Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BEBERAPA waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mengungkapkan bahwa ada sebanyak 9,9 juta generasi Z di Indonesia yang tidak sedang kuliah dan sedang tidak bekerja. Lalu, banyaknya analis yang menilai bahwa hal ini merupakan wujud dari kegagalan Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi, rendahnya mutu tenaga kerja terampil, tidak sesuainya pendidikan dengan kebutuhan perusahaan dan lain sebagainya.
Sementara itu, sebagian lagi masih tetap optimis lantaran banyaknya pekerja di sektor informal yang sebenarnya tidak terdata, seperti jasa jual-beli online, freelance, content creator, ojek-online dan lain sebagainya.
Meskipun demikian, banyak pula karyawan dari Gen Z yang harus melepaskan idealismenya, bekerja di sektor sewa guna usaha, staf bagian penjualan dan tentor di bidang pendidikan. Sebagian besar lagi menjalakan aktivitas di tengah-tegah keluarga.
Tak ayal, cukup banyak pula yang berjuang melamar pekerjaan. Ada yang telah berusaha belasan, puluhan bahkan hingga ratusan kali memberikan lamarannya. Namun, tak satupun undangan interview diperoleh. Akibatnya, ada pula yang memilih mengakhiri masa lajang dengan menggantungkan perekonomian pada salah-satu pihak khususnya suami. Sebagian lagi memilih menikmati hari-hari di rumah.
BACA JUGA: Mobile Legends dan Generasi Milenial
Di tengah hiruk-pikuk ini, agaknya segenap pihak, khususnya Gen Z jangan sampai terjebak di dalam peliknya upaya pencarian pekerjaan. Meski harus diakui, perekonomian nasional tampaknya sedang tidak baik-baik saja, khususnya semenjak menguatnya keinginan pemerintah untuk menjalankan program Tapera, dengan adanya pemotongan upah di kalangan ASN dan pekerja di sektor swasta.
Serta, penataan perekonomian nasional yang cenderung neolib, membuat menguatnya posisi tawar para pengusaha dibandingkan masyarakat kecil, termasuk pedagang-pedagang eceran, buruh dan para petani.
Maksudnya, jangan sampai kita melupakan soal arti pentingnya hidup dibandingkan arti pentingnya perjuangan untuk memperoleh pekerjaan itu sendiri.
Untuk mencermati pemahaman sebelumnya, mari kita berrefleksi sebentar dengan pertanyaan berikut; mana yang lebih tinggi hirarki ontologisnya, antara hidup atau bekerja?
BACA JUGA: Memahami Cinta dan Kematian
Tentu bagi kita seluruhnya, hidup jauh lebih luas dan dalam. Hidup tidak dapat dibeli. Hidup di bumi tidak dapat digantikan. Saya rasa, orang kaya yang anaknya meninggal, akan rela memberikan seluruh hartanya agar anaknya hidup kembali. Namun, apa daya, upaya itu tidak dapat dilakukan karena memang hidup/nyawa tidak dapat dibeli.
Lalu, bagaimana dengan kerja atau pekerjaan? Saya rasa, pekerjaan hanyalah bagian kecil dari hidup. Kerja atau pekerjaan bukan segalanya. Pekerjaan dapat dicari atau bahkan dibuat sendiri.
Jadi, jelas lah bahwa pekerjaan lebih rendah posisi ontologisnya dibandingkan dengan hidup. Pekerjaan di sini sebagai aktivitas yang ditawarkan dengan besaran modal tertentu (upah).
Bekerja dan Hidup
Sekarang, mari kita hubungkan kedua kategori sebelumnya, kategori bekerja dan kategori hidup. Berdasarkan kedua kategori sebelumnya, di dunia ini, paling tidak akan ada dua jenis orang. Orang yang pertama menempatkan seluruh hidupnya untuk bekerja. Sementara orang yang kedua menempatkan pekerjaan, untuk mengisi hidup.
BACA JUGA: Seorang Anak Kecil dan Kakek Tua: Sebuah Ulasan tentang Kekuasaan
Kedua hal ini jelas sangat berbeda. Orang yang menempatkan hidup untuk bekerja, adalah seorang “budak” dari pekerjaannya sendiri. Pekerjaan ditempatkan di posisi tertinggi ketimbang hidup. Pergi pagi, pulang malam. Tidur, lalu keesokan pagi berangkat lagi bekerja dan pulang malam hari. Begitu seterusnya.
Biasanya, tidak akan ada waktu istirahat, hidup dipenuhi target/tekanan, ruang imazinasi dibatasi rutinitas. Biasanya sasaran utama dari kegiatan seperti ini adalah status, fulus atau bahkan cuan.
Sementara itu, bekerja untuk hidup jauh berbeda pengertiannya. Bekerja ditempatkan di posisi bawah, sementara hidup di dalam struktur hirarkis tertinggi. Kalau ada orang yang berkata bahwa, “Saya bekerja agar bisa hidup!” ini bukan berarti pihak yang bersangkutan di dalam posisi sedang ‘Bekerja untuk Hidup’, karena subjek yang bersangkutan sedang menempatkan bekerja sebagai posisi yang tertinggi dibandingkan dengan hidup itu sendiri. Itu berarti, “Saya bekerja agar bisa hidup!” sama dengan ‘hidup untuk bekerja’ seperti pembahasan sebelumnya.
Sebaliknya, berbeda dengan ‘bekerja untuk hidup’, paradigma ini menempatkan bekerja hanyalah sebagian kecil dari kehidupan yang jauh lebih luas artinya. Bekerja untuk hidup, berarti, berada pada posisi bahwa ada suatu hal yang sedang dicari dari bekerja (biasanya fulus, namun dapat juga semangat spiritual) untuk dipakai kemudian mengisi semarak kehidupan.
BACA JUGA: Jangan Terlalu Berani Jadi Capres-Cawapres
Keputusan Terbaik
Dari pendapat di atas, bisa dipahami bahwa hidup untuk bekerja tidak lebih baik jika dibandingkan dengan bekerja untuk hidup.
Bekerja untuk hidup berarti menempatkan kehidupan jauh lebih utama daripada bekerja itu sendiri. Dengan demikian, hidup hendaknya menjadi suatu keadaan yang dapat diisi oleh subjek (manusia) secara merdeka.
Di dalam hidup, perlu bekerja, perlu beristirahat, perlu berinteraksi, perlu tertawa, perlu berlibur, perlu berdiskusi, perlu berimazinasi, perlu konflik, perlu bertanggungjawab dan ragam keperluan lainnya.
Namun perbedaannya, di dalam bekerja untuk hidup terdapat semangat kemerdekaan di dalam diri. Selain itu, diposisi demikian, orang yang menempatkan kehidupan sebagai posisi tertinggi biasanya tidak akan terprovokasi dengan keadaan sekitar, di dalam perencanaan untuk memberikan warna di dalam hidup, potensi hidupnya tersalurkan dengan sebaik-baiknya dan produktifitasnya bermanfaat bagi sesama manusia dan alam sekitar.
Inilah ciri dari orang yang bekerja untuk hidup. Kehidupan menjadi hirarki tertinggi dibandingkan dengan bekerja. Serta, terdapat hasrat terdalam yang tersalurkan karena adanya rasa kebermanfaatan yang luas bagi kehidupan.
BACA JUGA: Epikurianisme, Stoikisme dan Kekristenan Mengenai Kesenangan
Bekerjalah untuk hidup! Ini bukan soal fulus, tetapi soal kehidupan. Bekerja hanyalah Sebagian kecil dari kehidupan, bekerja bukan segalanya. Di dalam hidup perlu ada ruang untuk merealisasi imazinasi, seni, keindahan, mengharmonisasi kehidupan dengan sesama, tolong-menolong, menjaga kelestarian alam dan lain sebagainya.
Di dalam posisi ini, saya tidak sedang mengabaikan tanggung jawab pemerintah untuk memperbaiki ekonomi. Ya, tentu saja pemerintah punya andil besar untuk mengerjakan tanggung jawabnya.
Semua pihak tentu perlu mengerjakan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya, namun perlu mengerjakannya bukan sebagai budak (tersandera karena suatu hal) melainkan sebagai orang merdeka.
Saya baru pulang dari Bali beberapa waktu yang lalu. Terus terang saya lebih menghormati seorang seniman yang kelihatan sederhana namun kaya dari segi imazinasi, penghormatan terhadap alam dan keramahan bagi sesama. Inilah ciri dari orang merdeka.
Inilah ciri dari orang yang bekerja untuk hidup. Tidak seperti oknum tertentu yang menempatkan dirinya sebagai budak dari pekerjaannya dengan berlaku korup, merampok uang rakyat, dan bekerja “makan gaji buta” (bolos).
BACA JUGA: Pria Bernama Otto dan Rembulan di Tepi Parapat
Memang tidak semua orang yang work addiction (hidup untuk bekerja) makan gaji buta/korup, tetapi keduanya memiliki kesamaan dengan perilaku korup yakni dengan menempatkan cuan sebagai orientasi utama.
Keduanya, baik oknum korup dengan work addiction sama-sama mempersempit makna kemerdekaan di dalam hidup dan membatasi kepuasan hanya dengan status pekerjaan/cuan.
Itu sebabnya, sekalipun angka Gen Z yang dikabarkan tidak bekerja dan tidak kuliah, besaran angkanya cukup tinggi, sebesar 9,9 juta jiwa, namun menurut saya akan bisa lebih terhormat dibandingkan oknum berseragam yang belum tentu jujur--Konglomerat yang belum tentu jujur--lantaran melakukan KKN, merusak ekosistem dan beretika buruk terhadap pegawainya.
Selama para Gen Z produktif bagi kehidupan selama itupula dia sedang bekerja untuk hidup. Bila perlu, para Gen Z hadir menggemparkan kehidupan dengan realisasi imazinasi yang memukau bagi kebaikan alam dan sesama.
Mengisi kehidupan ini dengan ragam keindahan, yang membuat banyak pihak terpukau dan akhirnya menyadari bahwa fulus bukanlah segalanya.
Dengan demikian perlahan akan muncul kesadaran kolektif bahwa, bekerja bukan sekedar upaya mencari cuan. Upaya mencari cuan hanyalah sebagian kecil dari banyaknya warna indah di dalam kehidupan yang harus terus digali.
Lantas muncul pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan “perut” (keperluan ekonomi)? Sebab “perut” selalu menuntut untuk diisi. Sederhana! jika kita menyadari bahwa kehidupan jauh lebih penting maka, interaksi dengan sekeliling pun penuh dengan harmoni termasuk dengan alam.
Salah seorang teman saya pernah bercerita, seandainya dirinya tidak memiliki uang maka dia akan memetik ragam daun pucuk jambu untuk direbus menggantikan sayur, menanam sayur mayur, mengambil kangkung-kangkung muda dari sungai untuk direbus, atau bahkan pergi ke danau untuk memancing.
BACA JUGA: Dicari, Suasana yang 'Sepenuhnya Romantis'
Bila perlu dijajakan, ujarnya optimis. Dari hal ini jelas diperlukan adanya harmoni dengan sesama dan dengan alam sekitar dengan demikian kehidupan itu sendiri akan ikut memelihara kita manusia.
Sederhananya, semua orang memiliki modal yang bisa ditukarkan untuk mewarnai kehidupan. Modal disini sangat beragam, aneka potensi yang dimiliki (khususnya para Gen Z) untuk mendukung produktivitas yang bermanfaat bagi diri sendiri, sesama dan alam sekitar.
Karenanya mari kita manfaatkan modal itu, di dalam keadaan sebagai manusia merdeka yang penuh dengan tanggung jawab yang menggembirakan terhadap sesama, pun dengan alam sekitar.
Saya rasa, orang-orang seperti ini akan jauh lebih bahagia, merdeka dan penuh kegembiraan dibandingkan menjadi budak dari fulus hingga akhirnya melupakan arti menjadi manusia yang harus hidup. Jadi, bekerjalah untuk hidup! Beraktivitaslah untuk hidup!
====
Penulis Alumnus Magister Ilmu Politik FISIP USU, seorang pemikir filosofis, theologia dan politik.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]