Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PERBINCANGAN tentang bonus demografi yang akan diperoleh Indonesia pada 2030-2040, yaitu tingginya jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) dibandingkan penduduk usia tidak produktif (anak dan lansia).
Pada 2035 penduduk usia produktif akan mencapai 64% dari jumlah penduduk atau sekitar ± 297 juta jiwa dan hal ini harus menjadi fokus kebijakan pemerintahan ke depan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri pada Juni 2022 jumlah penduduk indonesia mencapai 275,36 juta jiwa, dimana 190,83 juta jiwa (69,3% ) masuk kategori usia produktif (15-64 tahun) dan 84,53 juta jiwa (30,7%) penduduk yang masuk kategori usia tidak produktif.
Kenaikan populasi usia produktif yang disebut sebagai bonus demografi akan menjadi peluang jika mampu memaksimalkan potensi jumlah tenaga produktif yang berada pada titik tertinggi dengan ketersediaan potensi sumber daya alam yang ada sebagai pendorong peningkatan perekonomian dari negara berkembang menjadi negara maju.
BACA JUGA: Menguapnya Substansi Reformasi
Lonjakan jumlah penduduk dan usia produktif tentunya menjadi dua sisi mata uang, yakni menjadi bonus ketika dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan perekonomian, atau menjadi malapetaka ketika lonjakan jumlah usia produktif yang ada justru tidak memiliki kualitas dan kesulitan mendapatkan pekerjaan maka dapat dipastikan jumlah pengangguran akan semakin meningkat.
Peningkatan jumlah pengangguran akan menjadi awal bencana, karena akan berdampak pada meningkatnya angka kemiskinan yang akan menyebabkan pembengkakan beban subsidi negara, dan akhirnya memberikan berpengaruh buruk kepada kemampuan negara untuk memberikan pelayanan publik, pertahanan, keamanan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Bonus atau Bencana?
Menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP), peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) indonesia berada pada urutan ke-113 dari 188 negara di dunia, bahkan masih kalah dari beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
BACA JUGA: Politik Uang dan Pembusukan Demokrasi
Jika melihat jumlah lonjakan usia produktif tentunya akan sangat membutuhkan banyak lapangan pekerjaan atau lonjakan usia produktif harus seimbang dengan pembukaan peluang lapangan pekerjaan atau akan menambah tingginya angka pengangguran
Maka mempersiapkan periode masa lonjakan demografi tentunya sangat membutuhkan berbagai persyaratan agar dapat mencapai keberhasilan, terutama dukungan pelayanan publik, infrastuktur, kesehatan, kualitas dan kuantitas pendidikan, serta kebijakan untuk mendukung terwujudnya fleksibilitas tenaga kerja.
Peningkatan usia produktif tentunya akan sejalan dengan peningkatan angka kelulusan peserta didik dari Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi, dan indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi permasalahan serius, karena tidak seimbangnya ketersediaan lapangan kerja dibandingkan dengan jumlah lulusan SMA dan perguruan tinggi setiap tahunnya.
BACA JUGA: Ketimpangan Ekonomi dan Politik Uang
Menurut data BPS jumlah pengangguran terdidik pada Agustus 2020 mencapai 6,27 juta jiwa atau 64,24 persen dari seluruh jumlah pengangguran di Indonesia, dimana mayoritas pengangguran terdidik tersebut, tidak memiliki spesifikasi atau kualifikasi yang dibutuhkan lapangan pekerjaan.
Termasuk tidak memiliki pengenalan atau keahlian pada peluang wirausaha, sehingga disinyalir merupakan dampak dari tidak adanya perencanaan orientasi pendidikan terhadap kualifikasi kebutuhan lapangan kerja dan wirausaha yang selaras dengan potensi sumber daya alam disekitarnya.
Sehingga tugas utama semua pihak adalah meningkatkan kualitas setiap individu baik dari pendidikan dan keahlian yang harus seiring dengan akses lapangan pekerjaan, karena peningkatan kualitas setiap individu, berarti memperluas dan membuka akses lapangan pekerjaan.
BACA JUGA: Apa Kabar Revolusi Mental?
Karena kegagalan meningkatkan kualitas setiap individu dan akses lapangan pekerjaan justru akan memberikan dampak buruk dan menimbulkan masalah berupa meningkatnya angka pengangguran, jika pengangguran semakin tinggi, maka kemiskinan akan ikut meninggi dan akhirnya menaikkan angka kriminalitas akibat tekanan ekonomi.
Sementara dengan perkembangan teknologi di era industri 4.0 menurut Future of Jobs Report dari World Economic Forum akan membuat 56% pekerja rentan kehilangan pekerjaan karena perubahan tatanan pekerjaan dan kebutuhan tenaga kerja, akibat digantikan oleh mesin dan digitalisasi.
Maka sangat penting fokus semua pihak untuk mengantisipasi lonjakan usia produktif melalui investasi sumber daya manusia yang memiliki mentalitas, attitude, keterampilan dan keahlian untuk dapat mengambil peran dalam pengelolaan sumber daya alam dan hilirisasinya.
BACA JUGA: Demokrasi Tanpa Konsepsi
Dengan mendorong orientasi pendidikan tidak hanya memfokuskan peserta didik untuk berkompetisi untuk menjadi apparatur PNS, BUMN atau mencari pekerjaan semata, tetapi melahirkan dunia usaha dan menciptakan lapangan kerja untuk mengatasi lonjakan pengangguran terdidik.
Mengedepankan keterampilan dan keahlian pada hilirisasi atau pengolahan sumber daya alam, dengan memaksimalkan pertumbuhan UMKM untuk mendorong lahirnya wirausahawan berbasiskan sumber daya dan masyarakat lokal menjadi tugas yang sangat penting untuk disegerakan
Mikro Ekonomi untuk Memastikan Bonus Demografi
Untuk menghadapi lonjakan populasi maka sudah saatnya arah kebijakan dan politik tertuju pada investasi sumber daya manusia sebagai motor atau alat untuk mengelola hasil dan sumber daya alam sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi.
BACA JUGA: Runtuhnya Moralitas Sebuah Bangsa
Di sinilah peran penting semua pihak untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada keterampilan dan keahlian, pembentukan karakter dan mental wirausahawan yang mandiri sebagai pondasi menyerap tenaga produktif untuk bekerja.
Menjadi sangat penting karena rasio wirausahawan di indonesia masih kecil yakni hanya 3,1 persen dari total penduduk, dan merupakan rasio yang terkecil di Asia Tenggara, sementara data BPS 2022 menunjukkan kenaikan jumlah pekerja dari jumlah angkatan di sektor informal 60,47 persen setara 77,68 juta orang, sehingga dapat diasumsikan peningkatan populasi ternyata tidak diiringi dengan peningkatan produktivitas
Kemampun berwirausaha menjadi sangat penting karena sangat memungkinkan untuk membuka lapangan kerja dengan memanfaatkan sumber daya alam, seperti hilirisasi atau pengolahan hasil pertanian, kelautan, peternakan, perkebunan dan hasil bumi lainnya sebagai ruang penciptaan lapangan kerja dengan peluang dan tingkat serapan tenaga kerja tinggi.
Belajar dari kemampuan Indonesia selama menghadapi berbagai krisis sangat tergantung pada sector micro-ekonomi yakni pertanian, perkebunan dan UMKM, termasuk ancaman krisis pangan yang sudah sering diperbincangkan maka merupakan peluang yang sangat besar untuk melahirkan wirausahawan atau lapangan kerja di sektor mikro ekonomi.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]