Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SAYA pikir, refleksi yang juga penting saat ini adalah tentang sejauh mana dana BOS berdampak pada pendidikan? Lalu, apa kemungkinan yang menjadi penyebab sehingga dana BOS terlihat tak cukup berdampak? Pertanyaan ini harus dicarikan solusinya supaya dana BOS tersebut dinikmati oleh seluruh masyarakat lingkungan sekolah semata demi kemajuan pendidikan kita.
Jujur saja, sebelum ini, saya selalu berhitung dalam hati bahwa dana BOS termasuk sangat cukup untuk membenahi wajah sekolah. Karena itu, saya selalu punya kecurigaan bahwa telah terjadi penyelewengan yang besar karena tak ada kemajuan signifikan.
Namun, saya mulai menyadari bahwa saya terlalu banyak curiga. Hal ini saya sadari setelah saya dipercaya sebagai bendahara sekolah. Semula, saya sungkan untuk menerimanya. Namun, saya memutuskan untuk ikut mengambil tantangan sebagai bagian dari pembelajaran.
Dari sanalah saya kemudian sadar bahwa ada banyak tantangan sehingga dana BOS belum berdampak signifikan. Pertama, alasan politis dan ideologis. Rupanya, cukup banyak kutipan tak terduga yang ternyata tak bisa dimasukkan sebagai bagian dari pertanggungjawaban.
Dampaknya, belanja fisik dan jasa akhirnya ditukangi sedemikian rupa untuk menutupi kutipan-kutipan tak berdasar tersebut. Sebagai manusia, saya menyadari itu wajar belaka sebagai bentuk "balas-jasa". Namun, jika "balas jasa" ini tidak ditekan, taruhannya adalah jebloknya kualitas belanja fisik dan jasa untuk sekolah yang digunakan sebagai dana talangan. Karena itu, dana BOS sebaiknya dibuat persentase bahwa maksimal dana itu, misalnya, 10-15 persen bisa digunakan untuk biaya publikasi media dan kehumasan.
Terlalu Banyak Juknis
Hal itu agar dana yang tersedia tapi tak bisa dipertanggungjawabkan selama ini bisa dialihkan dan dibuat sebagai pertanggungjawaban. Bentuknya bisa berupa dana kolaborasi untuk kepentingan media informasi bersama masyarakat. Sebab, disadari atau tidak, perlu juga informasi edukatif disebarluaskan oleh media-media lokal. Dana ini bahkan bisa dibuat sebagai edukasi bermedia bagi siswa. Artinya, sekolah bisa mengundang praktisi media sebagai mitra belajar. Hal ini juga sekaligus menembak target kita yang lain, yaitu untuk menggerakkan giat literasi. Hanya saja, alokasi dana untuk ini harus dibatasi hingga 10-15 persen.
Dalam hitungan saya, alokasi tersebut sudah cukup dan akan sangat mengurangi beban psikologi sekolah dalam mempertanggungjawabkan dana BOS, sehingga fokus kerja bisa lebih tertata. Lagipula, media pun sangat berperan dalam membangun sekolah.
BACA JUGA: Pratap Triloka Pendidikan untuk Membuat Keputusan
Media bisa menjadi lidah penyambung inspirasi. Kedua adalah terkait kurangnya kemerdekaan sekolah untuk menggunakan dana BOS. Sebabnya, terlalu banyak juknis yang dibuat sehingga sekolah tak merdeka untuk membuat dan mengolah anggaran.
Akhirnya, sekolah mengambil jalur aman daripada menjadi utang di kemudian hari. Sebab, ternyata ada beberapa sekolah yang terpaksa mengembalikan dana karena tidak sesuai dengan juknis, meski sesungguhnya apa yang mereka lakukan adalah ideal dan masuk akal dalam pembangunan bangsa. Karena itu, untuk mengambil jalur aman, sekolah memilih untuk tidak merdeka dan kreatif dalam mengolah dana tersebut. Jadi, jangan heran jika belanja sekolah dari tahun ke tahun menjadi monoton dan kurang beranekaragam.
Ketiga, dana BOS tidak operasional untuk mengembangkan bakat dan kemampuan guru dalam membentuk siswa. Ada banyak guru yang akhirnya ogah mengembangkan ekstrakurikuler anak atau membimbing dalam olimpiade (OSN) hingga festival seni sastra (FL2SN). Pasalnya, dana BOS ternyata akan bermasalah jika digunakan untuk menghargai keringat guru ketika membimbing siswa. Fakta saat ini, cukup banyak sekolah tak membimbing siswanya dalam seni dan sains meski program ini program nasioonal.
Hal ini tentu sudah sangat tidak relevan dengan permintaan zaman di mana kreativitas sangat dibutuhkan. Memang, jika dilihat alasan juknis, adalah sudah menjadi tugas guru untuk membimbing anak didik sehingga tak perlu dibayarkan lagi keringat mereka. Namun, bukankah dalam dunia kerja ada juga lembur?
Karena itu, sebaiknya dana BOS juga ramah dan permisif pada usaha guru dalam pengembangan karakter siswa. Saya justru berpikir, jika dana BOS melulu untuk belanja fisik, pada akhirnya sekolah hanya menimbun beton hingga lupa menimbun atau membangun jiwa.
Saya tak sedang mengatakan bahwa dana BOS harus diberikan juga manfaatnya kepada guru secara material. Bukan itu poin saya. Poin saya adalah beri juga kesempatan bagi guru untuk berkarya dan mengembangkan diri dan kemauannya dalam mengembangkan anak didik.
Pasti, di setiap sekolah, ada saja guru kompeten yang bisa diandalkan untuk bidang-bidang tertentu. Guru juga sudah pasti lebih mengenal siswanya. Terus terang, saya merasa sedih ketika banyak guru yang memutuskan untuk tidak membimbing anaknya ikut olimpiade atau seni. Sebabnya, mereka merasa tak dihargai.
Kebebasan Kompetitif
Sekali lagi, adalah benar bahwa itu sudah bagian dari tupoksi guru, yaitu mengajar dan membimbing. Namun, jika kita sadar, membimbing peserta sains dan seni sangat membutuhkan tenaga yang lebih ekstra. Sangat tak masuk akal mereka dibimbing saat mata pelajaran berlangsung.
Sebab, tidak semua siswa menjadi peserta olimpiade atau kompetisi. Jadi, ini tak boleh dibahasakan dengan sederhana: sudah menjadi tupoksi guru untuk membimbing mereka. Saya jadi teringat pada sebuah sekolah swasta ternama di kota Medan. Kebetulan, sekolah ini punya dana abadi.
Di sana, pada setiap guru diberi kebebasan secara kompetitif untuk membuat proposal kegiatan mereka untuk membimbing siswa. Akhirnya, masing-masing guru berlomba untuk menelurkan ide-ide dalam proposal. Hal yang sama kiranya bisa dilakukan melalui dana BOS.
Apalagi pada kurikulum merdeka, ide-ide seperti ini harusnya diwadahi demi menunjang lahirnya projek-projek dalam pembelajaran. Karena itulah, saya merasa perlunya pemerdekaan penggunaan dana BOS oleh sekolah. Terlalu banyak juknis saya pikir justru akan membuat sekolah terbenam dan buntu.
Selain itu, karena banyaknya urusan kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan sekolah, seperti rapat luar kota hingga studi banding, perlu pula alokasi khusus dengan persentase minimal. Semua ini tujuannya agar sekolah tidak lagi menukangi laporan, tetapi membuat laporan. Sebab, selama ini, karena banyak biaya tak terduga tetapi tak bisa dilaporkan, akhirnya laporan dibuat beraroma siluman.
Saya yakin, dengan kemerdekaan, dengan fleksibilitas yang tinggi dan transparan, maka dampak dana BOS akan lebih terasa ke depan, terutama dalam penerapan Kurikulum Merdeka.