Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Pemerintah diminta meninjau-ulang penetapan kawasan hutan di tiga desa Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), Sumut, yakni, Naga Kisar, Lubuk Saban keduanya di Kecamatan Pantai Cermin, dan Sei Nagalawan di Kecamatan Perbaungan. Hal itu perlu disampaikan mengingat hingga kini masih berlangsung sengketa lahan, khususnya di Naga Kisar, tempat beroperasinya tiga perusahaan lokal dan satu perusahaan asing.
"Kami berharap pemerintah juga memikirkan dampak dari sengketa lahan yang belum kunjung tuntas hingga saat ini. Sebab telah berdampak pada terancamnya kehilangan mata pencarian ribuan kepala keluarga yang umumnya bertani di ladang perkebunan dan ladang serta tambak," kata Koordinator Lapangan Yayasan Apindo Sumatera Utara (YASU), Jeremy Sebastian Sembiring SH dalam keterangan tertulisnya kepada media, Senin (12/10/2020)
Menurut Jeremy, pangkal munculnya sengketa yang sudah berlangsung hampir 2 tahun ini diduga karena pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No SK.5434/Men LHK-PSKL/PKPS/PSKL/PKPS/PSL0/8/2018 tanggal 28 Agustus 2018, tentang Pemberian
IUPHKm (Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan) kepada Gopaktan (Gabungan Kelompok Tani) Naga Jaya seluas 261 ha.
"Dari catatan kami dari 261 hektar itu 220 hektar di antaranya adalah hutan lindung dan 41 hektar hutan produsi. Namun kenyataannya, pihaknya benar-benar tidak menemukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud, baik di Desa Naga Kisar, Desa Lubuk Saban, dan Desa Sei Nagalawan," kata Jeremy.
Hal sama disampaikan mantan tokoh masyarakat setempat Manaman Simbolon yang orang tuanya sudah mengusahai lahan di Naga Kisar sejak tahun 1960-an. Begitu juga Suprat Yono (66) mantan kepala desa Naga Kisar, dan Asmunir keluarga dari almarhum kakek yang makamnya berada di Naga Kisar sejak tahun 1918.
Saksi utama Asmunir mengakui, kakek buyutnya sudah berada di Naga Kisar pada permulaan abad ke-19 dan bermukim bersama penduduk setempat. Dari data yang ada, dulunya Naga Kisar adalah tanah ulayat. Tidak ada sama sekali kawasan hutan," kata Asmunir. Manaman Simbolon dan Suprat Yono mengaku mereka mengatakan pada era 1960-an hingga 1990-an tidak menemukan sebatang pun pohon hutan atau wilayah hutan.
Atas pertimbangan fakta-fakta itu, Koordinator Lapangan YASU Jeremy Sebastian Sembiring meminta pemerintah meninjau kembali izin No SK.5434/Men LHK-PSKL/PKPS/PSKL/PKPS/PSL0/8/2018 tanggal 28 Agustus 2018, tentang pemberian IUPHKm kepada Gopaktan Naga Jaya seluas 261 ha. Dia juga menyayangkan, penerbitan izin itu diberikan langsung kepada Gapoktan Naga Jaya yang bukan mewakili warga di Naga Kisar. Bahkan dikabarkan sudah memberikan kuasa kepada salah satu aliansi nelayan untuk meneruskan kebijakan itu.
"Kami sangat sayangkan kondisi ini, dan perlu disampaikan bahwa ada tiga perusahaan lokal yakni PT Lubuk Saban, PT Lubuk Kisar Rona Mas, dan PT Lubuk Kisar, semuanya bergerak di bidang usaha pertambakan yang memiliki legalitas," katanya.
Dan yang lebih utama, sambung Jeremy, di sana juga ada investasi asing PT Aqua Farm yang memperkerjakan lebih 2.500 tenaga kerja, serta ribuan lainnya di tiga perusahaan itu.
"Ketiganya sudah menyampaikan keluhan. Jika sengketa lahan tak teratasi, maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran," katanya.
Ia menambahkan, PHK itu benar-benar bisa terjadi karena sebagian besar lahan mereka sudah diklaim oleh Gapoktan Naga Jaya sebagai kawasan cocok tanam mangrove (bakau) mereka.
"Dengan kondisi seperti ini di tengah pandemi covid-19, maka ancaman PHK sungguh menambah beban masyarakat dan ini tidak sejalan dengan keinginan dan kebijakan pemerintah untuk membantu menyelamatkan rakyat kecil," katanya.