Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Dalam sejarah Alkitab, Pilatus menjadi ‘pihak paling bertanggung jawab’ dalam proses kematian dan penyaliban Yesus. Setelah pengadilan agama yang diketuai Imam Kayafas tidak juga menemukan kesalahan Yesus, Pilatus pun mendapat giliran mengadili. Berbagai pertanyaan dilontarkannya, namun Pilatus belum juga mampu menemukan kesalahan Yesus sebagai alasan yang kuat untuk menyalibkan Yesus. Jangankan disalibkan, bahkan hukuman ringan saja tidak layak dikenakan kepada Yesus. Yesus benar-benar bersih. Yesus bukan penghasut, penyebar ajaran palsu (hoaks), apalagi pelaku tindakan makar seperti yang sering dituduhkan kepadanya.
Pilatus semakin bimbang dan gelisah. Di satu sisi, ia tidak menemukan kesalahan Yesus, namun di sisi lain, ia semakin tertekan dengan desakan massa yang menginginkan Yesus disalibkan. Pilatus harus tetap menjaga citranya sebagai pemimpin yang prorakyat dengan melaksanakan apa yang diinginkan rakyat (kaum Farisi). Tidak hanya itu, Pilatus juga harus menunjukkan kesetian kepada imperialis Kekaisaran Romawi yang sudah lama merasa terusik dengan kotbah dan pengajaran Yesus.
Pilatus ibarat makan buah simalakama. Menghukum Yesus akan menyenangkan kaum Farisi yang memang tidak menyenangi kehadiran Yesus, namun hal tersebut sangat tidak adil karena harus menghukum seseorang yang tidak bersalah. Sedangkan jika memilih membebaskan Yesus, Pilatus tentu akan menjadi sosok yang sangat dibenci, bahkan bisa saja dituduh sebagai pihak yang turut mem-back up penghasutan dan pemberontakan kepada Kekaisaran Roma seperti salah satu tuduhan yang dialamatkan pada Yesus.
Akhirnya, Pilatus mengambil keputusan yang lebih mementingkan kedudukannya sebagai gubernur di Tanah Yudea dan pencitraan di hadapan rakyatnya dengan membiarkan seorang yang tidak bersalah dihakimi sendiri oleh rakyat. Aksi cuci tangan sebagai tanda tidak bertanggung jawab atas kejadian itu telah ‘melegakan’ hati Pilatus. Padahal sesungguhnya Pilatus telah melakukan suatu tindakan yang paling diharamkan dalam berhukum: lebih baik membebaskan seribu yang bersalah daripada menghukum seorang yang tidak bersalah.
Penegakan Hukum
Penegakan hukum (law enforcement) menjadi bagian paling penting dalam suatu rangkaian sistem hukum (Lawrence M Friedman, 1981). Tanpa penegakan hukum (formeel recht), maka kaidah-kaidah hukum materil (materieel recht) niscaya menjadi tumpukan kertas (een papieren muur) saja. Cita negara hukum dalam konstitusi bangsa ini hanya akan tinggal mimpi belaka.
Oleh karena itu, tanpa penegakan hukum yang baik, akan sama saja artinya dengan mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan kejahatan (tegengesteld) atau pembiaran terhadap kaidah-kaidah hukum (materieel recht) yang dibuat guna mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Tanpa penegakan hukum, rakyat pasti putus asa akan hukum dan keadilan, ibarat menunggu Sang Godot yang tak kunjung datang, sebagaimana digambarkan dalam novel drama Samuel Becket. Terjadi krisis kepercayaan atas hukum. Masyarakat kacau balau (chaos), merupakan normless society dalam kenyataan (in het werkelijkheid).
Sayangnya, kelemahan penegakan hukum menjadi cacat paling besar yang mencoreng wajah hukum kita. Hal tersebut tentu tak lepas dari rendahnya kualitas para penegak hukum. Bahkan beberapa lembaga survei kurun waktu 2010-2019 menempatkan lembaga penegak hukum (kejaksaan dan kepolisian) setelah DPR dan partai politik sebagai lembaga terkorup. Terbongkarnya kasus suap yang melibatkan beberapa penegak hukum menjadi bukti kuat. Belum lagi dugaan rekening gendut beberapa perwira Polri yang hingga saat ini belum terungkap.
Aparat hukum yang seharusnya menegakkan hukum justru menjadikan hukum sebagai alat mengekalkan kekuasaan dan kepentingan sendiri. Termasuk untuk memenuhi pesanan demi kepentingan para oligarkhi elite. Bukti-bukti di peradilan dimanipulasi, pasal-pasal yang didakwakan cenderung asal dan tidak menyentuh substansi perkara.
Hukum dan Kepribadian Bangsa
Satjipto Rahardjo (alm) pernah berujar, karut-marutnya dunia hukum Indonesia tak lain akibat pemahaman dan pendidikan yang keliru tentang hukum. Selama ini, hukum hanya berkutat dibicarakan pada konteks teks dan peraturan perundang-undangan, tanpa membicarakan hukum itu secara utuh. Sosok hukum menjadi kering karena dilepaskan dari konteks dan dimensi manusia.
Hukum itu bukan sekadar peraturan, tetapi lebih pada perilaku manusia itu sendiri. Apalah artinya peraturan yang bagus dan sempurna jika moral para pelaku dan penegak hukum tetap saja bobrok? Permasalahan hukum Indonesia saat ini sebenarnya bukan hanya terletak pada peraturan yang tidak memadai tetapi lebih pada pengenalan dan pembentukan kepribadian bangsa termasuk kepribadian para penegak hukum.
Oleh karena itu, untuk mengenal lebih dalam hukum suatu negara, maka kita harus mengenal kepribadian bangsa tersebut. Karena seharusnya hukum lahir dari kepribadian bangsa itu sendiri bukan dengan cara meniru atau mengadopsi seperti yang kita lakukan dengan cara mewarisi hukum kolonial Belanda. Jadi betulkah bila carut-marutnya wajah hukum Indonesia diakibatkan kepribadian bangsa ini yang juga masih karut marut?
Kita tentu tak mau kalau dunia penegakan hukum kita digerogoti ‘pilatus-pilatus’ yang rakus kekuasaan kendati harus mengorbankan nyawa orang lain. Oleh karena itu, perekrutan yang fair dan bersih, pembinaan karakter, moral serta profesionalitas penegak sejak dini mutlak diperlukan. Jika hal itu tidak bisa dilakukan, maka dunia hukum kita akan terus-menerus bergumul dan tak mampu keluar dalam kubangan persoalan susahnya menegakkan hukum dan kaburnya kepastian hukum.
===
Penulis adalah dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan/Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM Yogyakarta.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]