Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
(Sebuah refleksi di Hari Tani Nasional dan ajakan keberpihakan buat para calon pemimpin daerah)
Kita makan tiga kali sehari; nasi, aneka buah dan sayuran tersedia di meja makan kita. Tak ketinggalan dengan aneka lauk, empat sehat dan lima sempurna. Kita kenyang, semuanya tersedia.
Sembari menikmati hidangan tersebut di atas, coba kita renungkan sejenak, siapakah yang menyiapkan segala hidangan itu bagi kita? Tentu, tidak lain, dia adalah petani. Orang-orang, yang sering kita lupakan di sanubari kita. Mestinya, bagi mereka para petani, perlu diberikan acungan jempol. Sebab, disaat mereka lalai dan abai, hidup kita bisa terancam. Konsumsi kebutuhan pokok mengalami stagnasi.
Ironisnya, petani sering terabaikan dan kurang dipedulikan. Bukankah hymne guru, menjadikan tenaga pengajar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Mestinya petani juga perlu disebut sebagai pahlawan. Lihatlah! Betapa seringnya petani terabaikan. Mereka disebut gurem: orang yang hanya memiliki secuil lahan. 0,5 ha? Belum tentu. Ada kemungkinan, tak memiliki lahan. Sewa lahan istilahnya.
Pendidikan yang dikecap para petani, hanyalah sebatas umur jagung dari panjangnya jenjang akademis yang ditargetkan. Mereka lebih dominan mengecap pendidikan warisan, dan hanya 56% tamat SD. Mayoritas petani hanyalah bagian dari subordinate-nya partai: Hanya dihampiri saat perhelatan kontestan terjadi. Aneh sekali.
Banyak yang mengidentikkan petani dengan kebodohan. Kini, mereka berada di pihak rentan tergerus. Kalah pengaruh, karena makin modernisnya zaman. Bukankah dulu nenek moyang kita, terkenal dengan kemandirian budaya pertanian, dalam istilah; sinur napinahan gabe naniula? Berarti, rahasia kemandirian petani, dalam budaya Batak kuno adalah; jika ternak dapat dipelihara petani, baru kemudian lahannya menjadi baik adanya.
Sekian lama budaya itu bertahan, tetapi kini nyaris hilang. Penyebabnya, karena kebijakan publik kita (public policy) kian lama, menjadi kurang berpihak pada yang lemah. Hewan dan ternak yg dipelihara untuk mendukung pertanian petani, satu persatu hilang dari peredaran dan tidak lagi menjadi rumpun unit usaha petani.
Padahal petani, adalah pahlawan-pahlawan ketahanan pangan tanpa tanda jasa. Mereka perlu berdaulat, supaya hidup kita bisa berlanjut. Jangan lagi ada pihak yang bersikap abai, namun mulai tenggang rasa antar sesama, termasuk terhadap para petani.
Dari Revolusi Industri ke GMO (Rekayasa Genetik)
Setelah proxy war (1951-1953), negara-negara di dunia terbagi dua, kapitalis-liberalis dan sosialis-komunis. Pertarungan ide, terjadi di panggung multilateral. Selain kegentingan internasional berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pupuk kimia pestisida dan rekayasa benih hybrid, yang diprakarsai negara-negara super power terjadi pula. Ancaman ini, perlu diantisipasi sebab menggerus kedaulatan petani kita, untuk bertahan dalam kemadirian budaya pertaniannya. Akibatnya terjadi penggunaan pupuk kimia-pestisida secara masif, tanah menjadi kering kerontang sulit ditumbuhi, benih hanya bisa sekali produksi, dan sifat alami tumbuhan (organik) menjadi sirna. “Sinur napinahan gabe naniula”, hanya dengan memiliki ternaklah pertanian menjadi servive.
Petani Samosir Mencari Pemimpin
Dalam Mazmur 23, Tuhan menyatakan diri-Nya, bagai gambaran. Seperti itulah kiranya karakter para pemimpin, yang dicari di tengah perhelatan Pilkada mendatang. Sosok pemimpin yang memenangkan perhelatan, kiranya karena dia human approuch. Merakyat. Seperti Tuhan, yang dekat dengan domba-dombanya (Fil 2).
Tuhan telah menunjukkan teladan kepemimpinan, yang menjamin kebutuhan (needs) domba-dombaNya agar tidak kekurang satu apapun (23:1). Menjadi pemimpin, yang membaringkan domba-domba-Nya ke padang rumput hijau. Wilayahnya menjadi optimal. Desanya penuh sumber makanan: tak perlu impor-imporan dari luar. Tak perlu import beras, daging, ayam potong, dan aneka buah-buahan. Sungguh desa harus menjadi wilayah penuh potensi, optimal bersama kaum tani dan warga adat di sekelilingnya.
Dari teladan itu, kita menyadari bahwa, pemimpin perlu amanah. Mengupayakan wilayah rakyatnya menjadi lahan subur, penuh sorak sorai. Desa perlu bergerak mandiri, dengan adanya kebijakan yang mendukung, pro rakyat kecil. Itu sebabnya, petani perlu diberikan ruang pemberdayaan, kesempatan untuk berkualitas, dan dijamin hak serta kebutuhan mereka.
Kita upayakan petani menjadi pemain-pemain ekspor, seperti kata Dr Rizal Ramli saban hari, di tengah situasi pendemi belakangan ini. Petani pasti bisa kalau pemimpinnya tidak setengah hati memberikan ruang dan kesempatan, meningkatkan food production bagi kemajuan ekonomi kerakyatan.
Saya yakin, kekhasan budaya kita: Gok disi hassang, nang eme, nang bawang, dohot pinahan di dolok i. Tidak akan tinggal kenangan, namun kian jadi realita. Semua kebutuhan pokok tersedia di desa. Kini, menjelang 3 bulan perhelatan Pilkada “pesta rakyat”, kita perlu mengevaluasi diri. Pertayaannya, sudahkan orientasi pembangunan kita di tiga kali pilkada sebelumnya, telah menghasilkan pembangunan yang tidak sekadar pembangunan infrastuktur semata? Jangan lupa, wilayah wisata Samosir dimainkan oleh sekitar 82,6% petani.
Pernyataan mauas di toru ni sampuran (haus di tengah telaga), masih terasa di desa kita, di Kabupaten Samosir ini. Di berbagai tempat di Samosir misalnya, masih belum tersedia air minum, irigasi diberbagai tempat harus kembali dipikirkan. Saya saksikan sediri banyaknya padi fuso karena air irigasi tidak tersedia. Ironis sekali, petani sungguh rentan dengan tanah dan air, bila ini tidak tersedia, maka matilah hidup mereka. Dan pada gilirannya, berakibat pada hidup kita semua.
Saya teringat sewaktu saya melayani pertama sekali di Desa Simarmata Tahun 2000. Kincir angin utuk menyalurkan irigasi dari tepi pantai sudah dimulai waktu itu, dan terowongan bendungan yang mengalirkan air dari daerah Unjur (Sopo Toba) ke arah Simanindo sudah pernah digagasi rakyat, tapi kini sirna tinggal bekas? Padahal prakarsa ini perlu dilanjutkan bila tidak daerah ini kembali mengalami keterbelakangan. Karena itu, perlu pemimpin seperti seorang gembala, yang membawa domba-dombanya ke padang yang berumput hijau, air yang tenang, jalan yang baik.
Pembangunan infrastruktur juga perlu dilakukan, demi percepatan pasar produk petani. Asalkan harus berkeadilan, tanpa melupakan potensi-potensi daerah serta dilakukan merata di berbagai tempat. Pengalaman kami para Pendeta se-distrik Samosir, dalam pekerjaan pelayanan bersama, kami menemukan bahwa, masih banyak dijumpai jalan-jalan yang kurang tersedia dengan baik, sehingga menyulitkan pelayanan menuju dolok-dolok desa terpencil. Tentu, pembangunan infrastuktur secara merata perlu dilakukan, namun harus lepas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Tujuannya, agar pembangunan menjadi merata diberbagai tempat, dengan demikian setiap orang bisa ikut menikmati hasil dari pembangunan itu sendiri.
Terakhir, biarlah pada akhirnya, petani kita berkata; izinkanlah aku tinggal sebagai petani yang dijamin hakku, sehingga aku ikut di dalam arak-arakan pembangunan, mewujudkan masyarajat adil, makmur, seperti ditengah kepingan sorga yang tidak akan kekurangan apapun juga. Sebab pemimpin yang kucari, kutemukan bagaikan Tuhan yang adalah Gembalaku, yang menjamin aku takkan kekurangan apapun di negeri ini.
====
Penulis Calon Praeses HKBP dari Distrik VII Samosir
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]