Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pansel Capim KPK setuju dengan pernyataan Presiden Jokowibahwa pemberantasan korupsi jangan hanya diukur dari jumlah kasus dan jumlah orang dipenjarakan, tetapi diukur dari berapa potensi korupsi yang bisa dicegah dan potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Meski begitu, bukan berarti penindakan dihilangkan.
Menurut Ketua Pansel KPK, Yenti Ganarsih, pandangan Presiden tersebut memang sudah menjadi pemikiran Pansel selama ini.
"Kita sejalan dengan pandangan Presiden. Bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi itu bukan OTT yang banyak. Justru semakin banyak OTT, kita gagal dalam pencegahan korupsinya," kata Yenti dalam perbincangan, Minggu (18/8/2019).
Meski begitu, dia menggarisbawahi bahwa pernyataan yang disampaikan Jokowi itu bukan berarti KPK tidak boleh melakukan penindakan sama sekali. Penindakan tetap diperlukan.
"Penindakan tetap. Tapi pencegahan harus digenjot supaya uang negara tidak dikorupsi," tutur Yenti.
Yenti mengatakan, masih maraknya korupsi setelah OTT banyak dilakukan menandakan penindakan selama ini belum menimbulkan efek jera. Oleh karenanya, lanjut dia, harus ada peningkatan sistem pemberantasan korupsi.
"Jadi harusnya orang tidak korupsi bukan karena takut ditangkap, tapi karena sistem yang tidak memungkinkan atau meminimalisir potensi korupsi itu. Di situlah pencegahannya," kata Yenti.
Selain itu, kata Yenti, pihaknya juga mengamini pernyataan Presiden Jokowi bahwa pencegahan korupsi juga tidak boleh menggangu keberanian berinovasi. Menurutnya, penegakan hukum pidana memang harus hati-hati agar jangan sampai kontraproduktif.
"Misalnya, saking takutnya, anggaran jadi tidak terseerap. Di sisi lain harusnya ya nggak usah takut selama melakukannya sesuai koridor. Jadi ini akan kita evaluasi, termasuk apakah ada penegakan hukum yang overaction yang menyebabkan hal tersebut," ujar Yenti.
Lebih jauh, Yenti mengatakan, tantangan KPK ke depan salah satunya adalah tentang profesionalisme yang terkait dengan kemampuan teknis penegakan hukum itu sendiri. Misalnya, bagaimana agar tidak terjadi lagi penundaan penyidikan yang terlalu lama.
"Biasanya kalau korupsinya bersama-sama, seharusnya semua pelakunya naik (penyidikan dan sidang) bersama-sama," ujar Yenti memberi contoh penanganan korupsi Garuda dan Pelindo II.
Profesionalisme hukum itu, kata Yenti, termasuk dalam hal pengumuman tersangka korupsi ke publik. "Jangan bilang nanti bulan depan ada tersangka, nanti kalau gagal gimana, dan sebagainya," kata Yenti.(dtc)