Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kehadiran ekonomi berbasis agama, di satu sisi, memang sanggup mematahkan argumen kaum positivis yang berdalih bahwa masa depan agama akan dilibas oleh kekuatan ideologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Namun di sisi lain, kemunculan ekonomi Yahudi, ekonomi Kristen, ekonomi Islam, ekonomi Hindu, atau ekonomi Buddha yang mewarnai literatur-literatur ekonomi belakangan ini memunculkan pemahaman berbeda bahwa ini tidak lain adalah agenda ekonomi kelompok radikal keagamaan.
Terlepas dari anggapan yang masih memerlukan kajian mendalam tersebut, tidak dapat disangkal bahwa banyak gerakan keagamaan yang memiliki agenda ekonomi. Gerakan ini muncul guna merekonstruksi sistem ekonomi yang sesuai dengan ketentuan agama mereka masing-masing, karena sistem ekonomi saat ini, terutama kapitalisme dan sosialisme, dinilai gagal mensejahteran umat manusia.
Memang, agenda utama ekonomi gerakan yang dibawa para pemikir keagamaan tersebut terlihat berbeda dengan ekonomi konvensional. Setiap agenda ekonomi yang mereka usung memliki warisan dan ciri filosofis serta wacana yang unik. Ekonomi keagamaan hampir tidak mau saling bertukar gagasan dan metode. Kita bisa membaca ribuan halaman literatur yang membahas ekonomi Islam, misalnya, yang tidak mau “menyapa” referensi yang mengkaji ekonomi Kristen, dan begitu juga sebaliknya. Ekonomi semacam ini mempunyai tujuan menggantikan pemikiran ekonomi sekuler, ilmu ekonomi yang lepas dari agama.
Ketidakmauan penulis-penulis literatur ekonomi agama menggunakan literatur agama lain diduga karena mereka saling menonjolkan kebaikan dan superioritas agama mereka masing-masing. Kekhawatiran saya bahwa sikap saling tertutup dan menjauhkan diri ini akan memicu ketegangan yang tidak sehat. Semoga tidak menjadi kenyataan! Yang paling penting, menurut saya, para pegiat ekonomi keagamaan berlomba-lomba menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi.
Persoalan Ekonomi
Kita menghadapi persoalan ekonomi yang datang silih berganti. Kemiskinan, pengangguran, inflasi, ketimpangan pendapatan, dan sejenisnya selalu menjadi hantu dalam sejarah pekonomian. Ekonomi keagamaan, saya lihat, lebih senang menampilkan identitas ketimbang menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi umat manusia. Hampir semua ilmuwan ekonomi setuju bahwa pemanasan global adalah fakta. Namun, menurut Yuval Noah Harari, sejarawan Israel dalam bukunya, “21 Lessons for the 21st Century”, mengatakan bahwa tidak ada konsensus mengenai reaksi ekonomi terbaik untuk mengatasi ancaman ini. Tulisan-tulisan suci kuno bukan panduan yang baik untuk persoalan ekonomi modern.
Harari mengakui kebenaran tentang rabi-rabi dan ayatollah di negara Israel dan Iran, misalnya, yang memiliki pernyataan langsung tentang kebijakan ekonomi pemerintah, dan bahkan di negara-negara sekuler seperti Amerika Serikat dan Brasil. Para pemimpin agama mempengaruhi opini publik mengenai hal-hal mulai dari perpajakan hingga peraturan lingkungan. Namun, pada kenyataannya, dalam sebagian besar kasus ini, agama tradisional hanya memainkan biola kedua (peran asisten) dari teori-teori sains modern.
Harari memberikan contoh. Ketika Ayatollah Khamenei perlu membuat keputusan penting tentang ekonomi Iran, dia tidak akan menemukan jawaban yang diperlukan dalam Alquran, karena orang Arab abad ketujuh tahu sedikit tentang masalah dan peluang ekonomi industri modern dan pasar keuangan global. Sehingga, dia dan para pembantunya harus menengok Karl Marx, Milton Friedman, Friedrich Hayek, dan sains ekonomi modern untuk mendapatkan jawaban.
Setelah memutuskan untuk menaikkan suku bunga, menurunkan pajak, memprivatisasi monopoli pemerintah, atau menandatangani perjanjian tarif internasional, Khamenei kemudian dapat menggunakan pengetahuan dan otoritas religiusnya untuk membungkus jawaban ilmiah dalam pakaian dari ayat Alquran, dan menyampaikan kepada masyarakat sebagai kehendak Allah. Dan pakaian ini menyesatkan. Ketika kita membandingkan kebijakan ekonomi Iran yang syiah, Arab Saudi yang Sunni, Israel yang Yahudi, India yang Hindu, dan Amerika yang Kristen, baru kita bisa melihat bahwa tidak ada banyak perbedaan di antara mereka.
Harari juga mengkritik para pemikir Muslim, Yahudi, Hindu, dan Kristen yang selama abad ke-19 dan abad ke-20 mencerca materialisme modern, melawan kapitalisme yang tanpa jiwa, dan melawan akses-akses negara birokrasi. Mereka, para pemikir keagamaan, berjanji bahwa jika saja mereka diberi kesempatan, mereka akan menyelesaikan semua masalah modernitas dan membangun sistem sosio ekonomi yang sama sekali berbeda berdasarkan nilai-nilai spiritual abadi dari keyakinan mereka.
Saat mereka diberi beberapa kesempatan dan peluang, satu-satunya perubahan nyata yang mereka buat terhdap bangunan ekonomi modern hanya mengecat ulang dan menempatkan sabit, salib, bintang Daud atau om berukuran besar di atapnya. Mereka tidak membongkar dan mengganti pondasi ekonomi modern dengan ekonomi berbasis keagamaan mereka masing-masing.
Dalam urusan ekonomi, keahlian para ahli agama yang telah lama diasah dalam menafsirkan kembali teks-teks suci membuat agama menjadi tidak relevan. Dalam kasus Khamenei, tidak peduli kebijakan ekonomi mana yang dipilihnya, dia selalu bisa mengaitkannya dengan Alquran. Akibatnya, Alquran terdegradasi dari sumber pengetahuan sejati menjadi sumber otoritas belaka. Ketika kita menghadapi dilema ekonomi yang sulit, kita membaca Marx dan Hayek secara cermat, dan gagasan ekonomi mereka membantu kita memahami sistem ekonomi dengan lebih baik, melihat sesuatu dari sudut pandang baru, dan memikirkan solusi potensial.
Setelah merumuskan suatu jawaban, kita beralih ke Alquran dan kita membacanya secara cermat untuk mencari beberapa ayat yang, jika ditafsirkan dengan cukup imajinatif, dapat membenarkan solusi yang kita dapatkan dari Marx atau Hayek. Tidak peduli apa solusi yang kita temukan di sana, jika kita ahli Alquran yang baik, kita selalu dapat membenarkannya.
Hal yang sama berlaku untuk agama Kristen. Seorang Kristen dapat menjadi kapitalis semudah menjadi sosialis, dan meskipun beberapa hal yang dikatakan Yesus benar-benar berbau komunisme, namun selama perang dingin, kapitalis Amerika yang saleh terus membaca khotbah di atas bukit tanpa banyak memperhatikan.
Intinya, tidak ada yang namanya “ekonomi Kristen, “ekonomi Islam, “atau “ekonomi Hindu”. Bukannya tidak ada ide ekonomi dalam Alkitab, Alquran atau Weda. Hanya, ide-ide ini tidak mutakhir, tidak relevan menjawab tantangan ekonomi modern. Inilah tantangan bagi pemikir ekonomi keagamaan untuk melakukan kerja-kerja intelektual guna menemukan solusi atas persoalan ekonomi modern, yang digali secara murni dari sumber ajaran mereka masing-masing.
Bagi saya, boleh saja di negeri ini berdiri bank Islam, asuransi Kristen, koperasi Yahudi, pasar modal Hindu, atau pariwisata Buddha, misalnya, asalkan pendirian bisnis berbasis agama tersebut mampu menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi individu, masyarakat, dan bangsa. Siapkah kita memulai mengimplementasikan ajaran-ajaran kitab suci kita masing-masing di lapangan ekonomi demi kesejahteraan umat manusia?
===
Penulis Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Lamongan (UNISLA), Jawa Timur.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]