Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KEBIJAKAN Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) menuai kontroversi panjang. Padahal Permenaker ini diharapkan dapat mengganti Permenaker Nomor 19/2015 sebagai tindak lanjut PP No 15/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT sebagaimana diubah melalui PP No 60/2015. Dalam penjelasannya, JHT baru bisa dicairkan jika peserta berusia 56 tahun, meninggal dunia, atau cacat tetap total. Inilah poin dalam Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) diatur dalam Peraturan Presiden (PP) Nomor 37 Tahun 2021 sebagai produk turunan Undang-Undang Cipta Kerja.
Banyak kalangan pekerja di Indonesia terutama kaum buruh yang mendesak supaya kebijakan JHT ini dapat dicabut atau dibatalkan. Terlebih karena sangat memberatkan pada poin utama pada konteks pencairan dana JHT ketika mencapai usia pensiun.
Permenaker itu mengatur dana JHT yang baru bisa dicairkan sekaligus saat peserta sudah berusia 56 tahun. Artinya, seseorang yang berhenti bekerja, dalam usia berapa pun, baru dapat mencairkan JHT pada usia 56 tahun.
Aturan ini dinilai menyulitkan peserta yang membutuhkan dana saat kehilangan pekerjaan atau pendapatan sebelum usia 56 tahun. Meskipun dana tersebut milik utuh peserta, kebijakan ini dinilai tidak memihak pekerja yang menjadi peserta.
JHT sejatinya dirancang untuk memberikan perlindungan ketika seseorang memasuki masa tua atau pensiun, saat tidak lagi memiliki pendapatan tetap. JHT merupakan persiapan kebutuhan hidup masa tua, yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial. JHT pada dasarnya bukanlah tabungan biasa yang setiap saat bisa digunakan untuk kepentingan apa saja.
Karena itu, pencairannya perlu diatur untuk menjamin seseorang memiliki dana yang disiapkan pada masa tua. Dalam sistem regulasinya, JHT berbeda dengan dana pensiun. Karena JHT sifatnya harus dicairkan sekaligus, sementara dana pensiun dirancang agar seseorang memiliki pendapatan rutin tiap bulan. Pada konteks ini, program JHT memang dirancang supaya saat masa tua para peserta asuransi memiliki dana tunai yang cukup dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Masalah Panjang
Polemik soal pencairan JHT sejatinya sudah pernah bergulir pada 2015 saat Menteri Hanif Dhakiri masih menjadi Menteri Ketenagakerjaan Indonesia. Saat itu, pemerintah merilis Peraturan Pemerintah (PP) No 46/2015 tentang JHT.
Ketentuan PP mensyaratkan ketentuan JHT hanya bisa diambil 30% untuk membeli rumah saat sudah 10 tahun menjadi peserta. Selebihnya, JHT baru dicairkan saat peserta memasuki usia pensiun.
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 yang dimaksud dengan jaminan hari tua adalah adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
JHT merupakan program perlindungan yang bertujuan menjamin keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi dan sarana penjamin tenaga kerja dan keluarganya akibat dari risiko-risiko sosial dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.
JHT dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan memberikan perlindungan kerja serta menjamin kehidupan yang layak bagi peserta, yaitu karyawan dan/atau ahli warisnya saat karyawan memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Karyawan yang memperoleh jaminan hari tua ini merupakan mereka yang bekerja di sektor swasta atau perorangan.
Dalam sistem iuran program JHT ini dihitung sebesar 3 persen, dengan rincian 2 persen dibayarkan perusahaan, sementara 1 persen dibayarkan oleh pekerja. Umumnya JHT ini diberikan pada saat tenaga kerja mencapai umur 56 tahun, tetapi apabila tenaga kerja mengalami cacat sehingga tidak bisa bekerja lagi, maka jaminan ini dapat diberikan kepada peserta tenaga kerja. Demikian juga bila peserta tenaga kerja meninggal dunia, maka dana jaminan ini akan diberikan kepada ahli warisnya
Munculnya sikap penolakan dari banyak pekerja di Indonesia jelas dapat dimaklumi, apalagi di tengah situasi wabah pandemi Covid-19 seperti sekarang. Kebutuhan akan uang tunai menjadi hal yang tak dapat dihindari. Apalagi dengan banyaknya program pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak maka banyak pekerja yang sangat mengharapkan jika dana JHT dapat diambil secepat mungkin. Tak kurang sebanyak 378 ribu orang lebih sudah meneken petisi menolak aturan baru.
BACA JUGA: Kebijakan Perbaikan Ekspor Karet Sumut
Dalam merespon polemik JHT ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah berdalih jika program JHT sejak awal memang dipersiapkan untuk kepentingan jangka panjang pekerja. Sementara untuk kepentingan jangka pendek, pemerintah telah memiliki program lain, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan membantu para pekerja yang terkena PHK.
Menaker Ida mengingatkan jika aturan ini sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bahwa klaim dapat dilakukan sebagian dengan jangka waktu tertentu.
Penyelamatan Kesejahteraan
JKP Sebagai turunan Undang–Undang (UU) Cipta Kerja secara tersirat sebenarnya telah memperpanjang masa pencairan JHT. Padahal sebelumnya kemunculan produk ini tak terlepas dari peran besar Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
JKP ditetapkan lewat Peraturan Presiden (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. PP ini mengacu pada UU Cipta Kerja yang merevisi UU SJSN dengan menambah program tambahan dalam jaminan sosial.
Dalam pelaksanaan UU SJSN 2004, Pemerintah Indonesia menyelenggarakan lima jaminan sosial yakni Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, JHT, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. Adapun UU Cipta Kerja program itu bertambah menjadi enam yakni JKP. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar bisa mengikuti program JKP. Bagi buruh yang bekerja pada sektor usaha menengah dan besar, perusahaan harus sudah terdaftar di lima program jaminan sosial lainnya.
Sementara bagi pekerja usaha kecil, Jaminan Pensiun tak menjadi syarat kepesertaan JKP. Iuran JKP wajib dibayarkan dengan porsi 0,46% dari upah per bulan. Pemerintah juga wajib berkontribusi dengan membayarkan sebesar 0,22% dari total upah setiap bulannya.
JKP menawarkan tiga manfaat bagi para pekerja yang di-PHK. Pertama, berupa uang tunai dengan hitungan 45% dari upah tiga bulan, ditambah 25% dari total upah tiga bulan lainnya. Selain uang tunai, JKP memberikan manfaat lain berupa akses informasi kerja dan pelatihan kerja yang diselenggarakan melalui sistem pelatihan kerja milik pemerintah, swasta, atau perusahaan baik online maupun offline.
Terkait polemik JHT, pemerintah diharapkan dapat secara cermat dalam mengkaji ulang aturan Permenaker No 2 Tahun 2022 dengan harapan mampu disesuaikan dengan situasi pdaa saat ini termasuk dalam merespon kesulitan ekonomi masyarakat sekarang ini yang sangat terdesak akibat pandemi Covid-19. Pemerintah perlu memberikan sosialisasi komprehensif terkait besaran nominal JKP dan prosedur yang akomodatif sehingga tidak mengorbankan hak – hak dasar para pekerja Indonesia.
Disinilah peran penting dalam menjaga hulu dan hilir sistem ketenagakerjaan Indonesia. Hadirnya peraturan pemerintah (PP) sejatinya harus memiliki watak melindungi dan bukan hanya kebijakan memerintah begitu saja, karena aturan hukum yang diberikan oleh pemerintah adalah melindungi yang berarti memberikan rasa aman dan rasa sejahtera.
Secara lebih rasional, pemerintah Indonesia harus benar–benar mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, utamanya bagi penegakan nilai keadilan sosial sebagai tujuan dasar dari pemerintahan negara yang berdaulat.
====
Penulis Riset Analis Jaringan Studi Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]