Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEOLAH terus ada, permasalahan di tingkat universitas yang ada di berbagai wilayah Indonesia terus menunjukkan kabar tak sedapnya. Belum lama, beberapa bulan lalu kita mendengar di tingkat perguruan tinggi mengalami polemik semakin menurunnya kebebasan demokrasi dan akademik. Kini, kembali terdengar kabar kekerasan seksual yang dalam hal ini kalangan mahasiswi kerap menjadi korbannya.
Permasalahan kekerasan dan pelecehan seksual seperti ini tentu sudah menjadi rahasia umum. Khususnya di Indonesia hal ini kerap terjadi.
Survei Kemendikbud pada 2020 menyebutkan 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di tingkat perguruan tinggi. Penulis menemukan data dari laman Tempo.co, sekiranya ada 63% yang tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan. Hal ini tentu sangat disayangkan. Seharusnya sebagai mahasiswa bisa terus menyuarakan suaranya meski akan terjadi pembungkaman setelahnya.
Bicara mengenai mengenai kekerasan seksual sebenarnya tidak hanya perihal pemaksaan berhubungan intim. Jika dilihat dari sudut yang lebih sempit, kekerasan seksual juga bisa berasal dari pelecehan seksual yang kadang sering dianggap orang sebelah mata.
Sebut saja cat calling, merupakan sebuah tindakan berkategori pelecehan verbal atau kekerasan psikis yang juga kerap menghantui para kaum hawa. Cat calling kadang timbul dari pujian atau sapaan bernuansa seksual. Selama ini hal tersebut sering dianggap biasa saja. Padahal, jika didalami lebih lanjut, cat calling sudah bisa saja menjadi awal dari hadirnya tindakan kekerasan seksual.
Pada lingkungan kampus hal seperti itu sudah menjadi rahasia umum tentunya. Kaum hawa muda yang beridentitas sebagai mahasiswi di kampus tentu sedang senang-senangnya mempercantik diri. Terkadang hal seperti itu berdampak salah kepada oknum-oknum berpikiran mesum. Ruang publik di lingkungan kampus yang bersifat umum tentu semakin membuka pintu selebar mungkin untuk timbulnya pelecehan dan kekerasan seksual. Mulai dari sesama mahasiswa, dosen hingga karyawan.
Lantas, apakah semua ini hanya sebatas penampilan seseorang? Dalam beberapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual, pakaian dan penampilan kerap dijadikan alasan utama. Penulis berpendapat alasan semacam itu tidak bisa dijadikan patokan dalam hadirnya pelecehan seksual. Lucu rasanya, bagaimana bisa kebutuhan primer manusia bisa dijadikan alasan terjadinya pelecehan seksual.
Sifat seseorang yang selalu ingin tampil bagus dihadapan orang lain juga tidak bisa dibatasi, apalagi untuk disalahkan. Jika penampilan terus dijadikan alasan, maka hingga kapan pun kasus kekerasan dan pelecehan seksual akan terus ada.
BACA JUGA: Organisasi Mahasiswa Bukan Pengganggu Akademik
Akan tetapi bukan berarti juga seseorang dapat berpenampilan sesuka hatinya. Di balik penampilan seseorang yang tidak dapat dibatasi, ada sifat biologis seseorang juga yang tidak dapat dihilangkan. Sikap saling menghargai juga tentu bisa menjadi penawar dalam hal ini. Saling menghargai dalam hal ini mungkin bisa dimulai dengan berpenampilan yang sewajarnya, terkhusus bagi kalangan kaum hawa didepan publik.
Apalagi Indonesia merupakan negara yang sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang sopan terhadap siapapun. Bukan tidak mungkin identitas negara seperti ini juga kerap dilupakan sehingga banyak terjadi hal-hal yang tidak baik didalamnya.
Terlebih lagi Indonesia adalah negara yang menganut agama Islam terbesar di dunia, begitu juga mengenai peguruan tinggi. Banyak kampus-kampus bernuansa islami di Indonesia, dan tidak sedikit perguruan tinggi justru mewajibkan mahasiswi-mahasiswinya yang beragama islam untuk mengenakan hijab dan menutup aurat.
Mungkin terlihat dari hal ini, penampilan bukan lagi dipojokkan sebagai masalah dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual, akan tetapi seharusnya sudah bisa menjadi solusi yang bisa dilakukan dari sekarang untuk memperbaiki dan mengurangi kasus kekerasan seksual khususnya di lingkungan kampus.
Lalu sebelumnya siapa yang salah dalam hal ini? Tidak sepenuhnya salah pada mahasiswa. Sebagai lembaga tertinggi dari satuan pendidikan, perguruan tinggi juga seharusnya memiliki regulasi yang jelas, mulai dari implementatif dan keefektifan terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, termasuk pemulihan korban.
Banyak kasus kekerasan seksual di kampus yang terjadi, akan tetapi penulis yakin lebih banyak lagi kasus yang tidak terungkap. Beralasan sama-sama suka, takut nama baik tercemar, hingga teror dari pelaku tentu menjadi alasan mengapa kasus pelecehan dan kekerasan seksual sangat sulit terungkap.
Akhir-akhir ini timbul Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) Nomor 30 tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Satu langkah berani dari Mendikbud dalam upaya pencegahan kasus kekerasan seksual meski sampai saat ini isi dari Permendikbud tersebut masih menjadi pro dan kontra bagi sejumlah kalangan.
Di samping polemik itu, jika memang Permendikbud tersebut memang akan terus berjalan, mungkin langkah yang paling berikutnya yang paling dekat adalah perguruan tinggi harus benar-benar menjalani nilai-nilai, baik dari isi Permendikbud tersebut. Seperti salah satu contohnya, memberlakukan satuan tugas (Satgas) pencegahan kekerasan seksual dilingkungan kampus. Atau jika kampus bisa lebih kreatif lagi, didalamnya bisa ditambahkan psikolog dalam upaya pemulihan rasa trauma bagi korban.
Dari hal tersebut juga mungkin kasus-kasus kekerasan seksual sedikit demi sedikit bisa terungkap dan berkurang. Korban-korban terdahulu juga bisa membuka suara tanpa harus takut nama baik tercemar dan ancaman dari pihak mana pun, serta ada langkah upaya pemulihan kepada korban dari segi fisik maupun psikis.
Jangan sampai permasalahan seperti ini membudaya di negara yang dikenal mancanegara sebagai bangsa yang sopan dan santun. Apalagi predikat negara dengan penduduk mayoritas Islam tentu menjadi patokan kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual di negara ini harus dihilangkan.
Penulis berharap ke depan problematika seperti ini perlahan memudar. Perguruan tinggi yang seharusnya bisa melahirkan para generasi emas di masa depan malah menjadi momok menakutkan bagi sejumlah pihak. Semua elemen harus khusunya dilingkungan kampus, mulai dari mahasiswa, tenaga pendidik, pers mahasiswa hingga pihak pimpinan universitas, bahkan jika perlu Kemendikbud Ristek harus turun tangan menyelesaikan permasalahan buruk ini.
====
Penulis Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FISIP-UMSU), Pimpinan Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong UMSU.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]