Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BAK petir di siang bolong, sore itu, Kamis, 22 September 2022, sekita pukul 18.00 WIB, salah satu media nasional lewat diberanda Faceboock saya memberitakan telah terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 8 orang yang diduga pelaku suap-menyuap terhadap suatu perkara yang sedang berjalan di Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Selain advokat, di antaranya ada sejumlah pejabat penegak hukum termasuk panitera yang terjaring dalam peristiwa OTT tersebut, paling menyakitkan atau menyedihkan ketika muncul nama Hakim Agung Sudrajat Dimiyati “Hakim Agung yang tidak lagi Agung” karena telah merusak, menciderai atau mencincang nilai-niai kemulyaan, keagungan serta integritas yang melekat pada amanah yang diemban tersebut.
Tak pelak sontak seketika itu batin saya berontak, “entah sampai kapan budaya suap-menyuap ini akan berhenti di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang amat kita cintai ini”. Sepintas lalu dunia hukum memang pelik, budaya setor-menyetor kian hari kian menggurita. Ibarat besi tua dari hulu ke hilir ternyata sudah sangat “karatan” atau ibarat penyakit, sudah terlalu akut. Sehingga muncul apatisme publik bahwa penyakit hukum tersebut sangat sulit untuk diobati atau disembuhkan.
Namun, di balik sikap apatisme tersebut hemat penulis siapapun kita pelaku atau pegiat hukum, baik hakim, jaksa, polisi dan advokat sebagai empat pilar penegak hukum sesui tugas pokok, fungsi dan perannya berdasarkan Undang-Undang (UU) harus senantiasa menggelorakan semangat anti korupsi dalam konteks penegakan supremasi hukum yang juga merupakan salah satu agenda besar mandataris reformasi perjuangan rakyat Indonesia yang ditandai dengan runtuhnya pemerintahan rezim orde baru karena dinilai sarat dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada tahun 1998.
Selanjutnya pascaperjungan bersejarah reformasi 1998, hendaknya semangat anti korupsi bukan dimaknai sekadar simbolik semata, tapi harus diejawantahkan dalam sikap dan prilaku setiap pemangku kepentingan di negeri ini, mulai dari hulu ke hilir, dari seluruh lini dan sektor serta aspek kehidupan. Dengan kata lain, hendaknya budaya anti korupsi terpahat dalam hati sanubari setiap anak bangsa, sehingga menjadi sikap prikelakukan yang ajek (perbuatan baik yang berulang), jika perlu menjadi menjadi cermin atau wajah bangsa Indonesia yang “berakhlakul karimah” (berakhlak mulia/terpuji).
Sekiranya akhlakul karimah menjadi cerminan atau wajah bangsa, hemat penulis siapapun pasti setuju, karena dengan modal akhlakul karimah tersebut, paling tidak mental, emosional dan sipritual (MES) anak bangsa akan menjadi lurus. Sehingga orientasi untuk mewujudkan “kebenaran dan keadilan” tidak terdinding/terhalang oleh sikap buruk atau tercela (akhlak mazmumah), artinya semua tindak tanduk, prilaku atau perbuatan manusia yang menegmban amanah publik tidak lagi menjadi eror (hummam error).
Pendeknya, jika akhakul karimah tidak di pahat dalam hati sanubari anak bangsa, saya tidak dapat membayangkan betapa kedepan ruang-ruang pelayanan publik akan penuh dengan sikap kemunafikan (hipokrit), “lain di mulut, lain di bibir”, lain yang disampaikan lain pula yang dikerjakan. Nah, kalau ini yang terjadi maka hancurlah moral bangsa ini ke dasar laut, dampaknya tentu bukan hanya pada kulit luar yang terlihat kasat mata (konkit), tapi juga sampai ketulang sum-sum yang tak terlihat oleh mata (abstrak).
Sudah menjadi rahasia umum, sebagai contoh di ruang-ruang pelayan publik terlihat secara kongkrit dalam mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) di Kantor Samsat misalnya, ada diksi atau jargon “Jangan Mengurus SIM Melalui Calo” atau di Pengadilan ada jargon “Stop Pungli”. Namun, praktiknya jargon tinggal jargon, pemberi atau penerima pungli (suap) bak “Hantu yang sedang bergentanyangan”, prilaku pemberi dan penerima suap itu selalu ada, jangan dibilang tidak ada, saya katakan itu ada.
Berkaca dari prilaku-prilaku buruk di atas, hendaknya para pemangku jabatan di negeri ini sadar dan mengakui kekhilafan itu sebagai suatu kesalahan kolektif yang nayata-nyata telah merusak dan mencabik-cabik moralitas bangsa secara universal. Sebab itu, hemat penulis sangat wajar jika bangsa ini melakukan “taubatan nasuha secara kolektif” supaya dapat bebas dan keluar dari belengggu “suap” yang menggurita serta bangkit dari lembah hitam keterpurukan moral bangsa yang sudah berkarat dan akut tersebut. Sehingga optimisme dalam rangka mewujudkan Indonesia bangkit dan bersih, bebas dari prilaku koruptif yang telah menjalar ke tulang sum-sum tersebut dapat diobati.
Meminjam istilah Prof Dr Muzakkir MA, Guru Besar UINSU Medan tak berlebihan kiranya bahwa yang penting dan harus ada saat ini adalah komunitas untuk menuntun manusia agar masuk sorga. Hal ini bukan tak beralasan, karena kesalahan manusia Indonesia dalam hal hipokrit tadi, dari tahun ke tahun sudah cukup besar. Kiranya sedapat mungin sikap hipokrit tidak berulang lagi. Pendeknya, jangan sampai “mendarah daging” agar anak cucu bangsa ini selamat dan bebas dari belenggu keserakan (banyak kurang banyak) dan kemunafikan, baik yang bersifat konfrit maupun yang abstrak tadi.
Bagaimana mungkin penulis tidak merasa sedih, publik pun saya rasa sedih ulah seorang hakim agung yang sejatinya memang “maha agung” terjerembab ke dalam pusaran suap-menyuap untuk pemenangan suatu perkara. Perbuatan ini dinilai sangat tercela dan rendah moralitas. Padahal Mahmakah Agung (supreme court) merupakan pengadilan tertinggi dalam tingkatan pengadilan yang terdiri dari banyak daerah hukum. Sebutan lain untuk Mahkamah Agung meliputi pengadilan tingkat akhir, pengadilan penghakiman, pengadilan puncak dan pengadilan tertinggi banding.
Dalam jumpa pers saat penyidik KPK menunjukkan barang bukti pada Jumat, 23 September 2022, diperlihatkan sejumlah uang hasil korupsi yang di duga hasil suap terkait penanganan perkara di Mahakmah Agung yang melibatkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati disimpan dalam Kamus Bahasa Inggris yang telah dimodifikasi, layaknya sebuah boks yang bisa dimasukkan barang-barang ke dalamnya.
Dalam UUD 1945 tepatnya pada Pasal 24 ayat (2) dapat dilihat bahwa Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi kehakiman bersama Mahkamah Konstitusi (MK). MA membawahi lingkungan peradian umum, agama militer dan tata usaha negara dan MA dipimpin oleh seorang Ketua, Wakil Ketua dan beberapa Ketua Muda. Ketua MA di pilih oleh Hakim Agung dan diangkat langsung oleh Presiden.
Sementara Pasal 24 ayat (2) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh MK. Pasal 24A ayat (2) MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh UU.
Sedangkan Pasal 24A ayat (3) Hakim Agung harus memiliki integritas dan keperibadian yang tidak tercela, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum. Selanjutnya, dalam UU Nomor 3 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa Hakim yang bertugas dalam Mahkamah Agung disebut Hakim Agung.
Hemat penulis tidak berlebihan jika prilaku memberi dan menerima suap (korupsi) dalam memenangkan suatu perkara, selain menghianati sumpah jabatan dan janji profesi seorang Apara Penegak Hukum (APH) yang semestinya menjunjung tinggi integritas moral, prilaku ini juga dikategorikan sebagai penghianatan terhadap negara yang sangat berbahaya dan tercela. Perbuatan tercela demikian, selain bertentangan dari sisi agama, bertentangan pula dengan prinsip negara hukum demoratis yang bertumpu pada asas legalitas, kepastian hukum dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Perilaku Tercela
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) arti kata cela di antaranya; (1) sesuatu yang menyebabkan kurang sempurna, cacat, kekurangan; (2) aib, atau noda tentang keakukan dan sebagainya; dan (3). Hinaan, kecaman atau kritk. Sedangkan artik kata tercela adalah “patut di cela” atau tidak pantas. Demikian halnya dengan perbuatan tercela ala Hakim Agung seperti yang diceritakan di atas.
Dalam Islam, Allah melarang manusia untuk memiliki akhlak yang tercela, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berakhlak tercela. Disamping itu, akhlak tercela tidak akan membawa keberuntungan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, justru akhlak tercela hanya akan membawa dampak kerugian atau kemudhorotan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Contoh akhlak tercela diantaranya: sombong, fitnah, mengadu domba, dusta ingkar janji dan lain sebagainya.
BACA JUGA: Haruskan Polri di Bawah Kementerian?
Perbuatan tercela pada hakikatnya merupakan prilaku yang bertentangan pua dengan prinsip-prinsip good governance di Indonesia Pascareformasi sebenarnya telah dilakukan perombakan sistem pemerintahan yang menuntut proses demokrasi yang bersih seingga good governance merupakan salah satu alat reformasi yang mutlak untuk diterapkan, akan tetapi melihat jalannya agenda reformasi kurang lebih 24 tahun (1998-2022), penerapan good goovernance belum dapat dikatakan berhasil sepenuhnya sebagai cita-cita reformasi dimaksud.
Kunci utama memahami prinsip good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang terdapat di dalammnya meliputi: Pertama Prinsip Masyarakat (participation), artinya bahwa semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik melalui lembaga-lembaha perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan asas kebebasan berumpul dan kebebasan menyampaikan pendapat serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. Partisipasi demikian dimaksudkan untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat.
Kedua, Komitmen Penegakan Hukum (Rule of Law), artinya dalam proses mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen penegakan hukum dengan karakternya antara lain: penegakan supremasi hukum (the supremacy of law), kepastian hukum (legal certainty), hukum yang responsif, penegakan hukum yang konsisten, independensi peradilan dan kerangka hukum yang harus adil dan pemberlakuannya tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya perlindungan hak asai manusia.
Ketiga, Konsensus (Consensus), artinya menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui suatu konsensus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan semua pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan miik bersama, sehingga mempunyai kekuatan memaksa (coercive power) bagi semua komponen yang terlibat untuk melaksakan keputusan tersebut.
Keempat, Kesetaraan (Equity), artinya kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Hal ini dimaksudkan bahwa setaip warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahakan kesejahteraan mereka. Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat, adanya jaminan pelayanan informasi dan kemudahan dalam mengakses informasi yang akurat dan memadai.
Kelima, Efektifitas dan Efesiensi (Effectivenesss and efficiency), artinya untuk menunjang pemerintahan yang baik dan bersih harus pula memenuhi kriteria efektif dan efesien, yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektif biasanya diukur dengan produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan masyarakat. Nah, agar pemerintahan itu efektif dan efesien, maka para pejabat pemerintah harus menyusun perencanan yang sesui dengan kebutuhan nyata masyarakat, disusun secara terukur dan rasional.
Keenam, Akuntabilitas (Accountability), artinya pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Instrumen dasar akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, sedangkan instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku, sistem pemantauan kinerja dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas. Dan
Ketujuh, Visi Strategis (Strategic Vision), artinya pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang.
Penutup
Sebagai advokat, penulis pada kesempatan yang baik ini mengimbau marilah kita mulai dari diri sendiri (ifda binafsi), membuang jauh-jauh semua tabiat atau prilaku buruk yang bersifat tercela, baik berupa pungli, suap atau apapun namanya agar penegakan hukum dan keadilan (law inforcement) dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya, penuh kemadiran, merdeka, berdaulat, bebas dari iming-iming (tidak menjanjikan sesuatu) terhadap APH lain serta menjalankan amanah atau tugas profesi sebagai empat pilar penegak hukum berbasis pada kualitas, integritas serta profesionalitas.
Selain itu, menjunjung tinggi moralitas tanpa harus menghianati atau mengorbankan sumpah jabatan atau janji profesi yang melekat pada profesi yang mulia ini, merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Harapannya kedepan tercipta penegakan hukum yang berkeadilan, tidak pandang bulu dan lepas atau bebas dari lingkaran budaya suap yang tak berperadaban. Semoga!!!
====
Penulis Ketua Umum PB PASU Periode 2022-2027.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]