Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Darma Bakti Siregar tampil sebagai salah satu pemantik diskusi daring yang diadakan Walhi Rabu, 8 Juli 2020. Diskusi daring bertema Mendorong Penguatan Perlindungan Ekosistem Batang Toru membahas soal bagaimana nasib masyarakat Adat di sekitar vis a vis kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah.
Hadirnya Darma Bakti menjadi pembeda. Ia adalah Raja Luat atau pemimpin Masyarakat Adat Marancar. Sudut pandangnya mengangkat keberadaan masyarakat adat dan nasibnya di tengah kepungan pembangunan, mulai dari PLTA yang dibangun PT North Sumatra Hydro Energy/NSHE hingga tambang emas PT Agincourt Resources.
Umumnya kita dengar pembahasan daerah ini hanya fokus pada ekosistem dan orang utan. Orang utan Tapanuli spesies langka di dunia. Spesies ini menarik banyak ahli untuk menyoroti keselamatan binatang langka yang diperkirakan populasinya tinggal 800 ekor.
Sayangnya, keberadaan masyarakat adat atau manusia yang menjadi penghuni wilayah itu sangat jarang dibicarakan. Mereka mungkin diliput media kala melawan rencana perampasan wilayah adat mereka. Para konservasionis tidak ambil pusing dengan hadirnya perusahaan-perusahaan. Mereka lebih cinta pada lingkungan yang berupa hutan lebat, salah satu tutupan hutan penjaga iklim bumi, serta spesies langka. “Di ekosistem ini monyet dan binatang-binatang lebih dihormati daripada masyarakat adat,” katanya.
Kawasan ekosistem ini jauh lebih berharga daripada sekadar soal hutan dan binatang. Menarik ketika Darma Bakti menyebut kata kunci yang selama ini jarang didengar. Dia bilang istilah Batang Toru sangat mengganggu. Sesungguhnya kawasan dalam ancaman ini masuk luat (wilayah) Simarboru, yaitu Sipirok, Marancar dan Batang Toru. Tiga kabupaten (Tapanuli Selatan, Utara dan Tengah) bersinggungan dalam diagram serempet bahaya. Simarboru berpenduduk masyarakat adat yang sudah turun-temurun hidup di sana berdampingan dengan alam dan segala pengisinya. Termasuk orang utan Tapanuli yang lebih ditonjolkan itu.
Darma Bakti bilang, mereka sebagai Masyarakat Adat Marancar justru jadi penonton atas segala perhatian dan ancaman. Orang lain datang memberi perhatian pada orang utan Tapanuli, termasuk para ahli dari mancanegara, namun mereka luput memperhatikan manusia, yaitu masyarakat adat.
Di sisi lain, ancaman hadirnya pertambangan sampai PLTA tidak menjadi perhatian khusus. Padahal kalau ada risiko dari proyek-proyek ini, merekalah yang pertama dan utama yang akan menjadi korbannya.
Aneh tapi bukan baru. “Mata” orang luar Simarboru sepertnya lebih melihat peluang sumber daya menggiurkan serta keeksotisan binatang langka semata. Untuk mengetahui kondisi yang dihadapi Masyarakat adat di sana, tontonlah film pendek karya Nanang Sujana berjudul “Harangan Tapanuli: Voices from Batang Toru River Communities”. Masyarakat adat sekitar PLTA mengalami kerugian dalam kehidupan sehari-harinya.
Nafi Hutahaean, warga adat yang bekerja sebagai nelayan di Sungai Batang Toru memperlihatkan bubu yang dipasangnya kini hanya menangkap beberapa ekor ikan kecil. Ia cerita sebelum Sungai Batang Toru tercemar, ikan tangkapan bubunya banyak.
Nafi menjadi satu-satunya yang masih setia menangkap ikan. Beberapa warga lainnya sudah meninggalkan tradisi itu. Percuma mempertahankannya jika ikan sudah tinggal sedikit, sebab sejak sungai dicemari limbah pertumbuhan ikan menyusut drastis.
Nurhaida Pasaribu tak pernah membayangkan pikirannya mulai dihantui kekhawatiran akan sawahnya kekeringan. Dikatakan, PLTA akan membendung sungai selama 18 jam per harinya yang air sungai tersebut Nurhaida dan warga sekitar manfaatkan untuk mengairi sawahnya. “Hanya saba (sawah) ininya penghidupan kami dari dulu sampai sekarang. Janganlah diubah, itu sudah hidup kami,” kisahnya.
Tahun 2017 penduduk sekitar telah berdemonstrasi menolak PLTA Batang Toru yang diproyeksikan menghasilkan listrik 510 Mega Watt. Pembangunan ini merupakan cita-cita pemerintah pusat yang menargetkan 2028 tercipta 35.000 MW listrik nasional.
Hal menarik dan teramat penting dipertimbangkan disampaikan Raja Luat dengan tegas,“Kami tidak anti pembangunan, tidak menolak PLTA. Tapi ingat! Tidak ada harimau lapar di hutannya. Kalau suara kami tidak didengar kami akan melawan”.
Ia kemudian menegaskan perkataannya secara adat yang sangat masuk akal dan memang kenyataan. Tanah di Luat Marancar terbagi habis oleh Lobu Lobu. Mau menyelamatkan ekosistem hutan Batang Toru, hormati dan lindungi hak-hak masyarakat adat. Sudah ada putusan MK 35 yang menegaskan pengakuan atas wilayah adat termasuk hutan adat bukan hutan negara.
Selama ini, kehadiran pembangunan-pembangunan tersebut jauh dari Free Prior and Inform Consent atau persetujuan bebas tanpa paksaan. Sudah jadi peraturan internasional bahwa setiap rencana pembangunan harus dibicarakan dan diserahkan keputusannya pada masyarakat adat atau warga lokal di mana pembangunan direncanakan berlokasi.
====
Penulis pengamat lingkungan.
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]