Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PERSOALAN minyak goreng sepertinya tiada henti menjadi perbincangan dan pemberitaan media. Hal ini tidak terlepas dari status Indonesia sebagai penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, namun ironisnya justru mengalami kelangkaan minyak goreng dan tentu saja harganya pun melambung. Seperti diketahui bersama, minyak sawit mentah merupakan bahan baku minyak goreng.
Perang yang sedang terjadi di antara dua negara penghasil terbesar minyak bunga matahari, yakni Rusia dan Ukrania, memang mengakibatkan peningkatan permintaan dunia terhadap komoditas CPO dengan harga tinggi. Situasi yang membuat pengusaha CPO dan minyak goreng lebih memilih menjual produksinya ke luar negeri dengan harga lebih mahal daripada menjual ke dalam negeri dengan harga yang diatur pemerintah.
Secara sederhana jika melihat pernyataan Menteri Perdagangan dalam rapat di DPR RI yang mengakui tak bisa melawan penyimpangan yang terjadi di lapangan, terutama sejak Desember 2021 yang lantas berlanjut pada kelangkaan bahan kebutuhan pokok tersebut.
Pemerintah kemudian menetapkan batas atas harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan (Rp14.000 per liter) dan minyak goreng curah (Rp11.500 per liter), sekaligus memberikan subsidi agar harga minyak goreng tetap terjangkau masyarakat.
Namun kemudian yang terjadi adalah kelangkaan minyak goreng. Sehingga memunculkan gejolak harga minyak goreng kemasan di tingkat konsumen, yang semula dijual diharga sekitar Rp 19.000 per liter, dan saat ini berada di harga Rp 24.000- 28.000 per liter.
Sebagai dampak dari kelangkaan dan atrean yang terjadi di banyak daerah, akhirnya pada Rabu, 16 Maret 2022, pemerintah mencabut ketentuan HET dan menyerahkan harga minyak goreng kemasan sesuai mekanisme pasar. Ketentuan HET hanya untuk minyak goreng curah Rp 14.000 per liter.
Ajaibnya, begitu pengumuman pencabutan HET minyak goreng kemasan, secara tiba-tiba minyak goreng kemasan tersedia di berbagai minimarket dan supermarket. Kondisi yang menunjukkan bagaimana negara harus melepaskan harga mengikuti mekanisme pasar yang diinginkan oleh pihak tertentu.
Negara Vs Mekanisme Pasar
Merujuk catatan Kementerian Perindustrian, realisasi produksi minyak goreng sawit (MGS) tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton. Digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri 5,07 juta ton (25,07%) dan sisanya 15,55 juta ton (74,93%) untuk tujuan ekspor.
Sedangkan kebutuhan minyak goreng sawit nasional tahun 2021 sebesar 5,07 juta ton, terdiri dari kebutuhan curah industri 1,62 juta ton (32%), curah rumah tangga 2,12 juta ton (42%), kemasan sederhana 0,21 juta ton (4%), dan kemasan premium 1,11 juta ton (22%).
Dari data angka produksi yang disampaikan Kementerian Perindustrian tersebut, jelas terlihat kemampuan pasok industri minyak goreng sawit jauh di atas kebutuhan dalam negeri. Bahkan dengan ekspor yang tinggi telah memberikan penerimaan devisa negara yang cukup besar.
Dengan kapasitas produksi yang berlimpah, sangat wajar kemudian pemerintah kemudian membuat target HET minyak goreng kemasan Rp 14.000 per kg. Namun target HET yang ditetapkan akhirnya tidak bisa tercapai, karena minyak goreng ditahan atau hilang dari peredaran, yang akhirnya menimbulkan protes dan berakhir pada penyerahan harga minyak goreng kemasanpada pasar.
Walaupun sebelum pencabutan HET minyak goreng kemasan pada 16 Maret 2022, pemerintah pusat dan daerah melakukan beberapa kali penambahan alokasi dan operasi pasar untuk mencapai HET yang ditetapkan, namun faktanya kelangkaan pasokan dan harga minyak goreng semakin tidak terkendali.
Secara logika tidak mungkin terjadinya kelangkaan minyak goreng akibat pasokan yang terbatas. Jika melihat data Prognosa Neraca Komoditas Pangan Strategis Kementerian Pertanian, menunjukkan bahwa ketersediaan minyak goreng dalam negeri justru dipredikasi mengalami surplus 716.564 ton pada akhir 2022. Produksi minyak goreng dalam negeri diperkirakan 6.067.350 ton, ditambah stok awal 2022 sebanyak 618.590 ton. Dengan proyeksi kebutuhan minyak goreng dalam negeri per bulannya diperkirakan 497.448 ton atau 5.969.376 ton per tahun.
Dari berbagai data di atas, maka asumsi bahwa kelangkaan dan tingginya harga adalah implikasi dari praktik penimbunan untuk membatalkan kebijakan HET yang ditetapkan pemerintah menjadi sangat logis. Praktik penimbunan dan menghilangkan barang untuk menciptakan kepanikan di masyarakat, yang kemudian direspon dengan melambungnya harga di lapangan, akhirnya membuat pemerintah mencabut kebijakan HET minyak goreng kemasan.
BACA JUGA: Pembusukan Demokrasi Melalui Penundaan Pemilu
Dengan terungkapnya berbagai penimbun di lapangan oleh masyarakat maupun satgas pangan, sangat memperkuat dugaan praktik pemburu rente berusaha mendesak pemerintah untuk tunduk pada mekanisme pasar yang mereka inginkan. Karena dengan pasokan yang berlebih dan fakta ditemukannya penimbunan minyak goreng di beberapa tempat, dan bukan tidak mungkin melibatkan internal pemerintahan, jika berkaca pada pelaksanaan operasi pasar untuk memastikan ketersediaan minyak goreng.
Tetapi kelangkaan tetap terjadi dengan harga yang tinggi dan antrean masyarakat tetap terjadi. Pertanyaannya, kemana minyak goreng operasi pasar itu? Apakah operasi pasar mengalami kebocoran sehingga tidak berpengaruh terhadap pasokan dan harga minyak goreng? Siapa saja yang menguasai, bermain dan mengeruk keuntungan dari kekalahan pemerintah dalam mengendalikan sistem rantai pasok minyak goreng? Seharusnya menjadi perhatian utama dari proses penegakkan hukum dalam hal ini Satuan Tugas Pangan dan Bareskrim.
Dengan melepas minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar, akan membuat harga menjadi sulit dikendalikan oleh pemerintah, terlebih nanti ketika memasuki bulan Ramadan dan Lebaran, yang kebutuhan minyak goreng bisa naik mencapai 40%.
Karena berulangkali terjadinya permasalahan di sektor pangan akibat mengalami tekanan dari spekulan yang tidak ingin diatur oleh pemerintah, maka sangat penting untuk menemukan dan menangkap aktor intelektual, dalang, sutradara dan memberikan hukuman yang setimpal.
Perbuatan penimbunan dan menciptakan kekacauan bahan pangan seperti minyak goreng ini, sangat jelas merupakan praktek kejahatan luar biasa yang menyengsarakan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, UMKM dan sektor lainnya yang masih berusaha bangkit setelah dampak pandemi.
Negara Tidak Boleh Kalah
Penderitaan panjang selama pandemi dan melejitnya harga minyak goreng membuat masyarakat seperti sudah jatuh kemudian tertimpa tangga. Dari data statistik menunjukkan angka kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, dan kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin melebar. Sudah seharusnya pemerintah bertindak tegas untuk meminta produsen pangan ikut bertanggung jawab terhadap ketersediaan barang serta mengikuti harga yang ditentukan oleh pemerintah.
Karena bahan pangan seperti minyak goreng termasuk kebutuhan primer yang harus tersedia, sehingga industri pangan bahan pokok tidak bisa dilihat dari sebagai bisnis, tapi bagian dari kewajiban untuk memenuhinya, dan tidak boleh dilepaskan kedalam mekanisme pasar.
Disinilah amanat konstitusi UUD 1945 bagi negara untuk melindungi, memajukan kesejahteraan umum dan menciptakan keadilan sosial harus dilaksanakan, dan segala kewenangannya hanya dibutuhkan keberanian, ketegasan, kepemimpinan, kemampuan manajerial dan pendekatan.
Dengan izin Hak Guna Usaha (HGU) lahan dan izin lainnya berasal dari pemerintah, seharusnya mampu memaksa produsen CPO/minyak goreng untuk meningkatkan kewajiban pemenuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO) dengan pengawasan yang super ketat.
Termasuk melakukan evaluasi secara rutin dalam pemberian subdisi ke produsen dan distributor minyak goreng curah, yakni subsidi selisih antara harga minyak sawit yang digunakan untuk memasok minyak curah dengan harga pasar, yang diambil dari Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dari berbagai kejadian kebocoran uang negara sebagian besar terjadi pada program subsidi, baik subsidi bahan bakar minyak, subsidi gas, subsidi pupuk, subsidi angkutan, subsidi listrik. Dengan alasan selisih harga yang signifikan antara harga keekonomian dengan harga subsidi, pemerintah sering kecolongan untuk memastikan subsidi diterima oleh yang berhak, karena justru dinikmati oleh para pemburu rente.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]