Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bencana global pandemic Covid-19 telah menyadarkan semua pihak bahwa kerusakan alam masif, eksploitasi skala besar sumber daya alam, dan perubahan iklim adalah akar pemicu kemunculan dan penyebaran virus-virus baru. Hal ini juga sekaligus semakin meneguhkan bahwa tata kelola sumber daya yang berkelanjutan dengan cara mengakui tata kelola berbasis komunitas skala kecil semakin relevan, termasuk di Indonesia.
Kelemahan besar bangsa ini ternyata berada pada tata kelola sumber daya alam berskala besar yang diberikan kepada segelintir korporasi, dan kekuatan terbesarnya justru berada pada masyarakat, seperti petani kecil, nelayan tradisional dan masyarakat adat di berbagai penjuru nusantara. Komunitas-komunitas ini memiliki tatanan sendiri yang telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun untuk berproduksi secara berkelanjutan dan aman terhadap ekosistem alam.
Oleh karena itu, peristiwa Covid-19 ini adalah momentum penting untuk kembali meneguhkan pilihan penyelamatan bangsa melalui penguatan dan pengakuan identitas dan tatanan cara produksi tradisional berskala kecil namun merata secara nasional. Secara nasional, agenda mempromosikan pengakuan komunitas lokal dan adat telah mulai mendapatkan tempat, namun belum meluas ke level daerah. Tulisan ini mengulas tentang perlunya pengakuan segera komunitas-komunitas adat yang masih bisa diselamatkan di daerah-daerah, terkhusus di Sumatra Utara.
Salah satu alas penting perjuangan pengakuan komunitas adat, khususnya dalam relasinya dengan hutan dan sumber daya alam adalah putusan MK no 35/PUU-X/2012 yang menyebutkan dengan jelas bahwa hutan adat bukan hutan negara. Putusan ini menganulir bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada di wilayah hukum adat, dan diganti dengan menyatakan hutan adat bukanlah hutan negara. Sehingga kini statusnya dianggap sebagai hutan hak, terdiri dari hutan adat, hutan hak perseorangan atau badan hukum. Dalam konteks konstitusi, negara mengakui keberadaan masyarakat adat seperti dinyatakan dalam pasal 18B ayat (2) dan pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
Selanjutnya, pemerintah daerah dan peraturan daerah (Perda) memegang peranan penting dalam pelaksanaan putusan MK 35 yang diserahkan oleh pemerintah pusat dan Mahkamah Konstitusi. Didasari oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, memandatkan kepada pemerintah provinsi, kabupaten/kota untuk dapat membuat produk hukum bagi masyarakat adat, yang ditempatkan dalam diklasifikasi urusan wajib non-pelayanan dasar.
Masyarakat Adat di Tengah Badai Konflik
Dalam laporan Hutan Rakyat Institute (HaRI) tahun 2018, menyebutkan 48 komunitas masyarakat adat Sumatra Utara berada dalam pusaran konflik. Hasil penelitian dari koalisi yang disampaikan kepada DPRD juga mengungkapkan konflik ini sudah berlangsung lama sejak masa kolonial dan terjadi hingga sekarang. Seperti dialami Masyarakat Adat Rakyat Penunggu Kampong Secanggang di Kabupaten Langkat. Mereka bermata pencaharian di bidang pertanian menggunakan sistem ladang berpindah, dipaksa kehilangan wilayah adanya akibat invasi perkebunan di wilayah adat tersebut. Hal ini akibat kesepakatan konsesi antara pemerintah kolonial Belanda, dan Kesultanan Langkat pada kala itu.
Pasca kemerdekaan, nasionalisasi perusahaan-perusahaan eks perkebunan kolonial pada tahun 1950-an, ikut mengabaikan fakta sejarah soal kepemilikan tanah adat tersebut. Masyarakat Rakyat Penunggu Kampong Secanggang, dalam upaya memperjuangkan pengembalian tanah adatnya yang baru dapat dikuasai seluas 310 hektare dari total 8.858 hektare saat ini, juga tak jarang mendapat stigma sebagai PKI dari pihak perkebunan dan masyarakat umum.
Masyarakat Adat Sihaporas di Simalungun mengalami hal serupa. Pada tahun 1916 pemerintah kolonial Belanda mencaplok paksa tanah adat seluas 1.500 hektare untuk ditanami pohon pinus. Memasuki rezim orde baru, pemerintahan Soeharto menarik masuk investasi dengan memberikan izin konsesi kepada PT Indorayon, yang sekarang sudah berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari. Pemberian izin kepada perusahaan tersebut mengakibatkan setengah dari hutan adat Sihaporas ikut dalam wilayah konsesi.
Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana eksploitasi skala besar dan pemberian izin terhadapnya telah menyebabkan tergusurnya komunitas adat dari ruang hidupnya. Sekali komunitas tergusur dari ruang hidupnya, maka penghancuran ekosistem skala besar dimulai karena eksploitasi massif yang tidak berkelanjutan.
Perlunya Pengakuan di Level Daerah
Dalam memperjuangkan pengakuan masyarakat adat di daerah, sejak tahun 2017, Koalisi Ranperda Masyarakat Adat Sumatera Utara (HaRI, WALHI Sumut, KSPPM, BPRPI, BAKUMSU, AMAN Sumut, dan AMAN Tano Batak), terus mendorong dan mengawal Ranperda tentang Tata Cara Pengakuan, Perlindungan Hak dan Penetapan Masyarakat Adat. Dengan adanya Perda ini di tingkat provinsi, maka kabupaten/kota tidak perlu lagi membuat Perda serupa. Sehingga masyarakat adat yang ada di 33 kabupaten kota tidak perlu terjebak dalam proses legalisasi yang tak jarang memakan waktu tidak sebentar, serta melewati banyak tahapan.
Ini menjadi langkah penting, sebab di sisi lain konflik mereka dengan pihak swasta dan negara terus menerus terjadi. Ketiadaan peraturan menjadi sumber utama, ditambah tak jarang para pemangku kepentingan terkait, kerap menyalahtafsirkan aturan yang ada saat ini.
Menuju Pengesahan Perda Registrasi Masyarakat Adat di Sumut
Ranperda tentang Tata Cara Pengakuan, Perlindungan Hak dan Penetapan Masyarakat Adat, yang diusulkan koalisi kepada DPRD, akan memberikan jaminan hukum bagi pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat adat di suatu wilayah, didasari genealogis, teritorial dan gabungan genealogis-teritorial, serta menempatkan kedudukan masyarakat adat sebagai subjek hukum yang sama sebagai warga negara Indonesia.
Dalam draf versi Koalisi Masyarakat Sipil Sumut, terdapat pula perlindungan dalam wilayah, termasuk hutan adat untuk akses pengelolaan, dan pelestarian sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Berikutnya, praktik-praktik kebudayaan setempat, dan nilai-nilai kearifan lokal dapat dilestarikan. Selain itu, Ranperda ini diharapkan mengikutkan pengaturan mekanisme penyelesaian konflik masyarakat adat dengan menggunakan mekanisme hukum adat setempat.
Berdasarkan hasil rapat dengar pendapat dengan koalisi bulan Februari 2020 lalu, DPRD bersama SKPD terkait menyambut baik Ranperda tersebut. Selain itu, DPRD berkomitmen untuk segera mengesahkan-nya tahun ini juga. Koalisi juga sudah bertemu dengan ketua DPRD Sumut yang disambut baik Baskami Ginting di ruang kerjanya, awal Februari lalu. Tentu semua menunggu hasil nyata dari sikap badan legislatif daerah, sebab dalam 5 tahun terakhir Ranperda ini hanya keluar masuk Prolegda. Koalisi berharap Ranperda ini dapat segera diketuk palu oleh DPRD Sumatra Utara tahun 2020 ini.
Sekali lagi, pandemi Covid-19 adalah momentum memperteguh percepatan pengakuan komunitas komunitas adat di Sumatera Utara. Registrasi atau mendaftarkan komunitas di seluruh Sumatera Utara sebagai komunitas yang diakui, adalah langkah awal mengurangi terjadinya pengrusakan terhadap alam, dan mendukung tatanan ekosistem berkelanjutan yang dimotori oleh masyarakat adat di berbagai kabupaten.
===
Penulis adalah Koordinator Bidang Pengelolaan Pengetahuan, Hutan Rakyat Institute (HARI)
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]