Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“You might have heard that we are living in the era of hacking computers, but that’s hardly half the truth. In fact, we are living in the era of hacking humans”, demikian Yuval Noah Harari membangunkan tidur siang kita yang nyaman lewat bukunya ”21 Lessons for the 21st Century”.
KALIMAT itu menjadi ancaman yang cukup serius ketika Yuval mempertegas bahwa algoritma, big data, machine learning, AI dapat mengendalikan dan memanipulasi kita, sementara kita sedang tenggelam di dalamnya.
Tanpa pandemi, kita mungkin tetap akan menggunakan teknologi digital dalam pembelajaran, tapi hal itu akan terjadi 30-40 tahun lagi.
Pandemi COVID-19 adalah sebuah katalis yang menyebabkan dunia pendidikan sampai pada era tersebut lebih awal dari yang seharusnya.
Lebih awal bukanlah prestasi. ”Lebih awal” adalah kata yang cocok untuk menggambarkan ketidaksiapan.
Kita memberikan akses teknologi informasi kepada siswa sebelum mempersiapkan mereka terlebih dahulu. Ketidaksiapan tersebut membawa kita terdampar di sebuah pulau terpencil yang asing yang kita sebut sebagai disrupsi.
Di pulau tersebut hidup menjadi sulit tertebak, tidak pasti, kompleks dan ambigu, namun kita harus berjuang untuk tahan hidup.
BACA JUGA: Hidup di Tengah Gempuran Media Sosial
Pembelajaran dari rumah memberikan pengaruh besar bagi karakter siswa. Siswa mengalami ketergantungan yang berlebihan dengan gadget mereka.
Siswa banyak terpapar dan terpengaruh dengan informasi dari media sosial. Perilaku mereka lebih banyak dipengaruhi oleh para influencer dari pada oleh guru bahkan orang tua.
Siswa tidak siap ketika harus kembali menjalani pembelajaran di sekolah. Antusiasme siswa terhadap pembelajaran menurun secara drastis karena konten-konten di layar smarthphone-nya jauh lebih menarik.
Keterampilan sosial yang kurang baik, kerapuhan dan sifat individualistik siswa yang merupakan dampak dari pembelajaran dari rumah menciptakan tembok yang tinggi antara guru dengan siswa.
Karakteristik-karakteristik siswa yang terbentuk tersebut juga tidak sesuai dengan kebutuhan sumber daya manusia di masa depan. Di masa depan, sumber daya manusia yang dibutuhkan harus memiliki kreativitas, ketangguhan, kemauan untuk belajar, mempunyai keterampilan berkomunikasi, berkolaborasi dan berpikir kritis.
BACA JUGA: Media Sosial: Berpikir Global dan Bertindak Lokal
Tidak hanya itu, kepercayaan terhadap sekolah sebagai institusi pendidikan juga menurun. Bukan hanya karena semakin maraknya influencer yang mendiskreditkan institusi pendidikan atau semakin merdekanya guru-guru tapi juga karena memang banyak institusi pendidikan yang tidak siap menghadapi perubahan.
Jika kita tidak juga bergerak menghadapi hal-hal tersebut di atas, maka bonus demografi 2030-2040 bukanlah sebuah berkah melainkan bencana.
Disrupsi dalam dunia pendidikan membuat perubahan semakin tidak pasti dan sulit diprediksi. Ketidakpastian tersebut harus kita tanggapi dengan 3 perubahan paradigma: paradigma terhadap teknologi, paradigma terhadap pendidikan dan paradigma terhadap sekolah.
Paradigma Terhadap Teknologi
Tidak ada yang dapat membendung perkembangan teknologi, bahkan etika sekalipun. Kecerdasan yang tadinya merupakan anugerah spesial yang dimiliki oleh manusia kini kita tanamkan di teknologi.
Saat ini siswa lebih memilih bertanya pelajaran kepada google daripada kepada guru, lebih memilih meminta bantuan kepada ChatGPT untuk mengerjakan tugas daripada kepada orang tua.
BACA JUGA: Guru yang Semakin Lelah dan Murid yang Semakin Bertingkah
Ironisnya, saat ini siswa bahkan lebih melek teknologi daripada guru dan orang tuanya, sehingga teknologi rentan untuk disalahgunakan.
Oleh karena itu, guru-guru harus lebih banyak belajar teknologi. Dengan memanfaatkan teknologi guru-guru juga dapat mengemas pembelajaran yang lebih menarik, up to date, dan lebih relevan dengan siswa. Platform-platform, media sosial bahkan permainan dapat digunakan untuk pembelajaran.
Guru tidak lagi bisa bertahan dengan hanya mengandalkan informasi dari buku paket. Buku yang dibaca siswa-siswi kita hari ini adalah hasil perkembangan ilmu pengetahuan 3 atau 4 tahun yang lalu.
Sementara ilmu pengetahuan berkembang sangat cepat, dalam hitungan menit bahkan detik. Guru dapat terhubung dengan sumber informasi terbaru terkait pembelajaran dengan mengikuti media sosial penyedia informasinya.
Selain dapat mengembangkan metode pembelajaran yang lebih beragam, teknologi juga memungkinkan sesama pendidik untuk saling berbagi.
Teknologi tidak boleh menghalangi siswa untuk turun ke lapangan untuk melihat bentuk kelopak bunga sebenarnya atau mengamati perilaku sosial dalam masyarakat.
Menguasai teknologi bukan berarti kita bergantung sepenuhnya dengan teknologi tersebut. Sering sekali teknologi membuat pembelajaran jadi kurang kontekstual. Pembelajaran tetap harus mendorong anak untuk dapat menemukan makna dalam realitas kehidupan.
BACA JUGA: Posisi Kontrol Guru
Paradigma Terhadap Pendidikan
Puluhan tahun lalu satu-satunya sumber informasi siswa adalah guru dan buku paket. Saat ini informasi tentang pembelajaran tersedia melimpah. Hal ini seharusnya menggeser fokus pembelajaran yang kita rancang.
Pembelajaran seharusnya bukan lagi mengenai informasi hafalan yang dalam dua detik dapat diakses melalui teknologi. Siswa seharusnya tidak lagi difokuskan menghafal tanggal persis dan nama lengkap tokoh yang terlibat perjanjian Linggarjati, melainkan menganalisis dampak dari perjanjian tersebut atau merefleksikan pembelajaran tersebut untuk kehidupan saat ini.
Siswa tidak lagi difokuskan menghafal nama ilmiah hewan-hewan mamalia pengerat lengkap dengan kingdom hingga genus, melainkan menganalisis mekanisme klasifikasi, kategorisasi serta dampak dari hal tersebut.
Pembelajaran kita saat ini seharusnya berfokus kepada bagaimana membentuk keterampilan komunikasi, berfikir kritis, kreatifitas dan kolaborasi. Pembelajaran kita seharusnya melatih anak untuk memiliki fundamental skill seperti basic thingking skill, learning skill, verbal reasoning, quantitative reasoning dan scientific thingking.
Selain itu, dimasa depan aspek kecerdasan yang diukur tidak lagi hanya IQ, melainkan juga DQ. DQ (digital quotient) merupakan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam menjalani kehidupan di dunia digital.
Pendidikan kita seharusnya tidak lagi hanya mempersiapkan siswa untuk cakap hidup dalam kehidupan nyata, melainkan juga cakap hidup dalam kehidupan digital.
BACA JUGA; Guru dan Pendidikan Karakter
Paradigma Terhadap Sekolah
Sekolah sebagai institusi pendidikan menanggung beban yang sangat berat. Beban tersebut seharusnya dibagi pula kepada 2 pusat pendidikan lainnya, yaitu keluarga dan masyarakat.
Masyarakat saat ini juga dibedakan atas 2, yaitu masyarakat nyata dan masyarakat maya. Perlu adanya kolaborasi dan sinergi diantara tri pusat pendidikan tersebut.
Selain berbagi beban, sekolah dan masyarakat maya juga bersaing dalam memberikan pengaruh kepada siswa. Sekolah diharapkan dapat menyediakan lingkungan yang lebih menyenangkan daripada dunia digital.
Sekolah diharapkan dapat memberi rasa aman dan memenuhi kebutuhan belajar sesuai dengan karakteristik siswa. Kemerdekaan dan otoritas dalam memimpin pembelajaran yang dimiliki oleh guru dapat meningkatkan kepercayaan terhadap sekolah bila disertai dengan profesionalitas dan kesadaran akan tanggung jawab.
Penutup
Dr Ceri Shipton dari The ANU School of Culture, History and Language mencoba menjawab teka-teki mengapa homo erectus punah. Tidak seperti homo sapiens dan neanderthal yang melakukan perubahan dan modifikasi pada alat batunya.
Homo erectus tidak banyak melakukan perubahan pada alat batunya. Hal tersebut membuat Homo erectus sulit menghadapi perubahan iklim dan akhirnya punah.
Demikian pula dalam menghadapi era disrupsi, bukan kecerdasan atau kekuatan kita yang menentukan kita akan bertahan, melainkan sikap kita terhadap perubahan.
====
Penulis Guru SMA Unggul Del Toba
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]