Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PEMERINTAH, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyepakati tanggal pemungutan suara Pemilu dan Pilkada serentak 2024. Pada 14 Februari akan digelar Pemilu, untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta anggota DPD RI. Dan pada 27 November digelar Pilkada pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota.
Sengketa pemilu menjadi langganan setiap pelaksanaan, mulai dari tahap pencalonan, hingga hasil final selalu menjadi objek paling disoroti, Amanat UU Pasal 474 Tahun 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang penuh dalam memeriksa dan mengadili perselisihan pemilu sekaligus menjadi putusan final. Pada Pemilu 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut jumlah perkara yang diregister ada 132 kasus.
Sebanyak 90 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, enam perkara permohonan ditarik kembali, dua permohonan gugur dan dua perkara MK tidak berwenang mengadili. Dan 32 perkara lanjut ke tahap pembuktian (kompas.com), dilemanya adalah, kewenangan MK merupakan konstitusional sementara dan sering bertentangan dengan substansi keputusan.
Selain itu, Penanganan sengketa pemilu oleh Mahkamah Konstitusi, sejak dialihkan dari Mahkamah Agung (MA), menimbulkan tekanan beban kerja yang cukup besar terhadap sembilan hakim konstitusi. Banyaknya perkara dengan jumlah hakim MK sangat tidak imbang, ditambah waktu penyelesaian hanya 14 hari kerja, sehingga memunculkan pertanyaan tentang efektifitas penyelesaian sengketa pemilu yang dilakukan oleh MK.
Sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak punya fokus yang jelas dalam sistem penegakan hukum pemilu, dikarenakan dua fungsi yang kontradiktif. Sebab, di satu sisi Bawaslu mempunyai fungsi pemutus penyelesaian suatu sengketa dengan ajudukasi. Di sisi lain, Bawaslu juga berfungsi sebagai pengawasan yang bisa menemukan pelanggaran administrasi. Lalu, bagaimana jika Bawaslu aktif dalam menemukan sengketa lalu diselesaikan sendiri, dan memutuskan bahwa ini pelanggaran Bawaslu sendiri? Apakah Bawaslu bisa merubah jubah jadi penegak hukum yang mengikat?
Lantas perlukah Badan pengawas pemilu? Penjelasan Topo santoso, dalam bukunya Penegakan Hukum Pemilu (2006), merekomendasikan agar fungsi pengawasan sepenuhnya diberikan ke publik, dan tidak mempertahankan lembaga pengawas pemilu. Sejalan dengan itu, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Menegaskan agar pengawasan yang diserahkan kepada publik akan merangsang partisipasi politik publik dan juga inovasi. Penulis juga mengaminkan hal itu serta mendorong partai politik untuk melakukan pendidikan politik di kalangan masyarakat.
BACA JUGA: Pengawasan Partisipatif, Pemuda dan Pemilu Berkualitas
Bagaimana desain penegakan hukum pemilu pada 2024 mendatang? Perlukah Badan Peradilan Khusus Pemilu? Tentunya perlu desain yang kokoh secara konseptual yang mencakup landasan teoritis, yuridis dan filosofis. Sejatinya lembaga kehakiman diberi wewenang UU dalam melahirkan Badan peradilan khusus pemilu di luar MK. Pengaturan ini selaras dengan amanat UUD 1945 Pasal 25 C ayat 1.
Efektifitas penanganan Sengketa Pemilu
Dalam buku Philipe Nonet dan Philip Selznick (2018) yang berjudul Hukum Responsif, menekankan bahwa Hukum harus dibuat lebih responsif terhadap kebutuhan- kebutuhan demi menjawab masalah-masalah agar terciptanya keadilan sosial. Bisa juga dimaknai sebagai respon terhadap aspirasi sosial dan mampu mengenali keinginan publik agar tercapainya keadilan substantif.
Pembentukan Badan peradilan khusus pemilu sangatlah penting didasarkan pada beberapa alasan, Pertama, sengketa pemilu bukanlah tugas pokok MK hal ini tentunya menyebabkan MK sibuk dalam menangani sengketa pemilu, dan sering penumpukan berkas sengketa sehingga kurang efektifnya kinerja MK.
Kedua, Badan peradilan pemilu yang penulis maksud, nantinya akan membantu MK dalam membantu penyelesaian perkara pemilu. Badan peradilan khusus akan sebagai hakim sekaligus jaksa dan peradilan khusus bersifat final dan mengikat agar kepastian hukum lebih terjamin. Hal ini juga akan menjadi impelentasi dari amanat UU No. 10 Tahun 2016
Ketiga, Menurut penulis Badan peradilan ini sangat penting, dikarenakan kepastian hukum akan tercipta, namun di sisi lain memang jika lembaga peradilan pemilu di bentuk akan memperbanyak lembaga penegakan hukum pemilu, untuk itu perlunya pertimbangan agar Bawaslu tidak lagi dipertahankan dan role penegakan hukum akan diserahkan ke Badan peradilan khusus berkolaborasi dengan MK sehingga tupoksi kerja lebih terukur
Penulis menyakini dengan adanya Peradilan khusus pemilu akan membantu dalam mengidentifikasi sengketa ataupun perkara pemilu, pun akan berfungsi sebagai pembenahan pada penegakan pemilu, memberikan keputusan yang mengikat, serta senjata yang ampuh dalam menegakan efektivitas kinerja yang lebih baik. Semoga saja***
====
Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]