Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. PT Timah menjadi salah satu perusahaan yang akan mengembangkan logam tanah jarang atau rare earth di Indonesia. Komoditas satu ini dinilai menjadi salah satu harta karun berharga bagi Indonesia.
Direktur Utama PT Timah Achmad Ardianto mengatakan saat ini pihaknya sedang mencari teknologi untuk mengekstraksi rare earth dari mineral monasit. Mineral tersebut banyak ditemukan di hasil tambang timah.
Menurutnya, pihaknya masih mencari teknologi yang pas untuk diberlakukan di Indonesia. Achmad menilai sebetulnya, teknologi itu sudah banyak dikembangkan di Cina. Hanya saja, negeri bambu sulit berbagi teknologi dengan negara lain untuk mengembangkan rare earth.
"Opsi paling gampang sebenarnya ke Cina, cuma Cina ini tertutup untuk endorsement teknologinya," kata Achmad dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Senin (11/4/2022).
Kabarnya, Cina enggan membagikan teknologi terdepan dalam mengelola logam tanah jarang. Kata Achmad, Cina hanya ingin membagi teknologi kelas dua dari yang sudah ada. Pihaknya menilai teknologi tersebut mungkin bukan pilihan terbaik.
"Isu yang kami dengar adalah Cina hanya mau keluarkan teknologinya yang second tiers. Jadi sebenarnya sudah ada teknologi baru, yang terkini, tapi nggak dilepas," ungkap Achmad.
"Teknologi lama saja yang dilepas, jadi mungkin bukan pilihan terbaik juga bagi kita," imbuhnya.
Padahal, Cina saat ini sangat meminati rare earth yang ada di Indonesia. Menurut Achmad sudah ada satu perusahaan asal Cina yang menyatakan mau memborong semua hasil produksi rare earth yang ada di Indonesia.
"Ada perusahaan Cina yang katakan mau beli semua kalau nggak ada yang mau beli," lanjut Achmad.
Meski tak bisa mendapatkan teknologi Cina, Achmad mengatakan pihaknya sedang bekerja sama melakukan penelitian teknologi pengolahan logam tanah jarang dengan perusahaan Kanada. Tepatnya dengan Canada Rare Earth Corporation.
Kerja sama penelitian dilakukan untuk mencari teknologi yang dapat mengekstraksi rare earth dengan produksi 1.000 ton per tahun.
Sejauh ini, menurutnya teknologi yang ada kebanyakan digunakan untuk memproduksi rare earth 4.000 ton per tahun. Sedangkan, dari total potensi rare earth yang ada di Indonesia lebih cocok dengan teknologi yang dapat memproduksi 1.000 ton per tahun.
"Saat ini ada agreement dengan Canadian Rare Earth Corporation itu g to g, di-endorse oleh Kedubes Kanada. Kami melakukan kerja sama penelitian untuk mencari teknologi yang bisa di-scale down ke 1.000 ton," papar Achmad.
Diharapkan penelitian akan selesai tahun ini, dengan begitu pihaknya bisa menentukan di akhir tahun apakah teknologi yang diteliti bisa digunakan atau tidak. Bila teknologinya cocok, pihaknya akan memulai tahap EPC alias desain awal proyek pengolahan rare earth secara komersial.
"Kami harapkan tahapan penelitian bisa tuntas sebelum akhir tahun, jadi bisa kita putuskan go atau not go dengan teknologi ini. Kalau nggak cocok bisa kita cari yang lain," jelas Achmad.(dtf)