Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Medan. Ketua Umum DPP Partuha Maujana Simalungun (PMS), Sarmedi Purba menegaskan bahwa wilayah Simalungun tidak mengenal wilayah tanah adat. Menurutnya, semua tanah adalah milik raja.
Penegasan itu disampaikan Sarmedi menanggapi klaim sejumlah komunitas adat tentang kepemilikan tanah adat di Simalungun. Menurutnya, klaim tersebut mengada-ngada dan tidak didukung fakta sejarah.
"Pejabat partuanon di Simalungun harus memiliki garis keturunan raja/ningrat. Tidak pernah ada partuanon bermarga Ambarita. Marga Ambarita dan marga Siallagan merupakan pendatang di bumi Simalungun," kata Sarmedi pada rapat pengurus harian Dewan Pimpinan Pusat Partuha Maujana Simalungun (DPP PMS), Sabtu, (7/8/2021), di Siantar Hotel Pematang Siantar, sebagaimana keterangan tertulis yang diterima medanbisnisdaily.com, Minggu (8/8//2021).
Sebagaimana diberitakan, ada 2 komunitas yang mengklaim memiliki wilayah adat yang berada di Kabupaten Simalungun, dimana juga terjadi perusakan lingkungan.
Komunitas pertama menamakan diri Keturunan Opung Mamontang Laut bermarga Ambarita. Mereka mengklaim memiliki wilayah tanah adat seluas 1.948 ha di kampung Sihaporas, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Komunitas kedua bernama Keturunan Opung Umbak Siallagan. Mereka mengklaim memiliki wilayah tanah adat seluas 851 ha di kampung Utte Anggir, Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun.
Komunitas yang pertama mengaku bahwa nenek moyangnya, yaitu Opung Mamontang Laut Ambarita yang membuka perkampungan di Sihaporas. Opung Mamontang Laut berasal dari kampung Lumban Pea Ambarita, Kecamatan Simanindo di Pulau Samosir. Disebutkan, sekitar tahun 1800, Opung Mangontang merantau ke daerah Sihaporas untuk merintis pekampungan (mamukkah huta). Saat itu daerah Sihaporas berada di bawah kekuasaan Raja Siantar bermarga Damanik. Saat ini mereka merupakan generasi ke-11. Selanjutnya komunitas ini mengklaim bahwa Sihaporas merupakan sebuah wilayah partuanon dan Opung Mamontang merupakan Tuan Sihaporas yang pertama.
Sedangkan komunitas kedua menyebut bahwa nenek moyangnya Opung Umbak Siallagan berasal dari Huta Siallagan, Ambarita, kecamatan Simanindo, Pulau Samosir. Opung Umbak Siallagan meninggalkan kampung halamannya sekitar tahun 1700 dan menyeberangi Danau Toba merantau ke wilayah tanah Simalungun. Selanjutnya Opung ini berdiam di Huta Utte Anggir dan membuka lahan perladangan.
Disebutkan, daat itu daerah Utte Anggir berada di bawah kekuasaan raja Tanah Jawa bermarga Sinaga. Di kemudian hari, keturunan Opung Umbak Siallagan mengklaim bahwa daerah Utte Anggir merupakan wilayah tanah adat milik marga Siallagan
Sarmedi dengan keras menyangkal klaim komunitas ini. Dengan wajah serius, ia menilai klaim ini mengada-ngada dan tidak didukung fakta sejarah.
Dr Corry, salah seorang Ketua DPP PMS yang juga Rektor Universitas Simalungun menguatkan pernyataan ini. Universitas Simalungun telah mengadakan seminar tentang wilayah atau tanah adat di Simalungun. Para pembicara di seminar merupakan akademisi dan pakar dari berbagai bidang disiplin ilmu termasuk ahli sejarah. Hasil seminar menunjukkan bahwa Simalungun tidak mengenal wilayah tanah adat.
Pelestarian Lingkungan
Sarmedi menegaskan bahwa PMS sangat mendukung upaya pelestarian lingkungan dan akan mengadakan perlawanan apabila terjadi pengrusakan lingkungan. Namun tidak dapat dibenarkan jika ada kelompok atau komunitas masyarakat melakukan manipulasi sejarah dengan mengaku sebagai partuanon dan pemilik wilayah adat.
DPP PMS akan meminta dukungan pewaris 7 kerajaan Simalungun untuk memperkuat pendapat PMS dalam waktu dekat.
Untuk lebih menegaskan pernyataan ini, rapat DPP PMS ini memutuskan bahwa pengurus harian sesegera mungkin melayangkan surat kepada Presiden Jokowi dan Ketua DPR RI untuk tidak menerima pihak-pihak yang melakukan manipulasi sejarah dengan mengklaim dirinya memiliki tanah wilayah adat di Simalungun.