Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Beberapa hari yang lalu, sebelum tulisan ini dibuat, penulis melakukan perjalanan dari salah satu pelabuhan di Pulau Samosir. Hendak melakukan kunjungan ke Kota Pematang Siantar. Waktu itu, hari masih subuh, belum sampai pukul 06 pagi. Peristiwa memilukan seketika terjadi. Awalnya, penulis hanya ingin memandang keindahan Danau Toba di tepi pelabuhan. Menikmati hembusan angin, dan cahaya mentari yang mulai menunjukkan kemegahannya.
Tiba-tiba, seorang pria muda, mungkin sekitar 30-an usianya berteriak ke arah penulis, “WOiii!”. Teriakannya membuat penulis kaget. Dia menunjuk ke arah wajah penulis, sambil tertawa tak karuan. Penulis akhirnya hanya mencoba untuk tetap tenang, sambil meninggalkan pemuda itu. Maklumlah, layaknya seorang pendatang yang belum memahami situasi di sana.
Lalu, pria yang tadi mendekat ke arah penulis sambil tertawa tak karuan. Mondar-mandir tak tentu arah di sekitar pelabuhan. Penulis mencoba untuk mengamati, dan melihat tingkah pemuda itu. Kemudian, dia seketika telungkup di trotoar jalan. Mendekatkan kepalanya ke air comberan yang ada di dekatnya, kemudian langsung meminum air itu dari mulutnya sendiri. Sungguh mengagetkan.
Karena sudah mulai mengganggu kenyamanan pengunjung di sana, beberapa warga yang mengenal pria itu, mulai membujuknya untuk meninggalkan lokasi. Namun, sayangnya pria itu menolak, dan dia kembali berjalan-jalan di sekeliling pelabuhan, untuk bertindak sesuka hatinya. Penulis hanya bisa berasumsi, kalau, mungkin saja pemuda itu mabuk. Atau mungkin saja, dia sedang bertindak di bawah alam sadarnya.
Ini kisah nyata. Dan, tulisan ini dibuat tidak untuk mengolok-olok pemuda itu, atau untuk mengkritisi pihak manapun. Penulis hanya ingin mengundang para pembaca merenung untuk sesaat. Jelas! Di dalam contoh sederhana tadi, ada makna hidup yang sepertinya mulai terlupakan di tengah-tengah masyarakat kita. Dan, jangan sampai, makna hidup itu justru kita abaikan di situasi sulit seperti sekarang ini. Khususnya kala menghadapi Pandemi COVID-19.
Sebelum kembali ke kisah air comberan tadi, izinkan penulis beralih sejenak ke kisah yang lain. Tentang filsuf berwajah mirip kodok (ini berdasarkan pengakuan filsuf itu sendiri, dan dia sangat menikmati guyonan itu. Bukan penulis yang mengatakannya hehe). Namanya tidak lain adalah Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis Prancis, yang pernah menolak penghargaan nobel sastra,tahun 1964.
Awal kisah bermula sekitar bulan Mei 2021. Penulis baru saja mengikuti satu minggu penuh pekan kelas terbuka filsafat, dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Kami membahas tentang Jean-Paul Sartre, sejarah kehidupannya dan pemaknaannya atas eksistensialis diri. Kira-kira, makna pemikiran Sartre soal hidup dan kematian seperti ini, “Ya, hidup atau mati itu pilihan. Kalau mau hidup, ya bertanggung jawablah atas hidup yang dijalani. Kalau mau mati, ya bertanggung jawablah atas kematian itu. Pilihan ada di tanganmu sendiri”. Kemudian, muncullah suatu pemikiran baru, di selah-selah diskusi kami, dalam konteks pandemi COVID-19. Bahwa, melihat fenomena COVID seperti saat ini, jelas menunjukkan bahwa kematian menjadi hal yang wajar. Tidak perlu ditakuti dan tidak perlu disesali. Kematian menjadi hal yang biasa.
Setelah mengikuti ulasan soal pandangan Sartre itu, penulis sempat membahas pemikirannya di rumah. “Wah, iya juga ya. Kematian hal yang wajar, dan semua orang pasti akan melaluinya,” ucapku spontan. Namun, waktu itu, adikku Elsa Charima menatapku kaget. Jelas, dari tatapannya, seakan mengungkap ketidaksetujuannya dengan pandangan Sartre yang kuucapkan waktu itu.
Sekitar 2 bulan setelah perbincangan di tengah-tengah keluarga kami, soal pemikiran Jean-Paul Sartre, penulis pergi ke salah satu rumah sakit di Balige. Kebetulan, adik penulis, Yubil Christian, harus dirawat di sana, pasca menjalankan operasi. Di malam hari, saat rawat inap, sekitar pukul 02.00 dini hari, penulis terbangun dari tidur. Penulis mendengar tangisan histeris dua orang anak kecil. Satu orang anak perempuan dan satu lagi anak laki-laki. Mereka menangis histeris di kamar sebelah. Sepertinya, kedua anak itu baru saja kehilangan salah satu anggota keluarga mereka. Teriakan dan kesedihan mereka masih membekas di dalam ingatan penulis. Jelas, sosok yang telah meninggal dunia itu dapat dipastikan adalah orang yang sangat mereka kasihi.
BACA JUGA: Dicari, Suasana yang 'Sepenuhnya Romantis'
Beberapa saat setelah itu, di dalam tidur penulis, tiba-tiba teringat dengan ketidaksetujuan Elsa soal pernyataan Jean-Paul Sartre. Penulis kaget!!!! Ya, benar!!! Penulis akhirnya mengerti, dan sependapat dengan ketidaksetujuan Elsa itu. Bahwa, sangat jelas, Sartre terlalu meremehkan makna hidup. Tentu saja, hidup tidak sesederhana kata “mati” ataupun “hidup”. Bernafas atau tidak bernafas. Tentu, makna kehidupan jauh lebih dalam dan berharga dari itu semua.
Coba kita bayangkan! Keluarga inti, terdiri dari ayah, ibu dan anak. Lalu, keluarga besar, terdiri dari ayah, ibu, anak, kakek, nenek, paman, bibik, sepupu dll. Untuk setiap satu orang yang berpulang kepada Pencipta (meninggal dunia), maka akan ada setidaknya lebih dari satu orang yang berduka cita. Jika di keluarga inti, maka akan ada 2 orang yang berduka (ayah, ibu dan anak), belum lagi keluarga besar, belum lagi lingkungan masyarakat. Maka, bisa kita bayangkan, menurut data WHO, jumlah orang yang meninggal akibat Pandemi COVID-19, per 3 September 2021 sebanyak 4.539.723 orang. Maka, jika diandaikan anggota keluarga besarnya sekitar 10 orang, maka akan ada sebanyak 45 juta lebih orang yang sedang berduka di dunia saat ini. Belum termasuk kerabat dekat dan sahabat-sahabatnya.
Intinya, hidup itu jelas sangat berharga. Kita hanya akan hidup sekali di bumi. Lagipula, ada orang-orang yang masih mengasihi kita. Keberadaan kita sangat berarti bagi mereka. Dan perlu diingat pula, bahwa hidup kita bukan hidup kita an sich. Hidup kita juga merupakan hasil perjuangan orang lain, yang telah mengorbankan banyak hal untuk kebutuhan kita pribadi. Hidup kita juga, hasil jerih lelah keluarga dan orang tua kita. Orang-orang dekat kita.
Sebagai contoh misalnya, kelahiran seorang anak di dunia ini jelas tidak mudah, ada orang tua yang harus berjuang melahirkannya, memberikan makan 3 x sehari, mencuci bajunya yang basah karena kencing dan keringat. Mengganti popok yang kotor karena kotoran anaknya sendiri, menyekolahkannya hingga menjadi anak yang berbakti bagi keluarga, nusa dan bangsa. Perjuangan itu menunjukkan bahwa, keberadaan hidup manusia menjadi lebih berarti karena ada cinta-kasih yang dapat dibagikan dan dapat diterima dari sesamanya manusia. Seorang ibu, menjadi lebih berarti untuk keluarganya, karena dia berjuang untuk suami dan anak-anaknya. Seorang anak menjadi lebih berarti hidupnya, ketika dia berjuang dengan gigih untuk membanggakan kedua orang tuanya. Tentu masih banyak kisah cinta kasih lainya yang cukup indah untuk diulas.
Di dalam pemikiran Kristen, hal yang demikian ada benarnya. Di Filipi 1:21-22, Rasul Paulus berkata; Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan". Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberikan buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Hidup di dunia jelas memiliki makna menurut Paulus, yakni untuk berbuah bagi kemuliaan Allah, dan berbuah bagi kebaikan sesama. Namun, sekalipun hidup berujung pada kematian, duka yang dirasa tetap menjadi duka, namun bukan menjadi duka yang tidak berpengharapan. Melainkan, menjadi duka yang berpengharapan, sebab akhir dari kematian adalah pertemuan di dalam suka cita, dengan Pencipta di dalam kekekalan. Namun, sekali lagi, bukan berarti hidup di dunia tidak dijalani dengan suatu tujuan. Seperti kata Paulus, hidup di dunia untuk berbuah.
Nah, makna hidup yang demikian, tentu perlu kita selami lebih jauh lagi. Khususnya soal hidup di dunia. Bahwa, hidup menjadi lebih berharga, ketika ada cinta kasih di dalamnya. Nah pertanyaan berikutnya, sejauh apa kita berbagi cinta kasih kepada sesama?
Penulis jadi teringat dengan cerita seorang adik laki-laki, ketika dia bercerita kepada penulis, bahwa ibunya tetap mendoakan abangnya agar berubah menjadi lebih baik. Dan, ibunya tetap mengasihi anaknya itu secara perlahan, dengan memberikan pengertian dan perhatian kepada anaknya sekalipun anaknya sangat sulit untuk dimengerti dan dipahami kelakuannya. Penulis kagum dengan kisah itu, nyaris hampir sama dengan perjuangan Monika, seorang ibu yang saleh ketika berjuang mengasihi seorang anak nakal, yang kini menjadi filsuf Kristen terkenal dan paling brilian pemikiran dan kesalehan hidupnyanya, bernama Agustinus of Hippo.
Berarti, bisa disimpulkan bahwa, makna kehidupan menjadi nyata ketika kita membagikan kasih kepada sesama. Dan kasih yang nyata, menjadi sempurna, sejauh kita berupaya untuk mengasihi orang yang sulit untuk dikasihi.
Pertanyaan sederhananya, sanggupkah kita mengasihi orang yang minum air comberan di awal kisah tadi? Jika belum demikian, maka kasih yang kita miliki jelas belum sempura dan belum utuh. Serupa halnya di situasi sekarang ini, di tengah keadaan sulit untuk mengasihi orang-orang yang terpapar Covid-19, adakah kita menanyakan kabarnya? Mendoakannya?
Berupaya untuk tetap mengasihi, sekalipun di tengah kesulitan untuk mengasihi karena sakit penyakit yang menjalar di tubuhnya? Patut untuk direnungkan.
====
Penulis Mahasiswa Magister Ilmu Politik FISIP USU, Gemar diskusi filsafat.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]