Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Secara tidak langsung pajak memainkan peran krusial dalam menjaga ketersediaan pasokan bahan pangan hingga sampai tersaji di atas meja makan kaum urban. Nasi, sayur bahkan buah-buahan adalah saksi bisu tentang perjuangan petani yang membanting tulang, berteman dengan lumpur dan berpeluh keringat di bawah terik matahari. Dan bagaimana bahan pangan itu bisa sampai di atas meja makan, di situ ada peran infrastruktur yang asalnya dari kontribusi pajak.
Sebagai kontributor utama dalam menyangga sekitar 70% pemasukan kas negara dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), pajak menjadi tulang punggung pembangunan. Termasuk dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan melalui pembangunan infrastruktur penunjang produktivitas hasil tani, seperti waduk dan irigasi. Juga pada urusan distribusi hasil tani melalui pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan-jembatan sebagai katalisator arus distribusi bahan pangan dari desa ke kawasan urban.
Peran Krusial Pajak di Infrastruktur
Krusialnya peran pajak terhadap pembangunan negara sama pentingnya dengan peran bahan pangan terhadap manusia. Ketika suplai bahan pangan minim, maka minim pula makanan yang bisa diolah dan dihidangkan di atas meja. Pun dengan negara, ketika pasokan pendapatan dari pajak minim, maka minim pula pembangunan yang bisa dilakukan. Akhirnya, demi menjaga stabilitas pembangunan infrastruktur dan ekonomi, pemerintah terpaksa mengambil jalan utang.
Untuk itulah perolehan pajak harus terus digenjot, bukan hanya sekadar untuk meminimalkan utang, tapi lebih dari itu ada sektor-sektor yang harus terus berjalan. Khususnya sektor pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan melalui pembangunan infrastruktur. Sayangnya, sampai saat ini penerimaan negara dari pajak terbilang belum berjalan optimal. Dari tahun ke tahun, target dari penerimaan pajak jarang terpenuhi.
Tahun 2019, misalnya. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, realisasi pendapatan negara dari penerimaan perpajakan sebesar triliun atau 86,5% dari target yang sebesar Rp 1.786,4 triliun. Pun dengan tahun-tahun sebelumnya yang juga senada, tak tercapai target 100%.
Ihwal belum tercapainya target perolehan pajak ini dikarenakan masih banyaknya masyarakat dan badan atau perusahaan yang belum taat pajak. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, jumlah SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) yang sudah masuk per tanggal 1 Mei 2020 hanya sebanyak 10,98 juta, atau turun 9,4% dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 12,19 juta SPT. Padahal jika menilik jumlah wajib pajak yang terdaftar per tanggal 31 Desember 2019, jumlahnya sekitar 42 juta dengan sekitar 19 juta di antaranya wajib lapor SPT.
Ini artinya masih banyak masyarakat yang belum tuntas menuaikan wajib pajak. Sekaligus menunjukkan bahwa sebenarnya pendapatan negara dari pajak bisa digenjot ke level optimal jika saja masyarakat dan perusahaan taat membayar pajak.
Berandai-andai jika perolehan pajak bisa optimal, maka sudah pasti pembangunan infrastruktur untuk mewujudkan ketahanan pangan juga bisa optimal. Apalagi sampai saat ini, ketahanan pangan Indonesia belum berada di level yang memuaskan.
Berdasarkan catatan Global Food Security Index (GFSI) tahun 2019, status ketahanan pangan Indonesia masih berada di peringkat 62. Kalah dari Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam.
Sementara dari sisi availability atau aspek yang mengukur kecukupan pasokan pangan nasional dan kapasitas negara untuk mendistribusikan pangan, Indonesia masih menempati peringkat 48. Salah satu indikator yang masih terlihat lemah adalah ketersediaan infrastruktur pertanian yang masih berada di angka 46,2%, sementara angka rata-rata negara dunia sebesar 62.9%. Soal infrastruktur jalan juga senada, masih berada di angka 25%, sementara angka rata-rata negara dunia sebesar 45%.
Tentu saja sebagai negara yang dikenal subur tanahnya, angka ini belum cukup memuaskan, dan masih bisa digenjot ke level yang lebih baik. Syaratnya tentu dengan mewujudkan ketahanan pangan yang lebih baik.Dimulai dari penyediaan infrastruktur pertanian dan akses jalan yang pendanaanya sudah pasti bersumber dari pajak.
Pajak dan Ketahanan Pangan
Pilar pertama dalam mewujudkan ketahanan pangan itu dimulai dari meningkatkan produksi hasil tani. Implemantasinya dengan meningkatkan ketahanan air, karena nyatanya masih banyak petani yang gagal panen karena lahan kekurangan air atau terpaksa “mengistirahatkan” sawahnya karena takut gagal panen saat musim kemarau tiba. Padahal jika sepanjang tahun petani bisa terus berproduksi, maka ketahanan pangan secara otomatis juga meningkat.
Strategi membangun ketahan air dapat dicapai dengan pembangunan dan peremajaan waduk serta rehabilitasi DAS (Daerah Aliran Sungai), yang kemudian semua itu terintegrasi dengan irigasi pertanian. Dengan begitu, siklus produksi hasil pertanian bisa berjalan sepanjang tahun dan imbasnya tentu peningkatan produktivitas tahunan hasil tani.
Pilar kedua yaitu menjamin kelancaran distribusi hasil tani, yang mana jikadistribusi terhambat, bahan pangan seperti sayur dan buah sudah pasti busuk di jalan sebelum sampai di kawasan urban. Untuk itulah pajak dibutuhkan sebagai sumber pendanaan infrastruktur jalan dan jembatan. Sebab ketika laju kerusakan infrastruktur jalan-jembatan lebih cepat dibandingkan laju pembangunan dan perbaikannya, maka otomatis tingkat kerusakan secara akumulatif terus meningkat.
Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), Anita Firmanti dalam acara sosialisasi laporan SPT menyebutkan saat ini infrastruktur yang dibangun Kementerian PUPR melalui pajak di antaranya pembangunan 16 waduk baru dan penyelesaian 45 bendungan yang sudah dibangun. Kemudian membangun 500 ribu jaringan irigasi baru, dan rehabilitasi 2,5 juta irigasi serta membangun 3.000 kilometer jalan baru.
Memang pembangunan infrastruktur diatas menunjukan trend yang positif. Namun, jumlah itu sejatinya belum cukup dan perlu ditambah untuk mewujudkan ketahanan pangan yang lebih baik. Apalagi seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan diversifikasi hasil olahan pangan membutuhkan pasokan bahan pangan yang tidak sedikit.
Data Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Provinsi Jakarta menyebutkan dalam sehari saja kebutuhan pangan di Jakarta sebanyak1.895 ton beras, 1.000 ton buah-buahan, dan 1.177 tonsayur-mayur. Itu baru di Jakarta saja, belum kota-kota lainnya.Sehingga peran infrastruktur jalan dan jembatan menjadi aktor utama dalam menjaga ketepatan waktu bahan pangan sampai di kawasan urban.
Melihat betapa krusialnya peran pajak dalam pembangunan bangsa khususnya menjaga ketersediaan bahan pangan, sudah selayaknya masyarakat dan perusahaanberbondong-bondong taat membayar pajak.Bukan hanya sebagai kewajiban, lebih dari itu sebagai manifestasi cinta negara dengan turut andil dalam hajat pembangunan bangsa. Toh,dengan tersedianya pasokan pangan yang cukup akan berimbas pada kemudahan mendapatkan bahan pangan yang terjangkau.
Itulah kenapa membayar pajak wajib dilakukan sebagai bentuk kontribusi terhadap negara yang manfaatnya akan kembali lagi pada si pembayar pajak. Sebab, setiap triliun uang yang dihasilkan dari pajak sangat berati penting bagi pembangunan negara, khususnya ketahanan pangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam dalam agenda sosialisasi tax amnesty di Kota Makassartahun 2016 pernah mengungkapkan tentang arti penting satu triliun bagi Indonesia. Ia menyebutkan "Apa arti satu triliun penerimaan pajak bagi Indonesia? Satu triliun penerimaan pajak sama dengan membangun jembatan 3,5 kilometer. Sama dengan kita membangun jalan raya sepanjang 155 km," ujarnya.
Itulah kenapa budaya membayar pajak penting ditumbuhkandi tengah masyarakat sebagai manifestasi semangat gotong royong yang menghasilkan manfaat berantai.Tidak hanya bagi petani agar bisa terus-menerus memproduksi bahan pangan, tapi juga bagi kaum urban karena setiap makanan yang tersaji di atas meja ada peran pajak.
===
Penulis Kepala Divisi Pendidikan dan Pengkaderan Perkumpulan Garuda Sylva.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]