Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut) Sugianto Makmur mengingatkan pemerintah, kemungkinan minyak goreng (migor) semakin langka seiring harga TBS yang saat ini nyaris menyentuh Rp 4.000 per kilogram. Menurut Sugianto, dalam situasi seperti ini, sebaiknya penggunaan CPO yang besar, harus dianalisa.
"Seumpamanya untuk campuran biosolar. Dulu, harga CPO lebih rendah dari minyak bumi dan untuk menghemat penggunaan minyak bumi, pemerintah membuat aturan B20, yaitu memakai 20% minyak nabati ke dalam solar dan bahkan sekarang sudah B30. Untuk sekarang, ada dua peraturan yang perlu dicabut atau direvisi. Peraruran tentang tidak bolehnya migor dijual eceran tanpa kemasan dan peraturan tentang pencampuran minyak nabati untuk pemakaian diesel," kata Sugianto, Rabu (2/3/2022).
Migor langka, jelas politisi PDI Perjuangan ini, karena dua sebab. Pertama, sejak Februari, pemerintah memaksa perusahaan penghasil migor menjual dengan harga murah, di bawah HPP, dengan aturan DPO dengan kerugian ditanggung swasta. Pemerintah bisa memaksa penjualan eceran dengan ancaman hukuman pidana, tetapi pemerintah tidak bisa memaksa pabrik menghentikan atau mengurangi produksi.
Kedua, migor langka karena absorbsi masyarakat yang di atas rata-rata. Kebutuhan masyarakat yang biasanya 5 liter per bulan, dibeli 10 liter, sebagian disimpan untuk jaga-jaga. Akibatnya, sebanyak apa pun migor diantar ke pasar, segera lenyap. Sugianto menyarankan, masalah migor ini diselesaikan satu per satu. Karena CPO adalah bahan baku langsung dari migormaka harga CPO-lah yang perlu diturunkan.
"Kalau harga CPO turun maka HPP migor akan turun. Sebagai perbandingan, minggu lalu harga CPO Rp 17.000 tetapi harga minyak goreng malahan Rp 14.000. Tidak masuk akal harga produk jadi lebih murah dari bahan baku. Maka dengan menaikkan pajak ekspor, CPO dalam negeri akan turun. Langkah kedua adalah meyakinkan masyarakat bahwa migor tidak akan hilang dari pasaran," kata Sugianto.
Menurut Sugianto, memaksa pengusaha menjual HET (DPO) memang baik bila perusahaan menjual dengan HET dalam rangka DMO (kewajiban menjual 20% dari total produksi dengan sisa 80% untuk diekspor) untuk mendapatkan PE (persetujuan ekspor). Tetapi kebijakan ini menjadi blunder karena tidak semua perusahaan migor mengekspor produknya dan penyamaan harga untuk semua merk berdampak negatif untuk merk-merk premium yang memang berkualitas lebih baik.
"Maka untuk memperbaiki ini, bila dipandang perlu, perusahaan boleh 'dipaksa' menjual dengan harga HPP, migor curah dan atau migor kemasan 'minyak kita', brand milik pemerintah sebanyak 10% dari total produksi mereka. Migor dengan merk 'minyak kita' ini bisa disubsidi bila HPP di atas HET, dengan sumber dana pajak ekspor CPO dan produk turunannya. Untuk brand-brand lain silakan masuk ke pasar dengan mekanisme pasar," terangnya
Pemerintah, kata anggota Komisi B ini, harus cepat mengambil langkah tepat. Naiknya CPO pasti menambah beban pabrik migor. Beberapa perusahaan sudah tutup permanen. "Bukan hal yang benar memaksa swasta menanggung subsidi. Negara-lah yang harusnya menanggung subsidi. Akan lebih parah, bila industri migor kolaps," tegasnya.