Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KETIKA akan diadakan festival tuak semua orang sangat antusias mengikutinya. Festival ini ingin mengangkat kembali nilai-nilai tradisi yang memiliki arti sendiri bagi mansyarakatnya. Keinginan itu hanya tinggal keinginan, semua berakhir dengan pembantalan dengan alasan pendemi yang masih mewabah. Kenapa begitu, apakah ada hal lain yang menyebabkan kegiatan itu harus batal.
Tentu kita tidak ingin kegiatan dari rakyat ke rakyat itu berakhir demikian. Mungkin panitia harus mengambil alternatif lain. Tuak sendiri tidak bisa dipisahkan dari perjalanan panjang peradaban orang Batak yang bermukin di sekitar Danau toba. Bahkan kalau lebih luas lagi di tanah air ini kita mengenal arak, sopi, bedeg dan lainnya yang banyak dikomsunsi masyarakat setiap masyarakat melaksanakan pesta adat.
Tradisi minuman beralkohol dalam setiap perayaan pesta dalam masyarakat kita merupakan tradisi yang lahir dari para leluhur yang banyak kita menjumpaiaya dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat yang masih teguh memelihara tradisi tentu memahami bahwa minimum itu adalah minuman kehormatan.
Misalnya masyarakat di Toraja Utara, mengkonsunsi tuak dalam setiap perayaan adat. Minuman beralkohol itu sering disebut tuak yang berasal dari cairan pohon induk atau nira (boras-sus flabellifer) yang sering kita melihatnya untuk disajikan dalam setiap pesta. Tradisi ini juga banyak kita melihatnya dalam kehidupan masyarakat kita yang masih memelihara kebiasaan tersebut. Walaupun saat ini dengan perubahan situasi di setiap pesta adat tidak lagi menyajikan tuak tetapi mengantinya dengan minum beralkohol lainnya, misalnya bir atau minuman lainnya.
Tetapi kita tidak melihatnya dari sisi negatifnya yang menurut data WHO menyebutkan Laporan Status Global mengenai alkohol dan kesehatan pada tahun 2012 tidak kurang dari 320.000 orang antara usia 15-29 tahun meninggal setiap tahun yang disebabkan oleh alkohol. Ada nilai lainnya yang mungkin bisa kita menilainya bahwa kebiasaan minum tuak di antara masyarakat Batak di sekitar Danau Toba adalah bentuk hiburan ketika mereka menyelesaikan perkejaan di sawah atau ladang. Kebiasaan ini sesuatu yang biasa yang kita menemukannya, di kedai (Lapo) mereka saling bertukar informasi dan saling bertukar pikiran ketika beban hidup dan pekerjaan makin berat. Apakah kedai tuak ini boleh sebagai terapi bagi masyarakat agraris yang bisa menanggung beban hidup yang berat ini. Ini bisa menjadi sebuah penelitian juga ketika kita melihat bahwa masyarakat kita lebih menikmati hiburan di sana.
Tuak juga tidak hanya untuk konsumsi kaum laku-laki saja tetapi kaum perempuan juga menikmati itu. Ketika perempuan yang baru melahirkan anak dengan mengkonsumsi tuak dalam memberikan kebaikan bagi kaum ibu. Tentu kebiasaaan ini sudah jarang kita menemukannya di situasi saat ini. Kebayakan kaum perempuan lebih banyak mengkonsumsi makanan yang bisa memberikan manfaat baginya.
Kebiasaan minum tuak itu yang di kampung halaman adalah kebiasaan yang tidak hilang ketika orang pergi merantau ke kota besar. Kaum perantau atau genarasi migran yang mengadu nasib dan mencari pekerjaan di kota besar tidaklah menghilangkan kebiasaan itu. Istilahnya dimana ada orang Batak pasti di situ kita menemukan kedai (lapo).
Lapo sebagai titik setral tempat pertemuan komunitas Batak dari segala usia, semua bisa dibicarakan, mulai dari politik, ekonomi maupun membicarakan masalah adat istiadat. Dulu lapo kesannya agak rendah, kotor dan apa adanya, tetapi saat ini di kota besar lapo sudah berubah bukan lagi kesannya pertama. Tetapi lapo adalah tempat untuk menyatukan berbagai kalangan dan lapo juga sebagai tempat usaha yang menjanjikan.
BACA JUGA: Konflik Timur Tengah dan Moderasi Beragama di Indonesia
Ketika orang berpergian ke lapo bukan lagi kesannya tidak baik, lapo adalah adalah tempat yang netral di sana semua kepentingan menyatu padu. Lapo dan tuak adalah dua hal yang tidak bisa dipisahakan, ketika kita berada di lapo tentu kita akan mengkonsumsi tuak. Tuak itu sendiri netral dia hanya minimum yang sudah melegenda sejak dulu dari nenek moyang kita yang sering digunakan di adat atau untuk dikonsumsi. Tuak itu adalah alat untuk bersosialiasi dan memiliki fungsi kesehatan, ekonomi, sosial, religi dan simbol.
Minuman tuak itu adalah warisan nenek moyang yang memiliki nilai kearifan lokal tinggi yang dapat merajut harmonisasi sosial. Kearifan lokal ini perlu kita jaga dengan mengembangkan tuak agar diterima oleh masyarakat luas di era milineal ini.
Pengusaha lapo dan paragat tuak harus menjaga kualitas tuaknya dan tempat minumnya biar kesannya tidak asal-asal tetapi berkelas. Kehadiran minum tuak secara festival tentunya adalah melesatarikan nilai-nilai lokal sehingga kesan minum tuak itu bukan sesuatu yang negative.
Tentu kita berharap ke depan festival seperti ini dapat berlangsung sehingga generasi milenial ini bisa lebih menghargai budaya dan tradisi nenek moyangnya. Bukankah kita sebagai bangsa harus menjaga kearifan lokal itu sebagai filter untuk pengaruh budaya luar.
Tuak atau minum tuak tidak salah, yang sering salah adalah manusianya tidak bisa menjaga diri. Semoga festival ini bisa terlaksana dengan meriah di hari yang akan datang. Atau mungkin panitia bisa melaksanakan festival tuak secara virtual, boleh juga ide itu.
====
Penulis Dosen IAKN Tarutung
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]