Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Penyelesaian sengketa hukum di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara (Sumut) tak lagi serta merta jadi urusan aparat kepolisian. Pemerintahan adat seperti bius, kini telah diberikan wewenang untuk bisa ikut menangani hal itu, sebagaimana di masa lalu.
Demikian disampaikan Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Samosir, Tetty Naibaho, saat diskusi santai dengan sejumlah insan film di perhelatan Toba Lake Film Festival (LTFF) 6.0 yang berlangsung di Samosir, 18-19 Agustus lalu.
"Samosir sekarang ini sedang menjadi percontohan justice restoratif, dimana sengketa-sengketa hukum bisa diselesaikan lewat lembaga bius. Jadi tidak harus melalui kepolisian," kata Tetty.
BACA JUGA: Korban Mafia Tanah di Samosir Minta Kejatisu Objektif dan Profesional
Dengan pengakuan itu, lanjut Tetty, eksistensi raja-raja bius maupun tokoh-tokoh adat diharapkan semakin mengambil peran dalam kehidupan masyarakat sekaligus akan terjadi penguatan nilai-nilai kebudayaan yang memang di masa lalu sudah berlangsung.
Dengan adanya pengakuan itu, diharapkan akan lebih menata kehidupan sosial masyarakat Samosir yang memang kental dengan budaya dan adat-istiadatnya
"Barangkali hal ini bisa menjadi daya tarik dan inspirasi juga bagi insan perfilman melihatnya dari sisi sinematografis. Apalagi Kabupaten Samosir dalam beberapa tahun terakhir sedang gencar-gencarnya mengembangkan kepariwisataan," kata Tetty.
BACA JUGA: Melihat Anak-anak Samosir Beradu Akting di Panggung LTFF 6.0
Melengkapi informasi, bius merupakan konfederasi (kewilayahan) yang terdiri dari beberapa huta/kampung. Bius dipimpin raja-raja bius yang terdiri dari raja jolo (pembuka huta/kampung), pimpinan marga-marga dominan, tokoh adat.
Dengan demikian raja-raja bius kerap disebut pemerintahan konfederatif. Dalam menjalankan fungsinya, raja-raja bius mengacu kepada tatanan hukum adat dengan prinsip musyawarah.
Mengutip WKH Ypes, di masa lalu, terdapat 86 bius di Tapanuli bagian utara, yakni 4 di Silindung, 19 di Humbang Hasundutan, 40 di Toba-Balige dan 23 di Samosir. Namun sekarang, eksistensi bius berkurang secara kuantitas maupun kualitas, dimana mereka tampil cenderung sebatas peristiwa adat.