Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Oleh: Gunawan Benjamin*
Tahun 2018 telah kita lewati, dan saat ini kita tengah menuju tahun di mana ketidakpastian sepertinya mulai reda dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi nasional dalam 5 tahun terakhir terjebak dalam angka 5%-an. Pertumbuhan tersebut sekalipun dinilai sebagai salah satu pertumbuhan terbaik di ASEAN, namun tetap saja pertumbuhan itu masih jauh dari harapan masyarakat, karena dianggap belum mampu menuntaskan sejumlah masalah ekonomi negara ini
Tahun 2018 dan sebelumnya menjadi tahun yang sulit membuat banyak negara harus mengalami kerugian yang tidak sedikit. Asal muasal memburuknya laju pertumbuhan ekonomi dunia adalah dimulai dari terpilihnya Presiden AS Donald Trump. Sejumlah kebijakan yang diambil Trump kala itu hingga hari ini diluar ekspektasi pelaku pasar.
Salah satu kebijakan yang membuat perekonomian dunia mengalami kontraksi, yakni kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS serta perang dagang antara AS dengan Cina dan sejumlah negara lainnya. Meskipun kebijakan pengendalian suku bunga acuan dilakukan oleh Bank Sentral AS. Namun Trump kala itu memperlihatkan kekuatan politiknya dan menekan Bank Sentral AS atau The Fed.
Kebijakan tersebut praktis membuat sejumlah mata uang negara lainnya mengalami pelemahan. Sejumlah negara berkembang justru mengalami keterpurukan mata uangnya. Katakanlah mata uang Lira Turki yang ambruk, sehingga memicu terjadinya krisis di negara tersebut. Mata uang rupiah juga mengalami pelemahan. Walaupun pelemahannya relatif terbatas di kisaran 15.300 per dolar AS.
Jika dihitung dari rata-rata posisi mata uang 1 hingga 2 tahun lalu, rupiah hanya terpantau melemah di bawah angka 10%. Akan tetapi sejumlah mata uang negara lainnya ada yang terpuruk di atas 80%. Keterpurukan mata uang negara berkembang tersebut menggiring krisis sehingga berakibat kepada terpuruknya kondisi keuangan negara.
Negara-negara berkembang yang masuk dalam barisan krisis, di antaranya adalah Turki, Venezuela, Argentina dan sejumlah negara lainnya. Besaran pelemahan mata uang negara tersebut berbeda-beda. Dan Indonesia masuk di urutan negara yang paling kecil pelemahan mata uangnya. Pelemahan mata uang rupiah ini memberikan dampak buruk bagi neraca perdagangan nasional di tahun kemarin.
Ditambah lagi dengan melemahnya harga komoditas yang kian membuat neraca dagang Indonesia membengkak. Seiring waktu berjalan, semuanya kembali mengalami pemulihan. Saat ini, Rupiah diperdagangkan dikisaran 14.000 an per US Dolar. Sementara itu, harga komoditas kembali pulih. Pemicu membaiknya kinerja makro ekonomi adalah adanya waktu jeda perang dagang antara AS dan Cina.
Ditambah lagi Bank Sentral AS yang mengerem kenaikan suku bunga acuannya. Perang dagang antara AS dan Cina, meskipun belum menemui kesepakatan, namun perkembangannya menuju hasil yang positif. Perang dagang ini kita harapkan mampu melahirkan solusi keuangan bagi negara lainnya. Tanpa itu semua, saya meyakini perang dagang yang berlanjut justru sangat potensial menambah ruwet kondisi ekonomi dunia.
Di tengah keruwetan akibat kebijakan proteksionis yang dilakukan AS sebelumnya, Indonesia dinilai mampu menghadapi tekanan eksternal yang sangat besar tersebut. Serangkaian kebijakan yang diambil Pemerintah seperti membatasi subsidi (BBM dan Listrik) menjadi salah satu penyelamat. Pembangunan infrastruktur yang massif menjadi salah satu daya pikat sehingga Indonesia tidak harus kehilangan peringkat investasinya di mata dunia.
Di tengah pembangunan massif yang banyak mengandalkan kebutuhan modal kerja dari negara lain, justru tidak menyeret Indonesia untuk masuk dalam kubangan krisis ekonomi. Meskipun anggaran negara cenderung dikendalikan lebih ketat. Hal ini memberikan tekanan pengeluaran rumah tangga masyarakat. Meskipun untuk masyarakat miskin tetap mendapatkan bantuan.
Namun, kita jarang berfikir bagaimana seandainya saja pemerintah tetap mengambil kebijakan yang banyak menggelontorkan subsidi. Saya menghitung bahwa jika perekonomian nasional akan terpuruk dan realisasi pertumbuhannya akan lebih rendah dibandingkan dengan realisasinya pada saat ini. Karena ada dua gendang besar kebijakan subsidi yang berpengaruh terhadap ekonomi.
Pertama subsidi cenderung lebih bersifat konsumtif, dan kedua pelemahan mata uang Rupiah akan sangat mempengaruhi kemampuan anggaran negara dalam memenuhinya. Saya menghitung seandainya kebijakan subsidi tetap dijalankan seperti pemerintahan yang lalu, maka pertumbuhan ekonomi sulit tumbuh di atas 3%, bahkan berpeluang masuk dalam kubangan krisis.
Karena impor yang sifatnya konsumtif akan mengalami kenaikan, sementara itu penurunan harga komoditas memperburuk kinerja ekspor nasional. Jadi realisasi pertumbuhan ekonomi saat ini sepatutnya di syukuri. Meskipun terjebak dalam angka yang stagnan, namun tetap tertinggi di antara negara tetangga lainnya.
Padahal potensi penurunannya sangat signifikan jika mengacu kepada realisasi pertumbuhan ekonomi di negara berkembang lainnya. Walau demikian kedepan saya menilai seandainya pertumbuhan ekonomi negara maju seperti China masih berkutat antara 6.3 hingga 6.8% dalam 3 tahun kedepan. Indonesia diyakini hanya akan mampu tumbuh di bawah 5.7%.
Sejauh ini, Cina dan AS masih menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi dunia. Di mana banyak negara berkembang yang bergantung kepada kedua negara tersebut. Meskipun Cina merealisasikan pertumbuhan yang paling kecil dalam kurun waktu 28 tahun terakhir. Kinerja pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat tersebut memang belum akan membuat negara kita krisis. Dengan catatan kebijakan ekonomi makro prudensialnya di pertahankan.
*Gunawan Benjamin, pengamat ekonomi, alumni UGM Yogyakarta, Bekerja sebagai dosen dan analis di salah satu perusahaan sekuritas di kota Medan