Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
GURU Pembelajar dan Guru Penggerak (GP) pada prinsipnya bisa dikatakan sama. Anies Baswedan sewaktu menjabat sebagai menteri pendidikan sudah memperkenalkan Program Guru Pembelajar dengan menggunakan UKG sebagai alat seleksi. Namun, kelanjutan dari program tersebut nyaris tak bertujuan jangka panjang.
Saat ini, Mas Menteri Nadiem Makarim justru memperkenalkan program baru bernama Guru Penggerak. Tahapan Guru Penggerak dibuat lebih lama daripada Guru Pembelajar. Dimulai dari pendaftaran hingga seleksi bertahap-tahap, GP setidaknya hampir memakan waktu lebih dua tahun.
Setelah seleksi berlapis, calon peserta program GP juga harus mengikuti pembelajaran selama 9 bulan penuh. Jika dihitung-hitung, jauh lebih rumit daripada pendidikan profesi guru (PPG). PPG hanya memakan waktu 3 bulan. Tujuannya pun jelas: memprofesionalkan guru ditandai dengan kepemilikan sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik pun menjadi tiket utama untuk mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG). Menghabiskan waktu belajar selama tiga bulan penuh untuk mendapatkan TPG menjadi simbol bahwa PPG merupakan program berkelanjutan yang tak akan berhenti meski berubah menteri.
Supaya tak Mubazir
Kiranya, hal yang sama mesti berlaku juga pada program GP. Dalam hal ini, master plan harus dirancang agar GP tidak berhenti tanpa hasil seperti Guru Pembelajar.
Tentu, agar tak bernasib sama dengan program Guru Pembelajar, GP bisa dibuat dengan fungsi ganda. Karena tujuannya untuk memprofesionalkan guru, kepemilikan sertifikat GP bisa dibuat menjadi pengganti sertifikat pendidik sehingga guru yang lulus GP langsung mendapat TPG. Selain itu, kepemilikan sertifikat GP harus dibuat menjadi salah satu prasyarat tidak saja kapasitas, tapi menjadi prasyarat untuk menduduki jabatan strategis di bidang pendidikan.
BACA JUGA: Posisi Kontrol Guru
Logikanya sederhana: adalah kurang elok jika GP malah dipimpin oleh guru yang tak berhasil lulus pada program GP. Sesuai namanya, GP berarti guru yang menggerakkan. Diharapkan, mereka menjadi pemimpin untuk mengerakkan gerbong pendidikan kita yang gemuk. Akan menjadi sebuah kemubaziran rasanya jika GP yang menghabiskan waktu 9 bulan penuh untuk belajar hanya akan berakhir dengan kepemilikan sertifikat kelulusan tanpa kegunaan administratif yang memadai dalam manajemen pendidikan.
Maksudnya, supaya tak mubazir dan tak berhenti menjadi program musiman, GP harus dirancang menjadi salah satu tahapan dalam karier profesionalisme guru. Satu kerugian kita selama ini dalam mengelola guru adalah karena programnya kebanyakan berarorma musiman. Ganti menteri, ganti program. Jika hal yang sama berlaku dengan GP, maka GP ini pun di musim depan akan berakhir seperti Guru Pembelajar. Padahal, secara teknis, filosofi GP sangat menakjubkan. GP tak hanya dilatih untuk menggerakkan siswa atau guru, tetapi juga merangkul masyarakat luar.
Setiap guru semestinya memang harus mampu merangkul berbagai elemen karena pembelajaran didukung tiga pilar penting: sekolah, anak didik, dan masyarakat. Perlu keterampilan seorang guru untuk membuat ketiga pilar ini untuk berdiri sama kuat demi kemajuan pendidikan. Karena itu, secara formal, di luar seleksi administrasi, esai, micro-teaching, hingga wawancara, lama belajar GP dibuat 9 bulan penuh. Kiranya dengan belajar selama itu, guru-guru sudah mampu menjadi motor penggerak di komunitasnya masing-masing. Persoalannya, motor ini bisa malah redup jika ada program musiman yang baru.
Sejujurnya, sebagai guru, saya sangat mengapresiasi GP. Program GP bisa dikatakan lebih serius dalam mematangkan profesionalisme guru daripada Guru Pembelajar, bahkan dari PPG sekalipun. GP lebih praktis dan jauh dari teoretis.
Seperti diketahui, selama ini, guru selalu dilatih oleh akademisi dari perguruan tinggi (PT). Padahal, jamak diketahui bahwa akademisi di PT tak pernah tahu kondisi di lapangan. Keunggulan akademisi hanya berada pada teori pendidikan, bukan pada tataran kenyataan di lapangan. Karena itu, banyak guru yang bosan ketika mengikuti PPG dari akademisi sehingga pelatihan menjadi formal-seremonial.
Saya tak sedang meremehkan pentingnya teori pendidikan. Bagaimanapun, teori sudah lahir dari berbagai pergumulan ilmiah. Namun, jika melulu teori tanpa contoh, apalagi kalau akademisi hanya menatap kondisi pendidikan dari menara gading, semua pelatihan itu akan kering. Dalam hal ini, sebaiknya guru memang mesti dilatih oleh praktisi yang terlibat dan mengerti kondisi lapangan secara riil. Justru di sinilah letak keunggulan dari GP. GP langsung diampu oleh sesama kolega praktisi pendidikan. Pengangmpunya pun tidak dengan teknis penunjukan, namun dalam bentuk seleksi dan pembekalan berjenjang.
Agar Guru tak Kapok
Sekali lagi, saya tak sedang meremehkan teori pendidikan. Saya juga termasuk sering membaca teori-teori pendidikan terbaru dari para pakar mancanegara. Tetapi, saya kemudian sadar bahwa teori pendidikan tak selalu cocok dengan kondisi lapangan. Karena itu, guru-pelatih pada GP sangat tepat diangkat dan diseleksi dari praktisi pendidikan. Pertimbangannya sederhana saja: kemahiran guru hanya dapat terbentuk dari kumpulan pengalaman yang direfleksikan terus-menerus (Moo, n 2005). Kemahiran guru pun akan semakin kental jika pengampunya mengerti lapangan itu sendiri sehingga proses berlatih jadi hidup.
Nah, karena secara muatan GP sudah sangat baik, tentu yang menjadi harapan selanjutnya adalah agar GP ini menjadi proyek serius dalam melejitkan laju pendidikan. Jamak diketahui ketertinggalan kita dalam pendidikan adalah karena lambannya birokrasi pendidikan. Guru-kompeten sering ditinggalkan karena idealisme yang susah diajak kompromi. Akhirnya, para pejabat pendidikan pun diambil dari mereka yang kurang kompeten. Secara naluri, jika guru yang kurang kompeten diangkat menjadi atasan atau pengawas, maka guru kompeten tersebut akan merasa aneh sehingga akan abai.
Karena itu, GP ini harus menjadi jalan bagi kita untuk menciptakan meritokrasi dalam pendidikan. Dengan demikian, pelan-pelan kualitas akan terkatrol. Turunannya, sebagai meritokrasi, guru dengan tugas tambahan baru harus dipilih dan diambil dari GP yang sudah melalui proses demi proses.
Dalam posisi seperti inilah maka GP harus berkelanjutan, seperti PPG. Memang, beberapa kali PPG berganti nama. Namun, pada prinsipnya, PPG tetap berkelanjutan dengan satu semangat untuk menyejahterakan guru melalui sertifikasi. Kiranya, hal yang sama harus berlaku dengan GP agar guru tak lagi kapok dalam mengembangkan diri.
====
Penulis Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul, Humbang Hasundutan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: redaksimbd@medanbisnisdaily.com