Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi ( MKMK) yang hanya mencopot Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK ) namun tetap berstatus hakim konstitusi adalah representasi dari buruknya penegakan disiplin, etika dan integritas dalam penyelenggaraan negara
Hal itu disampaikan pengamat politik, Kristian Redison Simarmata dalam keterangan tertulisnya yang diterima medanbisnisdaily.com, Rabu (8/11/2023). Menurut Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI) ini, awal polemik yang meresahkan ini adalah putusan MK yang membuat norma baru bahwa batas usia minimal warga negara Indonesia untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) tetap 40 tahun, kecuali jika yang bersangkutan pernah menjadi kepala daerah. Padahal di aturan sebelumnya 'pernah menjadi kepala daerah' itu tidak ada.
Putusan yang menjadi perhatian masyarakat karena dianggap membuka pintu bagi dinasti politik, terutama konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka.
Pasalnya, pengungat jelas menyebutkan nama keponakan Ketua MK, yaitu Wali Kota Solo Saudara Gibran Rakabuming Raka dan tergugat adalah pemerintah (presiden), yakni ipar dari Anwar usman, sehingga kesimpulan putusan ini melibatkan kepentingan keluarga Presiden Joko Widodo terpatri dalam logika masyarakat.
Apalagi dari hasil putusan ini satu-satunya pihak yang menggunakannya adalah Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden dari calon presiden Prabowo Subianto. Karena dengan putusan tersebut memberikan legalitas Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres dalam Pemilu 2024. Padahal, ia baru berusia 36 tahun dan menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Inkonsistensi MK
Dalam pertimbangan dan jalannya persidangan MKMK jelas terlihat berbagai kejanggalan dalam proses atau kronologis putusan usia Capres dan Cawapres.
Seperti inkonsistensi terhadap open legal policy. Dari 7 permohonan yang dibacakan oleh MK hari itu, salah satunya adalah permohonan uji materiil No 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan ketua umumnya Kaesang Pangarep yang juga merupakan keponakan Ketua MK Anwar Usman dan adik kandung Gibran Rakabuming Raka
Dalam permohonan ini, para pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q tersebut diskriminatif, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan maksud asli (original intent) pembentukan UUD 1945 dan Risalah Pembahasan Perubahan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa batasan usia capres dan cawapres adalah 35 tahun, bukan 40 tahun.
Selain itu, terdapat permohonan dari Partai Garuda pada perkara No. 51/PUU-XXI/2023 yang mendalilkan alasan yang sama. Dalam permohonan ini, pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni “pernah menjadi penyelenggara negara” untuk dapat mengimbangi batas usia minimal 40 tahun.
Namun, semua permohonan tersebut ditolak oleh MK dengan dalih bahwa pembatasan usia capres dan cawapres merupakan ranah dari pembentuk undang-undang (open legal policy).
BACA JUGA: Putra Jokowi Jadi Cawapres, Pengamat: Sentimen Potensi Ketidaknetralan ASN dan TNI/Polri Menguat
Hal yang berbeda terjadi pada permohonan uji materiil No. 90/PUU-XXI/2023. Tanpa adanya argumentasi hukum yang jelas, MK justru menerima sebagian permohonan mengenai batas minimal usia capres dan cawapres dengan syarat berpengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials), termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada), dengan alasan bahwa Presiden dan DPR telah menyerahkan sepenuhnya penentuan batas usia dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu kepada MK.
Putusan tersebut memperlihatkan inkonsistensi pertimbangan hukum MK dengan beberapa putusan permohonan senada. Hal ini juga menunjukkan adanya dilema penggunaan open legal policy oleh MK.
"Sungguh inkonsistensi yang sangat luar biasa, dimana lembaga hukum setinggi MK dapat mengubah pandangan hukumnya dalam hari yang sama, sehingga terlihat jelas bagaimana Mahkamah Konstitusi melakukan tebang pilih terhadap permohonan tertentu," tandas Kristian.
Bahkan, Hakim Konstitusi, Saldi Isra, secara jelas dan terang benderang menyatakan bahwa seharusnya Mahkamah Konstitusi menahan diri untuk tidak masuk ke dalam ranah legislatif (judicial restraint) dalam menentukan persyaratan batas usia minimum bagi capres dan cawapres.
Apalagi, lemahnya status hukum pemohon dalam permohonan uji materiil No. 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru / Muhammad Ayunda sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta. Karena tidak adanya penjelasan yang menyatakan kerugian konstitusional yang bersangkutan, Pemohon juga bukan orang yang sudah berusia cukup untuk menjadi calon presiden atau calon wakil presiden, bukan seorang kepala daerah, maupun anggota legislatif.
Namun argumentasi yang hanya berbasis pada kekaguman dan Fans dari Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo.
Sehingga tidak memiliki kerugian langsung, kecuali permohonan ini diajukan oleh Gibran Rakabuming Raka atau kepala daerah lainnya yang berusia di bawah 40 tahun, yang jelas kerugian konstitusionalnya dialami langsung.
Apalagi dari informasi yang beredar bahwa gugatan yang diajukan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta Almas Tsaqibirru sempat dicabut dan masuk kembali pada hari Sabtu, 14 Oktober 2023 yang jelas d iluar hari kerja dari Mahkamah Konstitusi.
Terlihat jelasnya konflik kepentingan terungkap dari keterangan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang menyebutkan bahwa Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Putusan No. 29-51-55/PUU-XXI/2023 dihadiri oleh seluruh Hakim MK kecuali Anwar Usman selaku Ketua MK. Hasilnya, para hakim bersepakat untuk menolak permohonan ini, dengan dua hakim yang memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Namun, pada permohonan uji materiil No. 90-91/PUU-XXI/2023, Ketua MK hadir dalam RPH sehingga beberapa hakim mendukung model alternatif yang dimohonkan pemohon, yang secara jelas menggambarkan terjadinya nya konflik kepentingan dalam tubuh MK. Ini karena permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023 jelas menyebutkan nama keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai inspirasi pemohon dalam mengajukan permohonan uji materil terhadap ketentuan batas usia capres dan cawapres.
Padahal Pasal 17 ayat 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
Yang terjadi justru Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang permohonan uji materiil UU Pemilu tentang batas usia minimal capres-cawapres.
Yang artinya secara jelas telah mengabaikan tanggung jawab moral, etika dan Integritas untuk tidak terlibat dalam persidangan permohonan uji materil No. 90/PUU-XXI/2023.
Kegelisahan akibat putusan ini semakin meruntuhkan kepercayaan terhadap independensi MK, setelah peristiwa penangkapan Ketua MK Akil Mochtar akibat menerima Suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )
Menjadi sangat memilukan bahwa kemudian Mahkamah Konstitusi sebagai produk reformasi yang diharapkan sebagai salah satu lembaga peradilan independen untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negaranya, justru mengalami krisis kepercayaan akibat tindakan indisipliner tanpa etika serta integritas dari pimpinannya
Karena gagasan awal kelahiran MK adalah untuk menjadi penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dari kesewenang-wenangan institusi politik seperti presiden dan lembaga legislatif yang kerap berjalan secara disfungsional.
Harapan perbaikan dan terobosan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi ( MK ) ternyata juga kandas begitu saja oleh keputusan MKMK yang hanya mencopot Anwar Usman dari jabatan ketua tanpa memberhentikan dari jabatan hakim konstitusi, sehingga tidak memberikan efek jera atau pembelajaran apapun terhadap pelanggaran berat yang telah dilakukan, sehingga sangat memungkinkan peristiwa yang sama akan terulang dan terulang kembali.
Padahal seluruh sengketa Pemilihan Umum dari Pilpres, Pilkada, judical review dan lainnya berada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi, sehingga hukuman yang hanya mencopot dari jabatan Ketua MK namun tetap berstatus hakim konstitusi membuat Anawar usman tetap berada di lingkungan MK, walaupun ia tidak diizinkan mengikuti sidang Pemilu.
Menurut Kristian, kehadiran Anwar Usman sangat memungkinkan untuk mempengaruhi berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga harapan tentang independensi lembaga peradilan yang memiliki kewenangan keputusan final dan mengikat untuk menjaga hak konstitusional warga serta ruh demokrasi yang berlandaskan hukum pupus dengan sendirinya.
"Mahkamah Konstitusi sebagai harapan dari produk reformasi kini semakin padam. MK sepertinyanya telah gagal menjadi lembaga peradilan yang independen. Padahal lembaga peradilan yang independen, berintegritas dan bersih dari pengaruh apapun adalah salah satu syarat berdirinya negara demokrasi yang berlandaskan hukum," ujar Kristian.