Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PRESIDENTIAL Threshold di Indonesia sudah beberapa kali diterapkan dalam pemilihan presiden (Pilpres) pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan besarannya berubah-ubah sesuai undang-undang yang diberlakukan. Pilpres 2004 sebesar 3% kursi DPR atau 5% suara sah nasional hasil Pemilu DPR. Pilpres 2009, 2014, 2019 besarannya 20% dukungan kursi DPR atau 25% suara sah nasional hasil Pemilu DPR.
Ditinjau dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), terdapat dua sudut pandang teori Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu teori universalitas dan relativitas budaya. Pandangan universalitas HAM mengakui bahwa HAM bersifat universal dan egaliter, berlaku dimana pun manusia berada dan berlaku bagi semua manusia tanpa terkecuali.
Nilai-nilai ini tercantum dalam The Universal Declaration of Human Right yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 di Paris dan dijadikan acuan internasional dalam memandang HAM sebab dokumen ini mengedepankan penghormatan terhadap hak-hak fundamental. Asal muasal HAM dapat dipahami bahwa HAM merupakan hak yang dimiliki seseorang dimana saja dan kapan saja, hak-hak itu termasuk hak untuk hidup, kebebasan, dan harta kekayaan.
Pengakuan baik dari pemerintah ataupun dari sistem hukum tidak diperlukan lagi sebab Hak Asasi Manusia (HAM) sudah bersifat universal. Maka sebab inilah sumber HAM yang sesungguhnya semata-mata berasal dari kodrat manusia secara alami.
Secara garis besar, pembahasan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah apabila ditelaah berdasarkan nilai-nilai universalitas HAM tidaklah sejalan. Hal ini teridentifikasi setidaknya ada dua hal yang hilang dengan diterapkannya presidential theshold ini, yaitu: 1) Presidential threshold merampas hak politik individu warga negaranya untuk dipilih menjadi presiden dan wakil presiden dalam Pemilu secara independen bukan dari kelompok partai politik, 2) Hilangnya hak politik sekelompok manusia yaitu hak partai politik baru yang belum mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan partai politik yang telah mengikuti Pemilu namun belum mencapai parliementary threshold untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden dalam Pilpres.
Apabila ditelaah lebih rinci dan dianalisa kembali, dengan diterapkannya presidential threshold nilai-nilai HAM seperti universal dan egaliter tidaklah hilang dari seorang individu calon presiden dan wakil presiden yang tidak bisa mencalonkan diri secara parliementary threshold adalah ambang batas peroehan suara partai politik untuk lolos di parlemen, hal ini diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 Pasal 414 Ayat (1).
BACA JUGA: PTPS Ujung Tombak Pengawasan Pemilu
Partai politik yang telah mengikuti Pemilu memang memiliki opsi menggunakan perolehan suara sebasar 25% suara sah nasional untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden, akan tetapi jika partai koalisi lainnya sepakat menggunakan perolehan jumlah kursi, maka secara otomatis tidak bisa mencalonkan calon pasangan presiden dan wakil presidennya sendiri, sebab apabila partai dalam Pemilu saja tidak dapat mencapai Parliementary Threshold yang besarnya 4% suara sah nasional, maka untuk memenuhi syarat presidential threshold sebasar 25% suara sah nasional akan tidak mungkin terjadi
Nilai-nilai hak dasar manusia itu masih melekat pada diri mereka sebagai manusia dan hak konstitusi sebagai warga negara Indonesia. Mereka masih memiliki kesempatan yang sama dengan calon-calon presiden/wakil presiden dan partai-partai politik lainnya, jalan menuju pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden tidaklah tertutup, semua warga negara baik individu maupun kelompok di Indonesia dapat menjangkaunya dengan syarat harus memenuhi kriteria dan mekanisme tertentu, salah satunya seperti presidential threshold sebagai dukungan awal parlemen
Pencalonan presiden dan wakil presiden dengan ketentuan presidential threshold menghilangkan peluang pencalonan presiden dan wakil presiden secara independen tanpa dukungan partai politik di DPR. Hak perorangan non partai politik atau kelompok non partai politik untuk dipilih dalam Pemilu menjadi hilang.
Dalam permasalahan ini penerapan presidential threshold pada syarat pencalonan presiden dan wakil presiden tampaknya telah melanggar HAM, khususnya hak politik yang seharusnya dijunjung dalam sebuah negara demokrasi. Kebebasan memilih dan dipilih dalam pemilu merupakan hak yang sangat krusial di sebuah negara demokrasi karena dinamika kehidupan demokrasi adalah rakyat sebagai pemegang kekuasan tertinggi.
Tidak hanya kesempatan pencalonan presiden dan wakil presiden secara indepeden yang hilang dengan penerapan presidential threshold, namun hak pencalonan oleh partai politik baru yang belum memiliki kursi suara di DPR juga hilang. Hal ini dapat melanggar hak politik sebuah kelompok yang tergabung dalam sebuah partai baru. Kebebasan maju untuk dipilih dalam sebuah Pemilu sudah terlanggar dengan adanya presidential threshold yang diberlakukan.
Mengingat Indonesia menganut sistem presidensil yang mana dalam ciri khas sistem ini tidak ada keterkaitan antara lembaga eksekutif dengan legislatif, karena kedua lembaga ini memiliki legitimasi yang jelas berbeda. Kedua lembaga ini tidak bisa saling menjatuhkan, kedudukannya dalam struktur negara bersifat paralel. Dengan struktur lembaga negara yang parelel ini sangat tidak wajar apabila pencalonan presiden dan wakil presiden masih diperlukan dukungan suara dari DPR sebagaimana presidential threshold yang diterapkan saat ini.
Penerapan presidential threshold dianggap tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi HAM di tengah negara yang menganut sistem demokrasi. Presidential threshold jelas bertentangan dengan hak konstitusi yang tercantum pada pasal 28 D ayat (3) bahwa: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Artinya, hak politik setiap warga negara indonesia yang diajamin oleh konstitusi dengan pasal ini telah dilanggar oleh pembuat undang-undang dengan penerapan presidential threshold. Namun, ada pasal lain yang perlu ditinjau dalam UUD 1945 yaitu Pasal 28 J Ayat (2) yang isinya sebagai berikut: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Pasal ini memang seolah-olah mengikis hak konstitusi pada pasal lainnya dengan menyerahkan pembatasan pada undang-undang, namun apakah pantas dengan kondisi negara saat ini tetap menerapkan presidential threshold.
Kedua pasal UUD 1945 tersebut jika dipertemukan dengan aturan presidential threshold sebagaimana yang berlaku saat ini dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menimbulkan perdebatan argumen yang cukup pelik antara pro dan kontra.
Menerapkan presidential threshold bukanlah Pelanggaran terhadap hak konstitusi khususnya hak politik individu untuk maju secara independen nonpartai politik, sebab ada pasal lain UUD 1945 yang telah mengatur bahwa yang dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah partai politik, yaitu tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dalam Pasal 6A Ayat (2) yang isinya sebagai berikut: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Pasal UUD 1945 di atas mengatur secara spesifik mekanisme pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, maka pencalonan secara independen tidak memiliki legitimasi hak konstitusional untuk maju dalam Pemilu presiden.
Selain itu, dapat dilihat lebih mendalam bahwa presidential threshold tidaklah melanggar hak konstitusi partai politik baru dan partai politik yang sudah mengikuti Pemilu namun belum mencapai parliementary threshold untuk mecalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Sebab dalam UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 28J Ayat (2) berisikan pemberian mandat kapada undang-undang untuk memberikan batasan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang diterapkan.
Isi materi pasal tersebut sebagai berikut: “Dalam menjalankan hak dan kebabasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Dengan adanya pasal di atas dalam UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa presidential threshold dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tidaklah melanggar hak konstitusional.
====
Penulis Mantan Ketua Panwascam Kecamatan Medan Timur.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]