Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Di pertengahan tahun 2017 ini banyak pusat perbelanjaan atau ritel yang terpaksa harus gulung tikar dan memilih untuk menutup tokonya lantaran sudah bukan lagi menjadi pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bergugurannya sektor ritel atau pusat perbelanjaan khususnya di DKI Jakarta ini seiring berkembangnya digital ekonomi atau e-commerce di Indonesia. Kehadiran toko online ini secara tidak langsung mengubah pola hidup masyarakat dari konvensional ke online.
Toko online yang sudah mulai menjamur ini juga secara tidak langsung memotong mata rantai, misalnya dari yang biasanya masyarakat harus mendatangi toko, dengan e-commerce bisa memesan suatu produk hanya melalui smartphone.
Menanggapi itu, Ketua bidang Ekonomi dan Bisnis Indonesia E-Commerce Association (idEA), Ignatius Untung mengatakan, banyak pusat perbelanjaan atau ritel yang tutup dikarenakan dari fungsi dari masing-masing toko konvensional itu sendiri.
"Jadi gini, kalau bicara ritel tadi pagi juga saya diskusi ditanya mal-mal pada sepi benar atau tidak. Kata saya ada dua, karena mal itu ada dua macam atau pusta perbelanjaan kita sebutnya, jadi ada pusat perbelanjaan yang memang orang cuma buat beli," kata Untung di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (26/10/2017).
Yang dimaksud dengan pusat perbelanjaan hanya untuk beli, Untung menjelaskan, toko tersebut hanya memiliki konsep sebagai tujuan bagi masyarakat yang ingin membeli produk apapun tanpa memandang merek.
"Yang kaya gitu berguguran, karena kalau sekedar fungsi lewat online kita tinggal lihat tidak perlu macet-macetan, macet Jakarta luar biasa, belum lagi cari parkir dan segala macam, itu jadi orang oh saya punya pilihan dari online, dan online pun sekarang untuk fesyen itu kan harus dicobain dan dia sampai dianterin 3 kamu coba dulu mana yang mau diambil sisanya kita bawa pulang, yang begitu juga sudah dilakukan di online," papar Untung.
Tipe pusat perbelanjaan selanjutnya, adalah yang fungsinya sebagai tempat cuci mata bagi masyarakat atau hanya sekedar menghabiskan waktu akhir pekan. Sehingga, datang ke pusat perbelanjaan bukan hanya untuk membeli produk-produk yang dijual.
"Jadi memang orang Indonesia kan ya ngadem, orang eropa weekend ke taman karena udaranya enak, kalau di Indonesia taman bagus kaya apa juga disuruh ke taman panas-panas ogah juga kan, akhirnya ke sana untuk ngadem, mal yang seperti itu harusnya sih tidak akan turun biarpun beberapa kategori mungkin penjualannya akan turun, tapi makanan sudah pasti tidak, delivery bisa tapi orang lebih ingin mendapat experience-nya," jelas dia.
Dengan demikian, Untung memberikan saran kepada para pengelola pusat perbelanjaan untuk lebih melek terhadap perkembangan teknologi.
Dia mencontohkan, seperti halnya pusat perbelanjaan di China yang mana isinya lebih banyak pramuniaga dibandingkan pengunjungnya. Hal itu, dikarenakan pusat perbelanjaan telah mengadopsi penjualan secara online.
"Saya inline dengan bu Ani (Sri Mulyani) untuk lebih banyak mendengar, mendengar itu artinya apa, mendengar itu untuk kepentingan kita juga, ya kalau mall kadang-kadang gini, ketika bisnis digital naik itu ada perusahaan yang core business-nya offline itu merasa kompetitor dan enggak usah didengarin," jelas dia.
"Terus akhirnya sudah kalau mulai terganggu baru, contoh gini taksi konvensional itu bisa terganggu seperti ini karena pas Gojek, Grab, Uber masuk pertama kali dianggap udahlah enggak akan ganggu itukan kecil, coba sekarang masih bisa ngomong enggak, sudah enggak bisa, jadi harus mau mendengar ketika belum terjadi, kita harus bisa melihat ini akan mengancam atau tidak, jadi karakternya tidak terduga, awalnya underestimate tiba-tiba lho kok cepat dan berbalik keadaannya," tukas dia. (dtc)