Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ada korelasi kuat antara guru dan murid baik secara jasmani maupun rohani, khususnya dalam aspek pendidikan. Guru memberi ilmu, dan murid menerima ilmu. Ilmu tidak akan pernah membekas jika keduanya tidak saling berkelindan. Maksudnya, ilmu tidak akan pernah sampai kepada murid jika guru tidak tulus memberikan. Dan murid tidak dapat menerima ilmu jika mereka tidak memberi penghormatan.
Dan ketulusan guru akan lahir dari sebuah kondisi tanpa banyak tuntutan yaitu kemerdekaan. Kemerdekaan di sini bukan berarti bebas tanpa aturan, tapi bebas dalam koridor yang telah ditetapkan. Hal ini perlu ditekankan agar frase “kebebasan” tidak disalahartikan sehingga berakibat kebablasan.
Dalam segi umur, bangsa kita telah mencapai 75 tahun dan kita baru saja merayakannya. Usia yang cukup matang untuk membawa kemajuan bangsa di berbagai bidang. Namun, sayangnya usia kemerdekaan negeri ini yang sudah hampir berusia sepuluh windu tidak sejalan dengan kemerdekaan guru sebagai garda terdepan dalam memajukan pendidikan. Mengapa kemerdekaan guru sangat perlu? Mengutip perkataan Menteri pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim karena bangsa kita tidak hanya mengalami krisis ekonomi dan budaya, akan tetapi juga krisis pembelajaran. Dan dalang utama dalam pembelajaran adalah guru.
Dalam praktiknya, guru masih mengalami keterjajahan (kolonialisme) yang menyebabkan mereka tidak leluasa mengajar anak didik. Ada tiga indikasi lawas yang menimpa guru sehingga tidak merdeka dalam mengajar. Pertama, administrasi guru. sebelum ini kita dihadapkan dengan administrasi pendidikan yang cukup menyita waktu. Seperangkat administrasi yang dari banyaknya dapat memecah atensi guru dalam mendidik siswa.
Padahal, dalam acara HUT Ke-72 PGRI dan Hari Guru Nasional 2 Desember 2017 di Bekasi, Presiden Joko Widodo pernah menegaskan “Jangan lagi ruwet-ruwet, jangan lagi mbulet-mbulet. Saya mau persolan administrasi guru segera disederhanakan”. Pernyataan presiden tersebut merupakan sindiran satir rumitnya sistem pendidikan di negeri ini.
Kedua, kesejahteraan guru. ini menjadi fenomena klasik yang tak kunjung menemukan titik temu. Kesejahteraan guru memang tidak merata ke seluruh pelosok negeri. Di tanah kelahiran penulis, Madura sudah menjadi hal lumrah guru honorer digaji hanya dua ratus ribu hingga tiga ratus ribu setiap sebulan. Dan ini tidak menutup kemungkinan terjadi pula di daerah-daerah lain di seluruh pelosok negeri. Kondisi demikian memicu guru berpikir ulang untuk memperoleh uang tambahan. Maka tak heran jika ada guru nyambi bekerja di sawah, berjualan di pasar, atau pekerjaan sampingan lainnya.
Ketiga, pola pikir guru. Jika kita perhatikan, salah satu faktor mendasar dari minimnya kompetensi guru adalah cara pandang mereka yang konservatif. Tidak open minded dengan hal-hal baru. Tidak sedikit guru yang terlena dengan zona nyaman, terbius dengan pola lama yang sudah tidak relevan dengan tuntutan zaman. Ghirah untuk meningkatkan kapasitas keilmuannya nihil, kurang antusias menjemput perubahan-perubahan.
Ketika guru merasa tidak merdeka dalam mengajar, efek paling utama adalah siswa tidak mereka pula dalam belajar. Manakala pembelajaran hanya dilaksanakan dengan ala kadarnya, otomatis para siswa tidak merasa tertarik. Misal, guru mengajar dengan cara membosankan, siswa akan sulit menerima pengetahuan. Formula sederhananya begini, guru sibuk dengan kerja sampingan sehingga tidak sempat membuat perencanaan pembelajaran. Akhirnya, pembelajaran disampaikan dengan kaku, sehingga muridpun tidak menyerap pelajaran dengan baik.
Padahal dari ruang-ruang pembelajaran inilah nasib bangsa ditentukan. Pola pembelajaran yang disampaikan guru sangat berpengaruh dalam mencetak generasi-generasi di masa depan. Ketika ruang pembelajaran diemplementasikan dengan serampangan jangan berharap kita bisa menghasilkan generasi-generasi handal. Kondisi demikian membuat bangsa kita tidak ada kemajuan, stagnasi. Tertinggal jauh dari negara-negara lain. Tentu bukan ini yang kita harapkan.
Dengan demikian kemerdekaan guru dalam mengajar mutlak ditunaikan agar anak didik merdeka pula dalam belajar. Untuk membebaskan guru dari belenggu keterjajahan yang selama ini mengekang, dibutuhkan berbagai langkah perbaikan. Pertama, penyederhanaan adminitrasi guru. Terkait ini Nadiem Makarim telah menggagas kebijakan Merdeka Belajar yang salah satunya adalah perampingan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) menjadi satu lembar. Tentu ini menjadi aroma segar dalam memantik spirit para guru.
Merdeka belajar menjadi terobosan baru bagi dunia pendidikan. Administrasi guru yang awalnya rumit saat kini berubah menjadi lebih humanis. Ini adalah satu iktikad bersama agar guru dan murid bahagia dalam belajar tanpa dibebani dengan berkas administrasi yang menumpuk. Hal ini bertujuan agar pembelajaran dapat berjalan tanpa paksaan namun tepat sasaran.
Kedua, terpenuhinya kesejahteraan guru. Memang, selama ini sudah ada dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk memberikan tambahan insentif kepada guru, meski nominal yang didapatkan belum mencapai taraf kesejahteraan. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini pemerintah perlu mengatur mekanisme yang adil dalam mengucurkan gaji bagi para guru, khsususnya guru honorer baik guru sekolah swasta maupuan guru sekolah negeri.
Ketiga, mengubah cara pandang guru. Mengubah pola pikir memang tidak mudah, perlu perjuangan berat, tapi bukan berarti tidak mungkin. Ada dua faktor yang dapat mengubah mindset guru agar keluar dari zona nyaman. Pertama, faktor internal, yaitu pengaruh yang timbul dari guru sendiri. Guru harus sadar bahwa perubahan ke arah yang lebih baik akan terjadi jika guru tersebut memiliki tekad kuat yang berasal dari dirinya sendiri. Kedua, faktor eksternal, yaitu pengaruh yang berasal dari luar, misalnya peran sekolah dengan mengadakan pelatihan-pelatihan peningkatan kesadaran dan kompetensi guru.
Akhirnya, ketika guru telah terlepas dari tali kekang yang selama ini menjeratnya, maka pembelajaran dapat berjalan dengan efektif, kondusif, dan bahagia. Guru adalah ujung tombak kesuksesan pembelajaran, ketika guru merdeka mengajar, maka murid akan merdeka belajar. Di tangan mereka pulalah kebijakan Merdeka Belajar akan ditentukan. Semoga dengan kebepihakannya kepada guru, Merdeka Belajar dapat mengubah arah pendidikan Indonesia yang lebih baik.
====
Penulis Guru SMPIT Annur Cikarang Timur, Bekasi. Anggota Komunitas Pendidik Penulis Bekasi Raya (KPPBR).
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]