Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Krisis utang raksasa properti China, Evergrande senilai US$ 300 miliar menyita perhatian publik. Banyak yang membandingkan krisis utang ini dengan momen krisis Lehman Brothers.
Dilansir dari BBC, Senin (20/12/2021), Beijing menangani situasi krisis ini dengan cara yang sangat berbeda dengan bagaimana Washington menangani kebangkrutan raksasa perbankan investasi Lehman Brothers pada awal krisis keuangan global pada 2008.
Saat ini, Evergrande sendiri sudah mengumumkan bahwa mereka mungkin tidak dapat memenuhi semua kewajiban keuangannya. Perusahaan yang dilanda krisis itu juga gagal membayar beberapa obligasi luar negerinya.
Sekarang perusahaan itu dilaporkan sedang memasuki proses restrukturisasi utang dengan otoritas Cina yang mungkin termasuk penjualan beberapa aset pribadi pendirinya.
Menurut Motwani, analis Silk Road Research mengatakan Evergrande mengalami krisis setelah terkena kebijakan tiga garis merah.
"Ketika kebijakan 'tiga garis merah' diumumkan lebih dari setahun yang lalu, jelas bahwa Evergrande adalah salah satu pelanggar terburuk, jadi reaksi di Cina adalah 'ini sudah lama datang," kata Motwani.
Tiga garis merah adalah serangkaian ambang batas utang yang membatasi kemampuan pengembang properti tertentu untuk meminjam. Selama beberapa dekade, sektor properti telah melakukan banyak pinjaman yang tidak terkendali. Sesuatu yang oleh bank sentral Cina, People's Bank of China (PBOC) dinilai sebagai langkah sembrono.
Perbedaan utama krisis Evergrande dan Lehman Brothers adalah pada peran pemerintah. Di AS pemerintah menilai perlu untuk bertindak. Mereka harus mengeluarkan undang-undang agar memiliki wewenang untuk campur tangan, tetapi berbeda dengan pemerintah Cina yang enggan melakukan hal tersebut.
Beijing selama ini mengendalikan pasar properti negara itu melalui bank-bank milik negara. Mereka juga memiliki akses soal data pengembang mana yang kemungkinan besar akan gagal bayar.
Cina menjadi jauh lebih selektif dengan tindakannya daripada AS selama krisis keuangan global. Tidak seperti Washington yang menyelamatkan beberapa bank terbesar di dunia, Partai Komunis Cina mengambil pendekatan yang sedikit demi sedikit.
"Beijing seperti ahli bedah yang mengoperasi tumor yang berpikir 'apa yang harus saya selamatkan?'," kata Alicia Garcia Herrero, kepala ekonom untuk Asia-Pasifik di bank investasi Natixis.
Bagi pemerintah Cina, sangat penting bahwa operasi sehari-hari Evergrande tetap utuh dan berjalan. Hal ini bertujuan untuk memastikan perusahaan dapat menyelesaikan rumah yang sedang dibangunnya. Hal itu dilakukan agar pembeli properti biasa tidak terpengaruh dan kepercayaan pada pasar properti tidak rusak parah.
Para ahli memperkirakan restrukturisasi Evergrande bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Pihak berwenang mencoba menghindari jenis guncangan yang melanda sistem keuangan global setelah Lehman Brothers runtuh.
Rory Green, Kepala Riset Cina dan Asia di perusahaan penasihat investasi TS Lombard mengatakan skenario restrukturisasi paling mudah bagi Evergrande adalah memecah perusahaan menjadi unit kecil yang terpisah-pisah.
"Skenario yang paling mungkin adalah Evergrande dipecah menjadi unit-unit terpisah. Ini akan menjadi pemotongan badak abu-abu dan bank-bank regional akan ditugaskan untuk menangani unit-unit terpisah itu untuk memastikan stabilitas sektor dan ekonomi," ungkap Green.
Evergrande tidak membayar bunga obligasi luar negeri mungkin tidak memicu krisis keuangan karena sebagian besar dipegang oleh investor luar negeri yang kaya. Justru, beberapa analis khawatir tentang dampaknya terhadap reputasi sektor properti Cina.
"Ini jelas melukai kepercayaan investor internasional terhadap obligasi real estat lepas pantai Cina," kata Jackson Chan dari platform riset pasar keuangan Bondsupermart.(dtf)