Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Rantauprapat. Peristiwa kebakaran di Lapas Tangerang, membuat masalah over kapasitas kembali diperbincangkan. Mirisnya, masalah over kapasitas ini ternyata menciptakan "pasar" di dalam penjara (Lapas). Ada tarif tertentu jika ingin merebahkan tubuh dengan lurus. Jika tak ada duit, maka tidur seperti susun ikan gembung, terkadang tidur harus bergantian karena padatnya jumlah penghuninya. Bukan hanya masalah tidur/tempat, makanan juga menjadi ajang transaksi. Sebagaimana dikisahkan Baron (bukan nama aslinya), mantan narapidana yang pernah mengalami pengapnya udara di Lapas Rantauprapat, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatra Utara.
Lelaki 33 tahun ini mengisahkan hidupnya selama di Lapas Rantauprapat. Dia mengaku ditangkap pada tahun 2017 dan bebas tahun 2020.
Baron mengatakan, untuk bisa hidup layak di penjara maka kuncinya adalah uang. Misalnya untuk kamar tahanan, maka ada ada tarifnya kecuali untuk kamar yang padat
"Yang paling mahal itu namanya kamar sel. Ukurannya sekitar 2x3 meter. Itu biasanya ditempati dua orang. Tarifnya bisa sampai Rp 5 juta. Kamar yang gratis itu, Blok B namanya. Blok A juga. Itu sekitar 5x6 atau 4x6 ukurannya, isinya ada yang sampai 50 orang. Disitulah napi-napi yang tidur pakai ayunan itu. Impit-impitan atau gantian tidurnya," paparnya kepada medanbisnisdaily.com.
Semakin nyaman kamarnya maka tarifnya pun akan semakin tinggi. Bahkan ada kalanya tetap harus bayar, agar bisa ditempatkan ke Blok B. Itu terjadi ketika tahanan yang baru masuk ingin keluar dari sel orientasi (Mapenaling).
"Kalau kita tidak bayar mau sebulan atau dua bulan di orientasi, ongkosnya Rp 300 Ribu paling murah. Selain padat orientasi juga gelap, apakah sengaja dibikin di ujung, gak tau lah " sebut Baron.
Sementara untuk kamar yang lebih layak yakni blok C dan D, Baron mengatakan tarifnya antara Rp 800 Ribu sampai Rp 1,5 Juta. Di blok ini, kamar berukuran 5x6 m, ditempati 20-25 napi. Sehingga bisa tidur dengan kaki selonjor (lurus), meski harus pas-pasan.
Selain kamar, Baron juga mengatakan untuk makan yang layak pun napi harus mengeluarkan biaya. Alasannya karena makanan yang disediakan lapas seringkali terasa hambar.
"Biar te-makan compreng (makanan lapas) itu, paling enggak harus beli kuah lah di kantin, Rp 2 Ribu. Sama kerupuk paslah Rp 5 Ribu. Kalo gak, tak te-makan, gak lewat," ujar Baron.
Baron mengaku lauk-pauk yang disediakan setiap harinya memang selalu berganti-ganti. Di dalamnya ada daging ayam, ikan dan telur serta tempe. Namun rasa dan penyajiannya kurang baik. Termasuk wadah makanannya (compreng) yang tidak dicuci bersih.
Untuk makanan ekstra, minimal sekali sepekan, napi akan diberi bubur kacang hijau . Namun disayangkan rasanya lagi-lagi hambar.
"Coba bayangkan bubur kacang hijau direbus aja, tapi gak pakai gula. Kayak gitulah yang dikasi. Makanya sering gak dimakan," katanya.
Karena itu untuk rasa makanan standart napi terpaksa membeli ke kantin. Harga termurah mulai dari kuah Rp 2.000 sampai nasi campur lengkap seharga Rp 15.000.
Handphone
Mengenai handphone, Baron mengatakan, di masanya penggunaan handphone merupakan hal biasa. Karena, jika hal ini diberantas malah akan menyengsarakan para napi.
"Kalo gak ada handphone, wuih peninglah. Namanya kita rindu sama anak istri. Kalau dibilang dimanfaatkan bandar narkoba, satu- satu iya. Tapi seharusnya bandarnya yang diatur, bukan handphonenya," bilangnya.
Namun Baron menegaskan longgar tidaknya suatu peraturan, tergantung pada tipe Kalapasnya. Karena jika Kalapasnya tidak terlalu ketat, walau ilegal handphone akan tetap beredar di dalam lapas.
Tentunya dengan adanya larangan kepemilikan handphone, maka segala sesuatunya dilakukan secara tersembunyi atau di pasar gelap. Dari mulai menyelundupkannya masuk ke dalam Lapas, (biasanya menggunakan jasa sipir), sampai bisnis jasa mengecas baterainya.
"Biasanya tamping (tahanan pendamping) cari uang masuknya dari cas-casan ini. Tamping kan bisa ngecok ke listrik. Mau tamping kantor, tamping masjid (dan gereja), tamping dapur, hampir semua lah bisa," kata Baron.
"Terus satu lagi, yang di kamar sel. Karena berdua itu, jadi gampang dia. Biasanya listriknya diambil dari sambungan kipas angin atau lampu, dibuat orang itu cok (sambungan ilegal). Cuma kalo ketahuan hukumannya kereng (masuk ruang isolasi) sama pindah kamar, berat juga risikonya," sambungnya.
Posisi tamping menjadi salah satu yang diburu para napi. Sebagai pekerja di dalam Lapas, tamping akan diberi kamar khusus dan punya akses ke dapur untuk mendapatkan jatah makanan yang lebih baik. Karena itu untuk posisi tamping tertentu dibutuhkan syarat memiliki keahlian khusus . Misalnya tamping listrik, tamping dapur ataupun tamping bengkel.
Namun ada juga jenis tamping yang tidak memerlukan keahlian khusus. Misalnya tamping kunci, tamping kebersihan ataupun tamping pintu. Untuk tamping jenis ini, napi yang berminat harus membayar tarif tertentu agar bisa terpilih. Berkisar antara Rp 500.000-Rp 1 juta.
Meski harus berbayar posisi ini tetap diperebutkan banyak napi. Karena selain hak diatas, tamping juga bisa mendapatkan kemudahan dalam urusan segala kepentingannya. Misalnya hak untuk pembebasan bersyarat (PB) atau tidak akan dipindahkan ke Lapas lain.
"Biar gak dikirim (dipindah) ya jadi tamping lah. Atau kalo ada nama kita di daftar (yang dipindah), bisa juga kita bayar biar gak dikirim. Tapi yang kayak gini mahal, mau sampai Rp 5 juta ke atas," ungkap Baron.
Karena itu Baron mengatakan kondisi over kapasitas ini ternyata menguntungkan oknum sipir di penjara. Alasannya dengan banyaknya jumlah napi, maka tercipta sebuah pasar potensial di dalam penjara.
Seperti misalnya kantin, bisa meraup keuntungan jutaan rupiah per harinya. Yang menurut Baron, pada masanya dikelola bergiliran oleh para petinggi lapas.
Baron menilai itulah sebab mengapa hingga kini masalah over kapasitas tak kunjung usai diatasi. Karena ada pasar yang tercipta dari kondisi yang sebenarnya melanggar hak asasi ini.
Arus Tahanan
Dilihat dari situs smslap.ditjenpas.go.id, Minggu (12/9/2021), dari 39 Lapas/Rutan yang ada di Sumut, hanya 5 yang tidak over kapasitas. Sedangkan 34 sisanya mengalami kelebihan rata-ata 270%. Dua lapas yang ada di Labuhanbatu, Sumatera Utara (Sumut), yakni Lapas Rantauprapat dan Lapas Kotapinang, kondisi keduanya masing- masing over 298% dan 182%.
"Begini saja kapasitas 375, hari ini ada 1.448. Kondisinya over hampir 400 %," kata Kalapas Rantauprapat, Jayanta Sitepu, kepada wartawan, Sabtu (12/9/2021).
Jayanta mengatakan, arus tahanan yang masuk selalu lebih besar dari arus Napi yang keluar (bebas). Karena itu tingkat persentase over kapasitas nya tetap saja terus meningkat. "Ini kita sudah sangat terbantu dengan adanya asimilasi Covid," katanya.
Untuk mengurangi tingkat over kapasitas, Jayanta mengatakan salah satu caranya adalah memindahkan Napi ke beberapa Lapas lainnya. Meski tak jarang kondisi serupa juga terjadi Lapas yang dituju."Ini kita mau pindahkan juga. Memang hampir semua over, dicarilah yang agak lapang," sebut Jayanta.