Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tren penderita Covid 19 dari hari ke hari cenderung menunjukkan kenaikan. Bahkan virus itu sudah memiliki varian baru, B.1.617.2 atau Delta. Tidak ada suatu daerah yang menunjukkan penurunan dengan tingkat penderitaan yang tidak ada kematian. Mengapa demikian, apakah suara tokoh agama tidak lagi menjadi rujukan bagi kedisplinan warga? Apakah tokoh agama tidak lagi memperlihatkan kepopuleran di aras masyarakat? Tentu pertanyaan ini menjadi pertanyaan dalam diri kita. Tokoh agama adalah manusia yang sangat dihormati dan wejangannya membuat warga tentunya memperlihatkan tingkat kedisipilan di tingkat warga.
Kedisiplinan adalah kunci untuk keberhasilan dari kita memutus rantai penyebaran dari Covid-19. Kita lihat saat ini rantai penyebaran Covid telah bervariasi. Kalau dulu tingkat penyebaran pada kerumunan orang tetapi penyebaran saat ini lebih rentan tingkat keluarga.
Keluarga adalah tempat yang potensial penyebaran virus corona, karena keluarga memiliki tingkat tolerasi menerima kedatangan anggota keluarga dari luar daerah. Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang masih memegang tradisi dan kedekatan sosial yang tinggi.
Tradisi dan kedekatan berkumpul dengan keluarga hal yang lazim kita menemukan dalam setiap suku atau warga masyarakat di tanah air. Kita selalu berjumpa dengan keluarga mulai dari sejak lahir sampai kita menutup mata. Bangsa ini tidak lepas dari tradisi yang terus dipegang bahwa keluarga itu adalah asset yang memiliki peran dalam kehidupan kita.
Lihatlah tradisi pulang kampung atau mudik di masyarakat kita. Tadisi mudik ini adalah “ritual” yang dilakukan setiap tahun yang memiliki nilai tersendiri. Masyarakat tidak mempedulikan situasi covid, mereka tetap saja melakukan ritual mudik.
Mudik memiliki esensi yang tidak bisa dibeli dengan apapun, esensi yang tidak bisa didefenisikan dengan kata-kata. Covid -19 dengan tingkat kenaikan yang terus meningkat tidaklah menyurutkan niat warga melakukan mudik.
Tradisi lain dari warga kita yang tidak bisa dilepaskan dalam kegiatan tradisi pesta, apakah itu sukacita atau duka cita memiliki nilai atau makna tersendiri. Lihatlah warga kita, ketika anak lahir dia akan mengadakan ritual dan pesta untuk menunjukkan sukacita.
Begitu juga pesta pernikahan dan upacara kematian dari anggota keluarga, warga tidak merasa puas kalau tidak melihat kegiatan tersebut. Ikatan sosial yang tinggi di antara warga masyarakat kita, kadangkala membuat warga tidak lagi memperdulikan berapapun biaya atau situasi yang akan ditemui.
BACA JUGA: BTS Meal dan Covid-19
Ada ungkapan di antara warga kita bahwa hidup dan mati cuma sekali, kenapa saya tidak bisa melihat keluarga. Memang tardisi kekeluargaan di antara kita msih cukup kental dan boleh kita mengatakan bahwa kedekatan kekeluargaan itu tidak bisa dinilai dengan apapun. Tatapi di habitat baru saat ini tentu kita harus membiasakan diri dengan pola baru. Keluarga penting tetapi kita juga harus menjaga kesehatan semua anggota keluarga.
Cluster terbesar saat ini bukan lagi di tingkat masyarakat tetapi telah mamasuki dunia keluarga. Keluarga harus dijaga, bukan kita membiarkan ini bisa menjadi bom waktu bagi penyebaran Covid-19. Di sinilah kita memerlukan peran serta tokoh agama untuk meningkatkan kesadaran warga.
Walaupun masyarakat kita masih terpecah menanggapi akan Covid-19, ada yang melihat ini sebagai rekayasa dan ada juga yang mengakui bahwa Covid itu benar-benar ada. Kita melihat masih banyak warga kita tidak memakai masker dan mengikuti protokol kesehatan tentu ini membuat tingkat penyebaran Covid-19 makin tinggi.
Tingkat kesadaran ini masih kurang. Warga masih melihat situasi saat ini dengan pemahaman yang tidak seragam. Bukan hanya itu masih ada juga yang mengajarkan bahwa Covid-19 ini adalah cara atau metode untuk menghancurkan agama atau keyakinan. Wabah itu atau istilah saat ini Covid-19, adalah fenomena yang telah ada sejak masa Nabi yang menunjukkan bahwa wabah adalah situasi yang harus dihindari manusia demi keselamatannya. Tentu menghindari di sini adalah warga harus mengikuti protokol kesehatan.
Memang warga tidak bisa kita menyalahkannya seutuhnya, tetapi pihak pemerintah juga harus lebih terbuka dengan data dan informasi sesungguhnya tentang Covid-19. Kita perlu mengedukasi dari masyarakat bahwa pihak pemerintah tidak mengcovid setiap penyakit yang ada. Pihak kesahatan dan pemerintah daerah juga tidak menutupi data yang ada, wajib melakukan pengetesan, pelacakan dan penanganan (testing, tracing, treatment atau 3T) yang dilakukan terus menerus bukan apa adanya.
Karena itulah ada sinergisitas antara tokoh agama dan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat. Kasus Covid saat ini akan terus menunjukan kenaikan di beberapa daerah tentu, tokoh agama dalam khotbah atau pengajarannya mendorong warga untuk lebih disiplin dalam protocol kesehatan.
Protokol kesehatan itu tidaklah nyaman, ibarat ketika kita menyapu halaman rumah harus dilakukan berkali-kali seperti orang yang hilir mudik. Tokoh agama dengan pelayanan keumatannya untuk tidak jenuh mengingatkan warga untuk selalu ingat akan protokol kesehatan.
Kesadaran kolektif ini harus mulai, kita membangunnya dari ruang ibadah, warga masih mendengar tokoh agama. Tanpa kesadaran kolektif kita tidak dapat secara simultan meredakan pandemi Covid-19 ini. Bukankah kedisplinan dari kita adalah bagian dari iman kepada kepada Sang Pemilik Kehidupan?
Manusia yang tidak displin dalam kehidupan ini adalah bukti bahwa khotbah atau pangajaran tokoh agama itu belum menjadi nilai atau makna dalam kehidupannya. Kedisplinan awal kita untuk bisa hidup secara sehat dan tentunya tidak menganggu hubungan tradisi yang telah kita jaga.
Kuncinya hanya disiplin, tanpa itu kita harus siap- siap menerima tsunami covid di tengah masyarakat terutama keluarga. Ayo ikuti protokol kesehatan biar hidupmu selamat dan sehat selalu!
====
Penulis Dosen IAKN Tarutung
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]