Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Belakangan ini, wacana dibukanya kembali gedung bioskop mengundang pro dan kontra. Beberapa provinsi, mulai mewacanakan agenda pembukaan gedung bioskop. Bahkan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wishnutama juga mendukung wacana itu. Sebab, pademi COVID-19 telah melumpuhkan pemasukan pekerja-pekerja kreatif sinematografi, sehingga upaya pemulihaan di sektor ekonomi kreatif menjadi dalil utamanya.
Bagi saya, urgensi pembukaan gedung bioskop hanya terlihat sebagai upaya pemerintah di dalam agenda pemulihan ekonomi pekerja-pekerja kreatif. Atau, bisa jadi, adanya pandangan pemerintah bahwa masyarakat sedang mengalami darurat hiburan. Apalagi, karena telah cukup lama, sampai berbulan-bulan masyarakat melakukan hibernasi di dalam rumah, jadi tidak ada salahnya untuk mengizinkan pembukaan gedung bioskop. Sehingga, ada waktu untuk me time.
Padahal, jika melihat keadaan pandemi di Indonesia, belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang cukup signifikan. Di tempat saya tinggal, sudah mulai banyak warga yang mengabaikan protokol kesehatan. Minim penggunaan masker, jaga jarak dan cuci tangan. Sehingga, urgensi darurat hiburan dan upaya pemulihan ekonomi pekerja-pekerja kreatif seharusnya menjadi prioritas kedua dan ketiga setelah agenda pembiasaan kebudayaan baru masyarakat.
Artinya, pembiasaan kebudayaan baru di dalam penerapan protokol kesehatan, harus benar-benar ditekankan pada masyarakat terlebih dahulu. Baru kemudian, wacana pembukaan sarana dan prasarana hiburan dibuka secara masif. Malahan, wacana kampanye protokol kesehatan sesuai pernyataan Presiden belum terdengar realisasinya sampai sekarang.
Mempertanyakan Relevansi
Sebagai penikmat film-film The Walt Disney Company, saya mengetahui, kalau cara perusahaan perfilman itu dalam menyelamatkan pekerja-pekerja kreatif mereka, yakni dengan memindahkan rilis filmnya ke kanal Youtube dan Aplikasi Disney Plus. Harga langganan aplikasinya sekitar 30 dollar (lebih kurang= Rp.400.000) per tahun di Asia Tenggara. Dengan harga yang cukup terjangkau, varian film dari studio Marvel, Disney, Pixar dan Nat Geo bisa dinikmati di layar kaca dan tentu saja bisa diakses dari rumah.
Karena itu, saya cukup heran, kenapa gedung bioskop sangat cepat untuk dibuka. Toh, di Indonesia ada beberapa aplikasi layanan streaming video on demand (VOD), seperti Viu, Video, Iflix, Netflix, HBO Go dan WeTV. Aplikasi-aplikasi ini akan sangat membantu, jika film-film baru Indonesia bisa disalurkan kesana. Atau, paling tidak, kita bisa membuat aplikasi sendiri sehingga layanan film terbaru nasional bisa disaksikan, tanpa adanya pengurangan/potongan keuntungan film bila akhirnya menggunakan aplikasi VOD milik swasta.
Itu sebabnya, alasan untuk menyelamatkan dunia ekonomi kreatif tidak cukup relevan jika upaya mengatasinya dengan membuka gedung bioskop di tengah pandemi COVID-19, seperti sekarang ini. Paling hanya sekadar sensasi di dalam pemanfaatan fasilitas gedung bioskop yang ingin dicari pengunjung. Mulai dari karpet empuk di lobi gedung, dingginnya AC, aroma pop corn, layar bioskop dan sound system kualitas tinggi. Pokoknya, pengunjung akan sangat dimanjakan jika menonton film di bioskop. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan penerapan protokol kesehatan? Dan, apakah sensasi yang diharapkan pengunjung bioskop bisa kembali dirasakan di situasi pandemi seperti sekarang ini?
Pengetatan Protokol Kesehatan
Sudah pasti pembelian karcis harus memanfaatkan sistem online. Lalu, pemeriksaan suhu dan masker sebelum memasuki gedung bioskop. Kemudian, beberapa petugas biasanya akan memeriksa tas pengunjung--memeriksa ada/tidaknya makanan-minuman bawaan dari luar--apakah agenda penyelidikan ini masih akan dilakukan? Lalu, gedung bioskop memiliki koridor yang sempit, sehingga interaksi antar pengunjung akan sangat sulit untuk dihindari. Jarak antar bangku akan dibatasi. Kemudian, gedung bioskop yang dingin, memungkinkan kita untuk ke kamar mandi sewaktu-waktu kala film berlangsung, jika demikian apakah toilet dan wastafel bisa dijamin kebersihannya?
Dari beberapa perkiraan teknis tersebut, sebenarnya bisa disimpulkan bahwa, sensasi yang diharapkan seperti biasanya di gedung bioskop nyaris tidak lagi akan terpenuhi seperti sebelumnya. Intinya, sama saja seperti menonton film di TV, Leptop dan ponsel. Malahan, akan lebih santai jika menyaksikan film di rumah.
Nah, di titik ini, saya khawatir. Jangan sampai gedung bioskop menjadi claster baru munculnya kasus COVID-19. Jika sampai terjadi, maka tidak hanya nyawa yang akan melayang. Bisa-bisa, pekerja-pekerja kreatif sinematografi yang justru semakin dirugikan, karena ekspektasi jumlah penonton yang semakin menurun dan rendahnya pembelian tiket. Untuk itu, opsi pencanangan aplikasi Video on Demand berbayar asli milik Indonesia bisa menjadi opsi. Film-film nasional bisa diselamatkan dengan menyalurkannya secara independen di aplikasi VOD lokal itu.
Penutup
Urgensi di dalam sosialisasi kebiasaan barulah yang perlu digencarkan, kemudian sektor-sektor pariwisata dibuka secara perlahan. Masalahnya sekarang, angka korban pandemi COVID-19 masih terbilang tinggi. Dengan membuka gedung bioskop, memunculkan peluang adanya claster baru terjadinya penyebaran virus COVID-19. Apalagi, gedung bioskop dingin dan tertutup. Hampir sama keadaannya seperti di dalam pesawat terbang. Bahkan untuk memasuki pesawat terbang harus melalui rapid test terlebih dahulu. Lebih ketat dari gedung bioskop, padahal sensasi yang akan dirasakan terbilang sama (haha).
Nah, jika direfleksikan, pembukaan kembali gedung bioskop di tengah pandemi, hanyalah sekadar penyajian ilusi gambar bergerak, yang membawa penonton ke dunia fantasi. Lupa seketika dengan teater kehidupan yang sesungguhnya di bumi Indonesia. Padahal realita yang sedang kita hadapi kini, petugas medis sedang kewalahan di rumah sakit. Korban terus berjatuhan akibat terkena COVID-19. Dan uji coba vaksin masih berlangsung hingga sekarang.
Jika disimpulkan, rakyat sejatinya tidak sedang darurat hiburan, namun dalam keadaan darurat kesehatan. Intinya, pandemi COVID-19 belum usai. Sayangnya, tindakan-tindakan kita di dalam meresponnya bagaikan rangkaian seni untuk melupakan eksistensi COVID-19. Pembukaan gedung bioskop salah satu contohnya.
====
Penulis alumnus FISIP USU.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]