Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEPERTI dirilis oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara (BPS RI Sumut), laju inflasi yang terjadi di Sumut pada Desember mencapai 0.46 persen. Sementara secara tahunan, inflasi di Sumut merealisasikan angka sebesar 1.71 persen. Angka ini secara kalkulasi sebenarnya lebih rendah jika dibandingkan rata-rata nasional. (BPS RI Sumut).
Terjadinya inflasi di Sumut ini sejatinya bukanlah karena faktor tidak terkontrolnya harga pangan yang terjadi di wilayah Sumut, melainkan karena masih kurang stabilnya harga pangan yang terjadi pada beberapa wilayah sekitar Sumut seperti Riau yang mengalami tekanan inflasi sebesar 0,05 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,78 persen.(Jaringan Studi Indonesia, 2021).
Pada beberapa wilayah Sumatera seperti Riau dan Sumut, tekanan inflasi terjadi karena adanya daya peningkatan harga yang ditunjukkan naiknya tujuh indeks kelompok pengeluaran, yaitu pada kelompok penyediaan makan dan minuman / restoran sebesar 0,50 persen, diikuti kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0,44 persen, kelompok transportasi sebesar 0,35 persen.
Lalu disusul kelompok perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rumah tangga sebesar 0,21 persen, kelompok perawatan pribadi dan jasa sebesar 0,17 persen. Pada kelompok terakhir ada kelompok kesehatan sebesar 0,05 persen dan pakaian sebesar 0,04 persen (BPS RI Sumut, 2021).
Komoditas yang memberikan andil peningkatan harga pada Desember 2021, antara lain meliputi biaya kontrak rumah, bawang merah, nasi lauk, cabai rawit, telur ayam ras, ayam hidup, minyak goreng, beras, tarif angkutan udara dan daging ayam ras. Di sisi lain dua kelompok mengalami deflasi, yaitu pada kelompok makanan, minuman dan tembakau sebesar 0,45 persen dan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,06 persen. (BPS RI Sumut, 2021).
Pemetaan Masalah
Jika dipetakan secara wilayah, maka infllasi Sumut sebesar 0,46 persen merupakan tekanan inflasi ini terjadi pada lima kota Indeks Harga Konsumen (IHK). Beberapa kota di Provinsi Sumut yang mengalami inflasi, yaitu Sibolga sebesar 0,17 persen; Pematangsiantar sebesar 0,85 persen; Medan sebesar 0,44 persen; Padangsidimpuan sebesar 0,35 persen; dan Gunungsitoli sebesar 0,62 persen. (BPS RI Sumut, 2021).
Bahan komoditas pangan yang spesifik naik di Sumut adalah naiknya harga minyak goreng dan cabai rawit pada lima kota IHK tersebut yang memberikan andil terjadinya inflasi cukup besar. Secara kumulatif inflasi yang terjadi di Sumut pada 2021 sebesar 1,71 persen,lebih rendah dibanding tahun 2020 sebesar 1,96 persen, dimana tahun 2021 inflasi sebesar 1,87 persen.
Dari 24 kota IHK di Pulau Sumatra, 22 kota yang tercatat inflasi. Inflasi tertinggi di Pangkal Pinang sebesar 1,27 persen dengan IHK sebesar 107,16 dan terendah di Pekanbaru sebesar 0,07 persen dengan IHK sebesar 106,53 persen. (BPS RI Sumut, 2021).
BACA JUGA: Tahun Baru dan Arah Pemetaan Ekonomi Sumut
Untuk mengantisipasi ketidakmampuan daya beli masyarakat dalam membeli minyak goreng untuk pemenuhan kehidupan sehari - hari, pemerintah pusat pun melakukan Operasi Pasar (OP) minyak goreng di Medan, Sumut. OP tersebut dimaksudkan untuk menekan harga minya goreng yang saat ini dirasakan sangat tinggi oleh masyarakat.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir bahkan meninjau langsung pelaksanaan operasi pasar tambahan yang dilakukan di Kuala Tanjung, Sumut. Erick Thohir menyebut jika operasi pasar ini dilakukan sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menargetkan 1,2 miliar liter minyak goreng untuk dapat menekan tingginya harga pangan di Indonesia terutama soal tingginya harga minyak goreng yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Menata Sistem
Jika kita menarik banalitas tingginya harga pangan jelang awal tahun 2022 hingga kini, maka persoalan ini tak dapat kita lihat hanya pada soal “memadamkan” tingginya harga komoditas pangan semata, tapi juga harus berbicara pada langkah taktis bagaimana cara untuk dapat menstabilkan harga pangan komoditas yang menjadi pokok kebutuhan masyarakat agar tak mengalami tekanan inflasi yang hebat. Tingginya harga minyak goreng, cabai (rawit dan merah), bawang merah, telur ayam ras, daging ayam ras, ikan segar, hingga daging sapi pada momen pergantian tahun jelas harus diselesaikan secara komprehensif.
Penyakit inflasi harga pangan dan komoditas kebutuhan pokok yang terus menerus hadir setiap tahunnya harusnya menjadi pokok perhatian penting pemerintah untuk menata bagaimana sinkronisasi kebijakan kestabilan pangan yang efektif.
Dalam komponen ini, semestinya pemerintah tak hanya melihat kondisi rasional penataan ketahanan pangan Indonesia. Lebih dari itu, pemerintah Indonesia harusnya memikirkan penataan sistem hulu dan hilir distribusi dari aspek basis logistik pangan yang tersedia.
Untuk memaksimalkan distribusi, pemerintah harusnya melihat pemetaan dari banyak basis sumber ketahanan pangan di seluruh daerah Indonesia. Ambil contoh penataan sistem penyediaan minyak goreng.
Pemerintah harusnya tak menggarap bagaimana untuk membuat banyak lumbung produsen sawit hadir pada banyak tempat Indonesia, melainkan pemerintah harus serius mendesain kembali distribusi efektif yang mampu berintegrasi dari kebun sawit menuju pabrik dan agen.
Jika pasokan memadai maka harga di pasaran akan stabil. Tapi jika distribusi macet maka akan terjadi monopoli rente yang memunculkan para spekulan yang gemar bermain harga. Dalam penataan sistem ini pemerintah harus mengawasi sekaligus menjadi pengatur sistem distribusi melalui pola sistemik. Karena tanpa melakukan langkah kedisiplinan pengawasan, instabilitas harga dan tingginya inflasi pada barang kebutuhan pokok akan terus menerus berulang.
Memang dalam jejaring rantai ekonomi,antara produsen dan distributor memiliki tupoksinya masing – masing dan memiliki pemetaan sendiri – sendiri. Tapi sebagai penanggung jawab kestabilan harga pasar, pemerintah juga punya peran penting untuk menjaga supaya masyarakat tidak menjadi korban dari permainan harga yang dilakukan oleh para produsen dan distributor.
Dalam rasional ini, pemerintah harus bisa membatasi orientasi pasar kebijakan pangan agar tak sewenang – wenang dalam memainkan harga pasar. Bila permainan harga pasar terus menerus dibiarkan tanpa kendali maka hal ini akan memicu lahirnya kuota impor yang ujungnya hanya merugikan kelompok petani lokal, pengusaha lokal dan ekosistem bisnis dalam negeri.
Secara lugas pemerintah Indonesia memiliki kewajiban dalam menata infrastruktur ekonomi secara baik demi peningkatan kesejahteraan petani dan pengusaha lokal termasuk kesejahteraan konsumen supaya pemenuhan kebutuhan sehari – harinya mudah tercukupi.
Untuk mengantisipasi banyaknya rintangan dalam penataan sistem distribusi komoditas pangan dan infrastruktur ekonomi nasional, pemerintah Indonesia harus memiliki masterplan pengaturan komoditas pangan matang berbasis data digital, sehingga pemerintah dapat efektif menginventarisasi daerah mana saja yang mengalami kekurangan komoditas pangan sehingga daerah yang surplus dapat mudah memberikan asupan logistik pangan secara cepat. Jika tata kelola sistem ini diatur baik maka bukan hal mustahil kestabilan harga komoditas akan dapat terus terjaga.
====
Penulis Eksekutif Peneliti Jaringan Studi Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]