JUGA: Taman Siswa: Role Model Merdeka Belajar dan Gelora Budaya
Artinya, program ini sangat memungkinkan diaktualisasi dalam rangka pendidikan keaksaraan di daerah 3T. Tidak hanya di tingkat dasar, tetapi sampai di tingkat lanjutan. Tidak juga hanya menyasar di sekolah, tetapi juga menyasar pada masyarakat yang terputus akses pendidikannya.
Berdasarkan data Susenas BPS tahun 2019, menunjukkan angka penduduk buta aksara kelompok umur 15-59 tahun sebanyak 1,78 persen atau sekitar 3.081.136 jiwa. Meskipun secara gamblang tampak kecil, tetapi jika dibedah, angka 1,78 persen itu justru berada di tempat-tempat yang aksesnya luar biasa sulit.
Di belahan Indonesia Timur, misalnya. Akses yang sulit selaras dengan angka buta aksara yang tinggi pula. Papua menempati urutan pertama dengan tingkat buta aksara mencapai 21,9 persen, disusul NTB 7,46 persen, dan NTT 4,24 persen.
Kehadiran jiwa-jiwa muda dalam program Kampus Mengajar akan menjadi spirit baru bagi dunia pemberantasan buta aksara. Dilihat dari jumlahnya tentu akan mamasifkan gerakan ini sampai ke daerah 3T sekalipun.
Berdasarkan data Kementerian Riset dan Teknologi tahun 2019, jumlah mahasiswa yang terdaftar di Indonesia mencapai 8,3 juta jiwa. Misal 2 persen saja atau sekitar 160 ribu mahasiswa siap terjun dalam rangka pendidikan keaksaraan dasar dan lanjutan, tentu dampaknya akan luar biasa besar bagi kemajuan budaya literasi hingga pemberdayaan masyarakat di sana.
Aktualisasi di Lapangan
Mengajar di daerah 3T itu tidak mudah. Butuh mental kuat dan kebulatan tekad. Tantangannya bukan hanya soal medan yang berat dan sulit diakses publik, tetapi kultur dan bahasa juga menjadi kendala.
Dari hasil studi Summer Institute of Linguistic (SIL) Internasional tahun 2015, menemukan bahwa 90 persen anak di daerah 3T tidak dapat berbahasa Indonesia. Hal ini yang membuat mereka kesulitan untuk menangkap materi dari buku-buku yang notabene berbahasa Indonesia. Akibatnya, arus informasi terputus. Dan itulah cikal bakal munculnya angka buta aksara yang tinggi di daerah 3T.
Untuk itulah aktualisasi program ini penting memilih putra-putri daerah yang menguasai bahasa ibu atau bahasa daerah setempat. Gunanya bukan hanya menyajikan proses komunikasi yang berjalan baik, tetapi ada ikatan emosional dalam proses belajar mengajar.
Secara psikologis, ini akan meningkatkan semangat dan tanggung jawab karena mereka mengabdi untuk tanah kelahirannya sendiri. Tapi perlu diingat, bahwa penggunaan bahasa ibu itu wajib diimbangi dengan pengenalan dan penggunaan Bahasa Indonesia. Sehingga nantinya sasaran pendidikan keaksaraan memiliki bekal kemampuan literasi dan berbahasa Indonesia yang sama baiknya.
Ketika sasaran telah memiliki bekal kemampuan literasi dan komunikasi Bahasa Indonesia yang baik, maka sumbatan arus informasi itu telah terbuka. Disitulah proses peningkatan pengetahuan dan keterampilan akan terus bertumbuh.
Dampak baiknya, potensi daerah 3T yang notabene kaya dengan sumberdaya alam bisa termanfaatkan dengan optimal dan berkelanjutan. Dari yang awalnya masih tradisionil turun-temurun, bertransformasi lebih maju karena masuknya arus informasi dan keterampilan itu.
Ketika telah sampai di tahap ini, Kemendikbud Ristek sebagai leading sector pemberantasan buta aksara perlu memberi dukungan lagi. Minimal menyediakan buku-buku bertema pertanian atau wirausaha.
Dengan buku-buku itu, akan tumbuh rasa penasaran dan minat baca, karena berkaitan dengan mata pencaharian. Sehingga rencana besar menjadikan pendidikan keaksaraan sebagai medium pengembangan literasi dan pemberdayaan masyarakat bisa sama-sama terwujud. Kembali lagi, kuncinya telaten, sabar, dan percaya pada jiwa-jiwa muda untuk membawa estafet pendidikan keaksaraan yang lebih maju.
====
Penulis Kepala Divisi Pendidikan dan Pengkaderan Perkumpulan Garuda Sylva.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]