Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DUA peristiwa hukum yang menggemparkan publik dua bulan terakhir muncul dari internal Kepolisian Repubik Indonesia (Polri), yaitu terjadinya kasus polisi tembak polisi. Kasus yang paling menyita perhatian publik terkait peristiwa di Duren Tiga Jakarta Selatan, tepatnya di rumah dinas mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo, yang menewaskan ajudannya Brigadir Yosua Hutabarat (Brigadir J), yang konon
kabarnya setelah dilakukan pemeriksaan secara mendalam oleh Tim Khusus (Timsus) Mabes Polri terungkap fakta bahwa ternyata peristiwa polisi tembak polisi tidak pernah ada, karena hal itu hanya berupa skenario belaka, yang ada justru penembakan terhadap Brigadir J dilakukan secara
berencana atas perintah atasan dengan tersangka Ferdy Sambo.
Belum tuntas pengungkapan kasus kematian terhadap Brigadir J tersebut, sepekan terakhir publik kembali dikejutkan dengan peristiwa berdarah kasus polisi tembak polisi di Lampung Tengah. Seorang polisi yang merupakan Bhabinkantibmas Polsek Way Pengubuan Polres Lampung Tengah bernama Aipda Karnaen tewas ditembak rekan sejawatnya. Peristiwa penembakan tersebut diduga disebabkan pelaku Aipda Rudi Suryanto yang merupakan seorang Kanit Provos emosi dan sakit hati karena korban selalu membuka aib atau keburukan kepada teman dekatnya. Pertanyaan kemudian muncul ada apa dengan polisi?
Berkaca dari dua peristiwa di atas, rasa-rasanya perlu ditelaah kembali tentang wacana Polri berada di bawah salah satu kementerian negara, khususnya kementerian yang membidangi masalah penegakan hukum dan keadilan (law inforcement). Mengapa? Agar institusi Polri tidak babak belur dan harapannya kwalitas kepercayaan publik terhadap Polri kembali tinggi.
Sejalan dengan wacana Polri di bawah kementerian, pada akhir tahun 2021, Agus Widjojo, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ketika itu pernah mengusukan agar Polri berada di bawah kementerian. Hemat penulis, usulan itu bagus, mengingat Tentara Nasional Indonesia (TNI) saja yang tugas pokoknya sebagai benteng pertahanan negara hingga saat ini masih berada di bawah Kementerian Pertahanan. Lantas, mengapa Polri langsung berada di bawah presiden?
Sepintas lalu posisi Polri di bawah presiden cukup beralasan, karena dalam Pasal 98 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Polri disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah presiden. Namun, kewenangan ini terlalu berlebihan, sebab itu perlu segera dilakukan amandemen (perubahan) terhadap bunyi pasal-pasal yang terkandung di dalam UU Nomor 2 Tahun 2022, sehingga kewenangan Polri yang luas tersebut tidak lagi di bawah presiden, melainkan di bawah kementerian, agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan. Sebagai saran, penulis berpendapat ke depan Polri lebih tepat berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Harus diingat kembali bahwa pascagerakan reformasi 1998, salah satu tuntutan yang paling mendasar adalah mengenai pembenahan sistem hukum nasional yang kemudian menghasilkan adanya 4 (empat) kali perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia saat itu merasakan bahwa faktor manusia bukan satu-satunya penyebab absolutisme kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan.
Absolutisme telah dirasakan pula dalam susbtansi-substansi hukum yang mewarnai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pada masa itu, muncul berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih berorientasi untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu, sehingga
menghasilkan suatu pemerintahan yang bersifat oligarkis. Fenomena ini dapat terjadi karena lemahnya kontrol sosial dan peran serta masyarakat, sehingga pembangunan hukum nasional dilaksanakan berorientasi untuk mempertahankan status quo dengan mengabaikan esensi dan proses penyelenggaraan negara yang demokratis.
Jika diurut ke belakang, sejarah Polri berada di bawah presiden terjadi ketika Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pisah ranjang dengan kepolisian. Pada 1 April 1999, Presiden Habibie menerbitkan instruksi Presiden Nomor 2 tahun 199 tentang langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisaahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari ABRI. Bahkan di hari yang sama, diadakan serah terima di Markas Besar ABRI di Cilangkap. Letnan Jenderal Sugiono menyerahkan panji-panji Polri kepada Letnan Jenderal Fachrul Rozi yang saat itu menjabat Sekretaris Jendera Departemen Pertahanan Keamanan.
Pindahnya kepolisian dari ABRI ke Dephankam seperti tercatat dalam buku Ahmad Yani (2013:154), tertuang dalam keputusan Menghankam/Pangab Nomor Kep/05/III/1999 tanggal 31 Maret 1999. Output dari keputusan ini yang menjadikan lahirnya istilah Menteri Pertahanan dan Keaman merangkap Panglima ABRI Wiranto pada 1 Juli 1999. Selanjutnya dari Fahrul Razi panji-panji itu secara bertahap diserahkan kepada Kapolri Jenderal Roesmanhadi.
Pada tanggal 10 Juli 1999, Presiden Habibie menjelaskan pembagian tugas antara polisi dengan tentara, bahkan dikemukakan bahwa ke depan Kapolda bisa saja dipilih oleh DPRD dan bertanggung jawab kepada gubernur. Sementara Kapolri bertanggung jawab kepada presiden dengan anggaran yang dimasukkan dalam anggaran Departemen Dalam Negeri.
BACA JUGA: Judi, Citra Polri, Polda Sumut dan Parasit
Setelah Polri berpisah dengan ABRI, tiga matra yang tersisa namanya berubah tak lagi ABRI, melainkan jadi TNI, sementara kepolisian pun lepas dari Departemen Pertahanan dan langsung berada di bawah presiden. Setelah reformasi berjalan, dalam kurun waktu 23 tahun (1998-2022), pembangunan hukum nasional nampaknya masih dalam tahap mencari bentuk dan pola yang ideal. Namun, proses penyelenggaraan pemerintahan dapat dikatakan sudah jauh lebih baik, karena adanya peningkatan kontrol sosial dan peran serta masyarakat dalam penyusunan dan pelaksanaan konsep pembangunan hukum nasional.
Arah pembangunan hukum bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan arah pembangunan di bidang lainnya memerlukan penyelarasan. Artinya, betapa pun arah pembangunan hukum bertitik tolak pada garis-garis besar gagasan dalam UUD NRI Tahun 1945 tetap dibutuhkan penyelarasan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang dimimpikan akan tercipta pada masa yang akan datang.
Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh diidentikan dengan pembangunan undang-undang atau peraturan perundangan menurut istilah yang lazim digunakan di Indonesia, karena membentuk undang-undang sebanyak-banyaknya tidak berarti sama dengan membentuk hukum. Negara hukum bukan negara undang-undang. Pembentukan undang-undang hanya bermakna pembentukan norma hukum, karena norma hukum merupakan aspek yang subtansial dari hukum.
Di samping substansi hukum terdapat struktur dan kultur hukum. Struktur merujuk pada institusi pembentukan dan pelaksana hukum (penegak hukum) dan kultur hukum yang merujuk pada nilai, orientasi dan harapan atau mimpi-mimpi orang tentang hukum. Hal yang terakhir ini dapat disamakan dengan secondary rules yang dikonsepkan oleh HAL Hart. Esensinya sama, yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang hukum atau hal-hal yang berada di luar norma hukum positif.
Lawrence M Friedman mengemukakan adannya 3 (tiga) pilar penting dalam pembangunan hukum, yakni substansi (substance), struktur (structure), dan budaya/kultur (culture). Secara ideal, ketiga pilar pembangunan hukum nasional itu harus berjalan serasi, selaras, dan seimbang karena ketiga hal tersebut sangat berkaitan erat satu sama lain.
Gustav Radbruch menyatakan bahwa tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu.
Akhirnya Gustav Radbruch pun meralat teorinya tersebut dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas tujuan hukum yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam kenyataannya sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.
Penutup
Terakhir, tak dapat disangkal Polri berada di bawah presiden merupakan mandat reformasi dan UU Nomor 2 Tahun 2022, namun melihat perkembangan dan dinamika masyarakat saat ini, beban Polri sangat berat. Efek dari regulasi ini menempatkan Korps Bayangkara ini memiiki spektrum yang luas seperti perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Misalnya perencanaan, sebut saja dalam hal budgeting, APBN 2021 untuk Polri mencapai Rp112,1 triliun, terbesar ketiga setelah Kementerian PUPR 149,8 triliun dan Kementerian Pertahanan 137,3 triliun, akibat semua hal direncanakan oleh Polri, dilaksanakan oleh Polri dan diawasi sendiri oleh Polri.
Ketika terjadi kesalahan dalam pengambilan kebijakan di kepolisian bebannya kemudian berada di Polri sendiri. Nah, jika masyarakat meminta pertanggungjawaban, maka Polri yang menanggung semuanya, sehingga beban itu terlalu berat bagi Polri. Setidaknya, bila kepolisian berada di bawah kementerian, minimal satu beban berkurang, khususnya perencanaan. Pendek kata, biarlah kementerian yang merencanakan, Polri tinggal
melaksanakan, hemat penulis bila ini yang diterapkan pasti lebih efektif, bahkan tidak tertutup kemungkinan beban pengawasn pun menjadi berkurang.
Di samping itu, meskipun Polri dibentuk berdasarkan UU Nomor 2 tahun 2022, akan tetapi harus diingat juga bahwa di atas UU masih ada UUD 1945, terutama apa yang diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (2) yang secara tegas menyatakan: “Usaha pertahanan dan keamana rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Dari ketentuan Pasal 30 ayat (2) di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terkait upaya pertahanan dan keaman, mereka satu paket, artinya tidak menutup kemungkinan Polri berada di bawah Kementerian Pertahanan dan Keamanan, yang penting jangan seperti ABRI masa orde baru dahulu. Memasukkan Polri di bawah kementerian, baik Kementerian Pertahanan atau Kementerian Dalam Negeri justru akan meringankan beban polisi.
Polri dalam konteks ini tidak perlu lagi merumuskan strategi kebijakan keaman, melainkan cukup mengusulkan kebutuhan-kebutuhan dan melaksankan tupoksinya sebagai penegak hukum dan penjaga kamtibmas. Dampak posotif ketika Polri berada di bawah kementerian, selain beban tugas Polri menjadi ringan dan tugas presiden pun juga menjadi ringan, karena tidak direcoki langsung oleh Polri. Presiden tinggal menuntut dan memerintahkan Kapolri agar bekerja profesional. Mengenai perumusan kebijakan dan anggran cukup antara Kapolri dan menteri terkait saja. Semoga!!.
====
Penulis Ketua Umum PB PASU Periode 2022-2027, Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kota Medan Periode 2014-2018.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]