Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEBAGAI guru, izinkan saya menggambar murid-murid saya dengan kalimat tentang bagaimana mereka di masa depan. Tulisan singkat ini murni untuk berbagi kepada rekan-rekan guru, bukan untuk menggurui. Maafkan jika jadi terkesan menggurui.
Jadi, begini. Saya seorang guru. Banyak orang berpikir: guru harus pintar. Dan, harus lebih pintar dari siswanya. Pemikiran itu benar adanya. Sebab, seorang guru harus pintar terlebih dahulu sebelum memintarkan siswanya.
Namun, itu hanya kondisi awal. Pada kondisi selanjutnya, siswa harus jauh lebih pintar dari gurunya. Sepintar-pintarnya guru, jika ia pintar sendiri, maka sejatinya ia sedang gagal sebagai guru. Karena itulah, dalam hemat saya, murid justru harus jauh lebih, tidak hanya sekadar lebih pintar, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu lebih hebat dari gurunya. Sederhanya, siswaku pada masa depan harus jauh lebih hebat dibandingkan saya pada tingkat usia yang sama.
Sebab, sekali lagi, guru terbaik adalah guru yang bisa membuat siswanya jauh lebih hebat dari gurunya sendiri. Tentu, arti jauh lebih hebat adalah bahwa sang siswa bisa berkembang sesuai dengan cita-citanya sebagai manusia. Guru tak bisa mendikte siswa: kamu harus dokter, kamu harus guru, kamu harus artis, kamu harus ini, kamu harus itu. Arti hebat di sini lebih pada bagaimana siswa itu bisa mencapai level terbaiknya sebagai manusia atas dasar inspirasi dari guru. Itulah yang disebut Ki Hadjar Dewantara sebagai kodrat alam.
Karena itu, perjumpaan guru dan siswa di ruang kelas sebenarnya ibarat pertunjukan seni. Guru datang untuk memahat siswa. Dalam hal ini, saya mengimaninasikan, ketika murid masuk ke dalam kelas, mereka masih belum berisi dan haris siap disakiti (=dipahat). Belum berisi bukan berarti kosong betul. Belum berisi lebih pada bagaimana sketsa hidupnya belum terwarnai dengan baik. Dalam hal ini, hadirlah kita sebagai guru untuk membimbingnya.
BACA JUGA: Peran dan Nilai Guru Penggerak
Namanya membimbing. Ia bisa hadir dalam berbagai tindakan. Jika saya gurunya, maka tindakan yang saya lakukan dalam membimbing bisa hadir dengan memegang tangannya untuk membantu agar ia membuat hidupnya lebih berwarna. Kadang, saya menuntunnya. Saya mengajaknya. Saya mendorongnya. Saya menariknya. Saya menjatuhkannya. Namun, perlu diingat, menjatuhkan bukan untuk melukai, apalagi menghancurkan. Menjatuhkan tidak seburuk itu.
Menjatuhkan di sini lebih pada agar ia tahu bahwa jalan terbaik untuk tetap berdiri adalah ketika ia tahu bagaimana rasanya jatuh. Siswa yang selalu diberi tantangan sedikit pada akhirnya akan rapuh. Begitu saya berkeyakinan. Saya tak sendirian. Toh, leluhur kita punya nasihat: hanya ombak yang kuat yang melahirkan pelaut yang tangguh. Pelaut tak akan pernah tangguh dengan kondisi yang selalu teduh. Itu artinya pendidikan tidak selalu tentang bagaimana saya menuntun dengan senyum meriah.
Pendidikan justru kadang harus hadir dengan wajah yang menegangkan. Alasannya simpel: bukankah anak yang selalu dimanja pada akhirnya akan rapuh? Ini ibarat bagaimana kita membantu ayam keluar dari cangkangnya atas nama kasihan. Kita tak tahu bahwa karena membantu ayam itu, pada saat yang tak kita sadari, kita justru membunuh ayam itu. Sebab, begitu keluar dari cangkang, ia akan rapuh, lumpuh, lalu punah.
Karena itu, saya selalu berkomitmen untuk memberi siswa berbagai ujian semata agar ia kuat, bukan agar ia terlukai. Tentu ada perbedaan seorang guru memberi ujian untuk melukai dengan ujian untuk menguatkan bukan? Karena itulah seorang guru tidak hanya seorang guru. Jika guru hanya seorang guru, maka ia akan menjadi guru yang kaku. Padahal, hidup ini dinamis dan berdenyut. Hidup yang kaku tak akan bisa membuat siswa berhasil pada masa yang dinamis, bukan?
Maksud saya, kehadiran saya sebagai guru mempunyai banyak makna yang cukup kompleks. Kadang sebagai teman. Kadang sebagai musuh. Tetapi, tentu saja artinya tidak sebagai musuhan sehingga harus saling menerkam. Kadang sebagai saingan. Kadang sebagai ayah. Kadang sebagai adik. Kadang sebagai rekan. Pada intinya, saya akan menempatkan diri pada beragam posisi, tepat ketika mereka membutuhkan saya di posisi itu.
Sampai di sini rasanya sudah jelas bahwa tujuan guru adalah menjadikan siswa berada pada level terbaiknya sebagai manusia untuk hidup pada kodrat zamannya. Nah, untuk mencapainya supaya siswa menjadi jauh lebih hebat dari siswanya, saya mengimajinasikan bahwa sekolah adalah lingkungan yang kondusif. Arti kondusif tidak semata asri, hijau, atau lengkap prasarana dan sarananya. Kondusif tidak hanya sedangkal itu.
Mari beranalogi. Apakah air yang jernih dan tawar adalah kondusif bagi ikan hiu? Apakah air jernih dan asin kondusif bagi ikan mas? Saya kira kita sudah mengerti bahwa kondusif tidak sebatas sepi, hening, tenang, asri, ada wifi, dan sebagainya. Kondusif adalah kata yang sangat kompleks. Ia hadir dengan beragam pengertian pada berbagai kepala. Bagi orator, kelas hebing justru tak kondusif. Begitu juga sebaliknya.
Karena itu, kondusif berarti sesuai dengan kebutuhan siswa. Dalam pada inilah saya mengimajinasikan bahwa sekolah yang kondusif adalah sekolah yang harus mempunyai aturan yang ketat meski harus fleksibel, semata untuk tumbuh kembang anak. Arti ketat adalah bahwa aturan itu punya makna. Ia tidak sebatas aturan di kertas yang kering. Jika aturan itu punya makna, maka lingkungan sekolah akan menjadi tempat persemaian yang sangat kondusif.
Supaya terang, mari saya perinci dengan jelas. Begini: bahwa sekolah kondusif adalah sekolah yang sadar sesadar-sadarnya bahwa dengan aturan yang bermakna maka akan dapat menciptakan tidak hanya manusia yang bermakna, tetapi lebih dari itu, yaitu hidup yang semakin bermakna. Karena itu saya yakin bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang sangat memegang teguh pada keutamaan untuk membuat aturan itu bermakna.
Dengan posisi seperti itu, saya mengimajinasikan bahwa sesakit-sakitnya murid, jika diibartakan sebagai rumah sakit, maka ia akan sembuh, bukan malah bertambah sakit. Namanya sakit. Pada mulanya mungkin, sebagai proses penyembuhan, ia akan mengalami gejala yang tidak baik. Tetapi, sebagai proses penyembuhan, atau di dalam bahasa kedokteran disebut kemotrafi. Di sini, rasa sakit itu akan dibaca sebagai resiko untuk tetap hidup dan berkembang.
Dalam hal ini, guru-guru datang untuk menyembuhkan tidak selalu dengan wajah yang asyik. Kadang akan ada rasa sakit. Namun, saya percaya bahwa tujuan guru sebagai dokter penyembuh bukan untuk menyakiti. Sedikit mungkin kami akan mengurangi rasa sakit. Tetapi, sebagai obat, untuk sembuh, kadang guru memberi pil pahit, suntikan, bahkan operasi. Artinya, selama tujuan sekolah adalah untuk menyehatkan, saya yakin kita akan berkembang menuju arah yang baik.
Pada intinya, saya berimajinasi bahwa siswa pada saatnya akan lebih dari saya sebagai guru. Tugas saya mendidik dan mengajar bukan agar saya dilihat pintar mengajar atau berkarisma. Saya mengajar bukan dengan tujuan bahwa saya favorit atau teladan. Itu hanya bagian kecil. Untuk apa menjadi kesukaan siswa tetapi malah lalai dari kebutuhan mereka? Jadi, tujuan terjauh saya adalah bahwa melalui saya, siswa bisa terinpirasi menjadi dirinya yang terbaik sehingga akan memaknai bahwa rasa sakit dalam pendidikan hanyalah risiko untuk tetap tumbuh dan berkembang.
Memang, rasanya akan susah menerangkan rasa sakit sebagai sebuah proses penyembuhan pada siswa. Tetapi, dengan mengajar sepenuh hati, lambat laun mereka akan tahu bahwa setiap tindakan dari guru yang mungkin sekali menyakitkan: memberi PR, aturan tegas, dan sebagainya bukan sebagai sumpah serapah, melainkan sebagai doa-doa! Intinya, siswa harus tangguh setelah keluar dari sekolah, bukan sebaliknya!
====
Penulis Calon Guru Penggerak dari SMAN 1 Doloksanggul, Humbang Hasundutan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]