Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI telah mencopot (pemberhentian tetap) 49 orang penyelenggara pemilu di Provinsi Sumut, baik dari KPU maupun Bawaslu, yang terbukti melanggar etika sejak 2012-2023.
Kemudian dalam kurun waktu 11 tahun tersebut, tercatat 700 orang lebih penyelenggara pemilu di Sumut yang disanksi DKPP, di antaranya 506 sanksi ringan, 239 teguran tertulis dan 6 orang diberhentikan sementara.
Hal tersebut diungkapkan Tenaga Ahli DKPP RI, Mohammad Saihu, dalam diskusi Ngetren Media 'Ngobrol Etika Penyelenggara Pemilu dengan Media', di Hotel Lee Polonia, Jalan Jenderal Sudirman Medan, Rabu (29/11/2023).
"Jadi sanksi dari kita, tindakan tegas dari DKPP ini merupakan amar putusan DKPP dalam persidangan penyelenggara pemilu sebagai tindak lanjut atas pengaduan masyarakat," ujar Muhammad Saihu.
Dikatakan Muhammad Saihu, Provinsi Sumut adalah provisi dengan jumlah terbanyak penyelenggara pemilu yang diadukan ke DKPP dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia di tahun 2023 .
Diungkapkan Muhammad Saihu, jumlah teradu dari Sumut sebanyak 82 orang, di antaranya 1 orang diberhentikan dari jabatan, 26 orang sanksi teguran tertulis dan 55 orang sanksi ringan.
"Kasus teradu terbanyak kedua penyelenggara pemilu, ungkap Muhammad Saihu lebih lanjut, adalah Aceh 62, Jawa Barat 38, Bengkulu 27 dan Jawa Tengah 20," ungkap Muhammad Saihu.
Dari sisi pelanggaran, yang paling banyak jenis aduan itu adalah karena pelanggaran asas, yakni tidak profesional, tidak berkepastian hukum, tidak akuntabel dan tidak proporsional.
Kemudian jenis pelanggaran berikutnya adalah tahapan, seperti penyelenggara atau adhoc, pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu dan lainnya.
Muhammad Saihu mengatakan upaya DKPP untuk menurunkan angka pengaduan terhadap penyelenggara pemilu tersebut, di antaranya bersinergi dengan jurnalis dalam memberikan pemahaman atas etika dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu
"Sebenarnya hasil sidang DKPP yang sudah tersebar oleh media, itukan bisa jadi warning bagi penyelenggara. Kita ada program sosialisasi, ada program seperti ini," ujar Saihu.
Kemudian, Saihu mengatakan jurnalis memberikan peran besar dan tingkat kepercayaan publik DKPP terus meningkat, dengan proses dilakukan DKPP terhadap penyelenggara pemilu, yang menggelar aturan dan kode etik.
"Tapi secara implisit, kegiatan yang dilakukan DKPP, terutama soal persidangan itu, kan dibaca juga oleh masyarakat, oh ternyata yang terjadi di DKPP seperti ini," jelas Saihu.
Saihu mengungkapkan apa diberitakan terkait amar putusan terhadap penyelenggara pemilu memberikan efek luar kepada oknum-oknum teradu tersebut, sehingga akan memberikan dampak yang baik.
"Kan orang akan membaca dan itu efeknya luar biasa buat penyelenggara, orang gak akan mau dilaporkan ke DKPP. Meskipun, tadi saya bilang lebih banyak direhabilitasi ataupun hanya dapat teguran. Tapi kalau orang sudah di sidang, itukan pengaruh, karena jejak digital itukan ada, orang diberitakan disidang, itukan membawa efek," tandasnya.
Diskusi itu juga menghadirkan Herdensi Adnin sebagai narasumber. Ia menjelaskan DKPP sifatnya pasif, yakni bertugas melakukan pemeriksaan terkait dengan pengaduan terhadap penyelenggara pemilu baik KPU/Bawaslu dari pusat hingga daerah
"Namanya memeriksa orang harus ada laporan dulu baru di periksa. Jadi DKPP itu tidak serta merta mengambil perkara itu dan disidangkan," sebut Herdensi, mantan Ketua KPU Sumut itu.