Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MedanBisnis - Jakarta. Sejumlah toko ritel modern menutup gerainya tahun ini. Sebut saja 7-Eleven, Matahari di Pasaraya Blok M dan Manggarai, serta yang terkini adalah Lotus Department Store.
Selain itu, akhir tahun ini, gerai Debenhams di Senayan City bakal tutup. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, mengatakan sektor ritel modern sendiri berkontribusi pada pembukaan lapangan kerja langsung untuk sekitar 4 juta orang.
Nah, jika toko ritel pada berguguran, bisa dibayangkan bagaimana dampaknya bagi para pekerja di sektor ini.
"Kontribusi ritel itu kan 4 juta orang yang bekerja di dalamnya. Artinya kalau sampai banyak yang tutup, akan banyak orang kehilangan pekerjaan," kata Roy, Jumat (27/10).
Selain itu, jika banyak toko modern yang tutup, implikasinya bisa membuat perputaran uang di pusat perbelanjaan ikut meredup. "Otomatis banyak yang tutup, enggak bisa lanjutin sewa," tuturnya.
Roy menjelaskan, ritel yang mengalami kelesuan sendiri kebanyakan di segmen fashion. Itu pun tak semuanya mengalami penurunan penjualan. Selain itu, penutupan beberapa gerai ritel juga dilakukan karena strategi memperkuat bisnis.
"Jadi bukan karena online, kalau dikatakan karena pergeseran perilaku konsumen iya. Orang mengurangi belanja. Hanya beberapa saja kan yang ritel tutup. Buka-tutup toko sudah biasa, sudah diperhitungkan. Kaitannya ini terkait pengaturan atau redefinisi ulang toko, diformat ulang penjualan ritelnya," ujar Roy.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, menjelaskan sektor ritel sendiri sebenarnya sudah mengalami kelesuan sejak 2014. Hal itu bisa dilihat seberapa ramai ritel-ritel modern di sejumlah pusat belanja.
"Ritel sebenarnya sudah lama bergejolak. Sejak 2014 itu kita lihat penjualan puncak itu pas Lebaran bisa sampai naik 38%, tapi Lebaran lalu sekitar 5% saja naiknya. Karena apa? Ada kontraksi daya beli, khususnya di perkotaan. 40% masyarakat berpendapatan menengah bawah pendapatannya turun. Sementara 20% masyarakat berpendapatan tinggi, menahan belanja karena ada pergeseran konsumsi, dan takut kebijakan pajak," tandas Bhima. (dtf)