Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
NASIHAT kuno menyebutkan: uang dibagi akan habis, ilmu dibagi akan bertambah. Nasihat itu sudah perlu dikoreksi. Sebab, uang dibagi ternyata tidak habis. Uang dibagi justru bertambah. Jadi, jikalau filsuf Sophocles mengatakan, uang adalah hasil kebudayaan terburuk, kita perlu meragukannya. Sebab, ketika pandemi, pemerhati menyebutkan, Indonesia akan terpuruk, malah resesi. Perhitungan yang masuk akal.
Tetapi, fakta membuktikan, ekonomi kita kian tangguh. Sebab, uang yang dibagi itu bertumbuh. Dalam hal ini, ketika Kemensos berkomitmen membagi bantuan melalui banyak program, kita tak boleh membacanya sekadar memberikan uang pada orang miskin. Uang itu sudah bersalin rupa menjadi ketangguhan kolektif.
Nurma Mustika Hasna, dkk, misalnya, dalam studinya menunjukkan, pelaksanaan PKH memberikan dampak positif, berupa meningkatnya taraf pendidikan, partisipasi sekolah, dan kualitas kesehatan. Kita akhirnya tangguh. Dana desa yang tersalur ke masyarakat pun menjadi fondasi yang kuat.
Dalam paparan Luhut Binsar Panjaitan, misalnya, sejak 2015, dana desa sudah berubah jadi jalan sepanjang 261.877 km, jembatan 1.494.804 meter, 11.944 unit pasar desa, 27.753 unit sarana olahraga, 1.281.168 unit air bersih, 76.453 unit irigasi, 39.844 bumdes, dan 40.618 unit posyandu. Selain itu, dana desa juga meningkatkan jumlah desa mandiri dari 178 desa (2015) menjadi 1.741 (2020), menurunkan jumlah desa tertinggal dan sangat tertinggal dari 41.315 (2015) menjadi 21.268 (2020).
BACA JUGA: Talkshow Sederhana Siswa SMA Negeri 1 Doloksanggul di Borobudur
Dana itu pun mengurangi jumlah penduduk miskin, dari 17,89 juta (2015) menjadi 15,26 (2020). Data-data ini tentu semakin membuktikan, jika dibagi, uang tidak habis. Uang justru bertumbuh. Uang menjadi pelancar ekonomi. Jadi, kita sangat mendukung jika berbagai kementerian membantu penyaluran dana hingga masyarakat akar rumput. Terlebih, kita sangat menantikan masyarakat bahu-membahu dan berbagi. Kita harus memutus stigma semakin kaya, semakin pelit.
Fakta menang demikian. Betapa tidak? Menurut Oxfam, harta kekayaan empat orang terkaya melebihi kekayaan 100 juta rakyat termiskin lainnya. Artinya, empat orang bebas kemana-mana, sementara ratusan juta lainnya terjepit di mana-mana. Dalam angka lain, 10 persen orang terkaya Indonesia menguasai 77 persen dari kekayaan nasional. Artinya, sisanya, yaitu harta kekayaan nasional sebesar 23 persen lagi harus dibagi oleh 90 persen warga lainnya.
Ironisnya, menurut saya, setelah membaca data tersebut, cara orang semakin kaya hanya satu saja: pelit. Semakin pelit, semakin kaya. Ini sama artinya, semakin kaya raya, pelit akan berlipat ganda sehingga tak akan peduli betapa kekayaannya sudah membatasi, bahkan mengambil hak orang lain. Bayangkan, 10 persen menguasai 77 persen harta kekayaan nasional, sementara 90 persen harus berebut sisanya: 23 persen. Maksud saya, marilah berbagi. Jangan serakah agar Indonesia kian tangguh.
=====
Penulis Guru Penggerak SMA Negeri 1 Doloksanggul, Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]