Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Kejaksaan Agung (Kejagung) angkat bicara terkait isu adanya jual beli terkait penerapan restorative justice atau keadilan restoratif yang disinggung LPSK terkait kasus Kemenkop UKM. Kejagung menegaskan penerapan restorative justice harus dipenuhi berbagai syarat, Kejagung menegaskan kasus pemerkosaan tidak bisa dilakukan restorative justice.
"Terkait dengan pemberitaan berbagai media tentang adanya praktik jual beli keadilan restoratif (restorative justice) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyinggung kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung perlu memberikan klarifikasi dan pemahaman kepada masyarakat agar pelaksanaan keadilan restoratif (restorative justice) demi penegakan hukum humanis tidak tercoreng dengan pemberitaan yang minor dan tendensius walaupun secara spesifik tidak menunjuk langsung kepada lembaga Kejaksaan," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Rabu (18/1/2023).
Ketut mengatakan penerapan restorative justice oleh Kejaksaan dilakukan dengan syarat adanya upaya perdamaian dari kedua pihak dan korban atau keluarganya memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana. Selain itu, restorative justice yang dilakukan Kejaksaan dilakukan dalam perkara yang sudah tahap II.
Ketut mengatakan ada persyaratan yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 antara lain, (1) pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis); (2) ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun; (3) kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp2.500.000; (4) dan yang paling penting tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat. Ia menyebut kasus pelecehan seksual dan kasus pemerkosaan tidak bisa dihentikan dengan restorative justice.
"Dari persyaratan tersebut, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif," kata Ketut Sumedana dalam keterangannya, Rabu (18/1/2023).
Selain itu, kasus pemerkosaan mengakibatkan traumatis berkepanjangan terhadap korban juga berdampak luas kepada masyarakat.
Kejagung menyatakan pihaknya terbuka dengan kritik dan saran terhadap pelaksanaan restorative justice dalam rangka pengawasan terhadap kinerja Kejaksaan. Ia berharap masyarakat juga melaporkan jika ada dugaan penyalahgunaan wewenang terkait penerapan restorative justice.
"Kami berharap jika masyarakat menemukan adanya tindakan indisipliner, ketidak profesionalan, penyalahgunaan kewenangan dan tindakan-tindakan tercela yang dapat mencederai rasa keadilan dan mengganggu berbagai kegiatan masyarakat, mohon kiranya dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan. Apabila laporan tersebut mengandung kebenaran, kami pastikan akan ditindak dan tidak segan-segan akan dipidanakan. Sebab penegakan hukum humanis yang kami tunjukkan kepada masyarakat jangan sampai disalahgunakan," katanya.
Ketut mengatakan penerapan keadilan restoratif (restorative justice) memperoleh pengakuan dan penghargaan internasional. Selain itu dampak restorative justice di masyarakat disebut sudah mengurangi resistensi di masyarakat, memberikan efek jera sebagai sanksi sosial di masyarakat, serta dapat mengurangi biaya yang tinggi dalam penegakan hukum.
"Oleh karenanya, penerapan keadilan restoratif (restorative justice) harus kita jaga bersama demi penegakan hukum yang lebih baik dan humanis," katanya.
Ketut menyebut penerapan keadilan restoratif (restorative justice) diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan ketentuan hukum acara yaitu Pasal 139 dan 140 KUHAP, yaitu Penuntut Umum mempunyai kewenangan dominus litis terhadap perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P.21) dan telah dilaksanakan Tahap II oleh Penyidik.
Kewenangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf c yaitu "turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya". Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 34A yaitu "untuk kepentingan penegakan hukum, Jaksa dan / atau Penuntut Umum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan kode etik".
LPSK Singgung Kasus Perkosaan di Kemenkop
Sebelumnya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkapkan masih ada praktek jual beli restorative justice. Praktek itu menyebabkan suatu perkara pidana jadi berhenti diproses.
"Praktek itu masih berlangsung, berawal dari restorative justice kemudian damai kemudian pidananya berhenti," kata wakil ketua LPSK, Edwin Partogi.
Edwin tak menampik salah satu praktek nya ada di kasus pemerkosaan pegawai Kemenkop UKM. Dia menyebut ada sesuatu di balik perdamaian kasus tersebut.
"Ya iya (kasus pemerkosaan di Kemenkop) kenyataannya seperti itu ada sesuatu dari perdamaian itu," ujarnya.
Edwin menyampaikan masih banyak praktek jual beli restorative justice yang terjadi pada kasus-kasus lainnya. Seperti pemerkosaan oleh enam pria di Brebes yang berujung damai.
Ya banyak, ada kasus Brebes ya," tuturnya.
Menurut Edwin harus ada landasan hukum yang kuat agar penggunaan restorative justice bisa lebih jelas. Dia menyebut yang paling ideal yakni dengan membuat Undang-undang atau paling tidak dibuat peraturan bersama.
"Maksud saya situasi-situasi seperti itu harus ada kejelasan, kebijakan mana yang restorative mana yang tidak, kalau tidak ada kejelasan ya itu hanya jalan untuk jadi praktek restorative justice aja," ucapnya.
"Yang paling ideal harus ada UU, kalau di bawah, ada peraturan pemerintahnya atau peraturan bersama," imbuhnya.(dtc)