Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Indonesia tidak lagi masuk dalam daftar 10 besar negara penyumbang emisi gas rumah kaca. Hal ini disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof Dwikorita Karnawati dalam Diskusi Temu Bisnis dan Forum Investasi yang bertajuk "Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim" di gedung University Club UGM, Jumat (9/6/2023) lalu.
Klaim tersebut didapatkan setelah keluarnya hasil pemantauan alat Global Greenhouse Watch yang memonitor gas rumah kaca. Hasil tersebut menjelaskan bila emisi yang dihasilkan gas rumah kaca Indonesia berada di bawah rata-rata global.
10 Negara Penyumbang Gas Rumah Kaca Terbesar
Dwikorita menjelaskan tahun lalu Indonesia masuk dalam daftar sepuluh besar penghasil rumah kaca di dunia dan bukan menjadi hal yang patut dibanggakan. Namun dengan pemantauan ulang, rata-rata emisi gas rumah kaca Indonesia ternyata di bawah global dan bisa dikontrol lebih lanjut.
Global Greenhouse Watch memang dipasang di seluruh dunia sebagai pengawas atmosfer global. Di Indonesia, alat ini dipantau oleh BMKG.
"Tugasnya memonitor gas rumah kaca penyebab utama terjadinya pemanasan global. Kita diharapkan nantinya bisa memahami secara mendalam dimana sumber gas rumah kaca di tingkat lokal. Saya kira perlu keterlibatan perguruan tinggi untuk memantau dan menganalisis," ujarnya dikutip dari laman resmi UGM, Sabtu (10/6/2023).
Mengutip laman World Population Review, 10 negara dengan emisi gas rumah kaca terbesar 2023 yaitu:
1. Cina
2. Amerika Serikat
3. India
4. Rusia
5. Jepang
6. Jerman
7. Korea Selatan
8. Iran
9. Kanada
10. Arab Saudi
Dampak Meningkatnya Emisi Gas Rumah Kaca
Emisi gas rumah kaca terdiri atas senyawa CO2, CH4, dan N2O yang memiliki kecenderungan bisa meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Meningkatkan emisi gas rumah kaca dapat berdampak dalam perubahan iklim.
Sedangkan perubahan iklim sendiri dapat menimbulkan dampak kestabilan ekonomi dan politik dunia, bukan hanya dampak pandemi dan perang. Salah satu fenomena perubahan iklim yang terus terjadi adalah pemanasan global.
Pemanasan global dengan kenaikan suhu bumi 1-2 derajat celcius bisa mengakibatkan bencana kekeringan dan banjir di belahan dunia. Selain itu, ketersediaan sumber daya air yang makin rendah ikut menjadi fenomena lainnya.
"Diprediksi oleh FAO pada tahun 2050 sekitar 500 juta petani yang menghasilkan 80 persen produk pangan global akan kena dampak, kelaparan dimana-mana, nanti tidak ada negara yang bisa saling menolong, karena kekurangan pangan masing-masing," tambah Dwikorita.
Untuk itu, Dwikorita menjelaskan perlu dilakukannya mitigasi untuk memantau pembuangan emisi gas rumah kaca dan mitigasi perubahan iklim agar dampak pemanasan global bisa dikurangi.(dte)