Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SEBUAH negara perlu memiliki sebuah dasar atau fondasi. Dengan adanya sebuah fondasi yang jelas dan kokoh, maka sebuah negara akan dapat melangsungkan kehidupan dalam negaranya dengan baik, aman, dan teratur.
Dengan adanya fondasi yang jelas dan kokoh, kehidupan bernegara masyarakatnya pun dapat terarah dengan jelas. Tanpa adanya sebuah fondasi yang kokoh, sangat jelas negara tersebut kemungkinan tidak akan bertahan lama.
Bagaimana dengan Indonesia? Para leluhur kita, pastinya sudah mempersiapkan hal tersebut. Para leluhur kita sudah memikirkan bagaimana nasib bangsa yang telah mereka perjuangkan selama ini agar tidak menjadi negara yang sia-sia di mata dunia, dan tidak menjadi sebuah negara sementara yang hanya timbul sejenak lalu hilang dalam sekejap mata. Mereka punya harapan dan impian yang begitu tinggi bagi bangsa kita.
BACA JUGA: Nomophobia: Sakau Abad 21
Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merupakan sebuah badan yang disiapkan oleh Jepang untuk bisa mengambil hati para masyarakat agar percaya kepada pemerintah Jepang. Nyatanya badan ini sejatinya ditujukan sebagai boneka permainan Jepang. Kalau bisa dibilang, ingin memberikan kemerdekaan palsu kepada Indonesia.
Tetapi para leluhur kita kenal betul bagaimana ‘permainan’ Jepang selama di Indonesia. ‘Permainan’ Jepang itu tidak pernah membuat semangat mereka membara untuk memikirkan Indonesia.
Selama 3 hari berturut-turut BPUPKI menjalankan pertemuan para pendiri negara justru membahas dasar negara Indonesia. Mereka bersusah payah memikirkan sebuah fondasi bagi sebuah negara, agar sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, dan dapat menjadi sesuatu yang abadi.
Dan pada akhirnya, tanggal 1 Juni 1945, berdasarkan pidato Soekarno tentang 5 dasar negara, hadirlah sebuah nama yaitu Pancasila. Sebuah nama yang sangat dikenal, oleh setiap kita.
BACA JUGA: Menjaga Api Kebangkitan Nasional
Sebuah nama yang selalu dikumandangkan dalam setiap upacara. Sebuah nama yang kemudian menjadi dasar negara bagi negara yang kemudian dikumandangkan kemerdekaannya, berselang dua bulan kemudian.
Jika para pendiri negara telah memikirkan baik-baik dasar negara itu dalam situasi yang sebenarnya sulit bagi mereka, lalu saat kini, apakah kita sudah mengimplementasikan makna dari Pancasila itu sendiri? Benarkah setiap butir moral dari Pancasila itu merupakan gambaran kehidupan bermasyarakat kita kini?
Mari kita kaji penerapan sila pertama. Sulit untuk menolak bahwa di negeri ini kita memeluk agama yang sah secara bebas. Tetapi sulit juga untuk menolak bahwa ruang mendirikan rumah ibadah tidaklah begitu luas.
Masih ada kelompok yang merasa kesulitan untuk membangun rumah ibadahnya sendiri sebagai sebuah ekspresi bagi keyakinannya pada Tuhan Yang Esa.
Padahal semua agama telah diakui oleh negara, dan semua memiliki agama yang harusnya dilindungi dengan baik oleh negara dan oleh kita semua, sesama pemeluk agama.
Merujuk kepada kemanusiaan yang adil dan beradab, kita bisa melihat penerapannya dari masih banyaknya masalah kemanusiaan di negeri kita. Orang miskin, kelaparan, kekerasan pada sesama, bahkan kejahatan kemanusiaan, masih saja marak.
Orang mudah bertindak egois kepada orang lain seperti tidak punya lagi nurani kemanusiaan. Dimana-mana mudah menemukan ekspresi kekerasan pada sesama, sesama anak bangsa padahal yang semestinya saling membela.
Tentang sila ketiga, tidak usah dibantah bahwa banyak hal yang bisa membawa kita pada perpecahan, khususnya ketika berbicara mengenai keberagaman.
BACA JUGA: Sepak Bola, Emas SEA Games 2023 dan Bangganya Indonesia
Alih-alih menjaga persatuan dengan adanya keberagaman suku dan budaya, kerap kali kita melihat banyak oknum yang menjadikan suku sebagai alat untuk memecah-belah bangsa ini. Kesukuan seolah pembenaran untuk membedakan sesama warga bangsa ini.
Musyawarah untuk mufakat sebenarnya khasnya para pendiri negeri ini. Namun demokrasi mengabaikan hal itu. Saat ini yang diadopsi adalah demokrasi suara terbanyak.
Pun di dalam kehidupan paling kecil sering sekali kita sulit berdialog. Maka berbagai macam pertengkaran dan selisih, bermuara pada win or lose solution. Kekalahan lawan atau pihak lain dianggap kemenangan. Padahal esensi musyawarah adalah kemenangan bersama.
Sila kelima, keadilan sosial. Kita pun tak luput dari ketidakadilan dalam negeri ini. Kesenjangan antara kaya dan miskin semakin lebar. Mereka yang pamer kemewahan seolah memiliki akses lebih di negeri ini. Keadilan yang diidam-idamkan dalam menghadapi kasus hukum pun sulit didapatkan banyak pihak.
Berdasarkan beberapa contoh konkrit di atas, di sini peran pemerintah terlihat harus lebih kuat dan jelas. Pemerintah harus mampu membuat contoh yang benar dalam pengimplementasian butir-butir Pancasila.
BACA JUGA: Ancaman Learning Loss
Pemerintah harus mampu melatih diri untuk tegas terhadap tindakan yang berusaha menyelewengkan atau melanggar butir-butir dari Pancasila. Pemerintah harus terus menggencarkan kegiatan-kegiatan yang mampu menumbuhkan rasa ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.
Jika pemerintah bisa menjadi teladan, apalagi masyarakat. Masyarakat akan menjadikan pemerintah sebagai rujukan.
Inilah refleksi Hari Lahirnya Pancasila yang ternyata begitu penting dan agung. Kita tidak ingin Pancasila hanya menjadi sebuah monumen yang kita simpan begitu saja.
Bukan itu yang diinginkan oleh para pendiri negara ini. Yang mereka idamkan adalah sebuah negeri dimana butir-butir Pancasila menjadi darah daging setiap anak bangsa.
Yang ingin mereka lihat adalah pengimplemetasian setiap butir Pancasila dalam kehidupan warga negara. Apa yang telah diperjuangkan dan dipikirkan oleh leluhur kita, untuk kehidupan kita bersama yang lebih maju kedepannya, itulah yang seharusnya dengan sungguh-sungguh kita lakukan saat ini.
====
Penulis alumni SMA Methodist 5 Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: redaksimbdmedanbisnisdaily.gmail.com